part 1
Dinding kaca ruangan terang itu menampilkan gemerlap lampu deretan gedung di pusat kota Jakarta yang dilatarbelakangi langit malam. Di dalam salah satu kubikel yang ada di sana, seorang perempuan masih duduk di depan komputer yang menyala kendati kubikel lain sudah kosong ditinggal pemiliknya. Bunyi ketikan papan tik dari jemarinya, serta deru AC di pojok tembok terdengar nyaring di tengah sunyi suasana.
Lalu, dia mengembuskan napas dalam. Menyandarkan punggung ke kursi, meraih gawai untuk menilik penanda waktu yang tertera di layar. Pukul 21.00 malam, empat jam setelah jam pulang.
Lantas matanya beralih ke samping. Kaca transparan yang menjadi sekat antara ruang kerjanya dan sang atasan membuat dia leluasa melihat keadaan.
Nampak Rega yang masih sibuk menatap layar laptop, sesekali beralih pada tumpukan berkas di atas meja. Rautnya kentara lelah. Rambut tak lagi rapi tertata. Juga lengan kemeja yang digulung sekadarnya.
Marwah pun bangkit dan membereskan semua barang bawaan ke dalam tas. Di tengah kegiatannya, denting ponsel tiba-tiba menyela. Membuatnya lekas merogoh saku celana.
Pak Rega D.
Kamu tunggu di lobi. Sebentar lagi saya selesai.
Melirik sekilas pada Rega, yang detik itu sudah mengangkat berkas di depan wajah, Marwah mengetik balasan.
Anda
Saya bisa pulang sendiri, Pak. Terima kasih.
Setelahnya Marwah memasukan benda pipih tersebut kembali ke tempat semula. Dia membenahi anak rambut yang mencuat dari pashmina hitam di kepalanya sebelum keluar.
Marwah berjalan di lobi sambil meregangkan badan, merilekskan otot otot yang terasa kaku karena duduk terlalu lama. Sementara dari jalan raya, berisik klakson kendaraan sayup-sayup menyelusup telinga.
Tanpa sepengetahuan Marwah, di belakangnya, Rega melangkah lebar-lebar. Kemudian tanpa aba-aba, dia meraih lengang atas Marwah hingga perempuan itu memekik sebelum akhirnya berbalik badan.
"Ih, Bapak!" protes Marwah, kesal. "Bikin orang jantungan tau enggak."
"Saya sudah minta kamu tunggu," balas Rega, alih-alih. Jelas tersirat sebuah penegasan yang tak ingin dibantah. "Kamu harus pulang sama saya."
"Saya juga udah ngirim pesan ke Bapak, saya bisa pulang sendiri. Dan saya udah pesan taxi."
"Batalin."
"Orangnya udah on the way ke sini." Marwah kukuh.
"Bayar supir taxi sesuai tarif. Bilang kalau kamu sudah pulang dan lupa membatalkan pesanan."
"Enggak bisa."
Rega menghela napas dalam. Keras kepala sekali perempuan di depannya ini. "Mana ponsel kamu?"
"Buat apa?"
"Mana?"
"Pak ...."
"Atau perlu kita tunggu taxi itu datang biar saya bisa batalin secara langsung?" Sela Rega.
Berdecak, Marwah melakukan apa yang Rega perintahkan. Begitu selesai, Rega langsung membawanya keluar gedung sampai ke parkiran. Rega membukakan pintu mobil untuk Marwah. Setelah perempuan itu masuk, dia menempatkan diri di balik kemudi. Getaran kecil terasa di lantai mobil saat mesin dinyalakan. Disusul lampu bagian depan yang menyorot terang. Kendaraan merah itu pun perlahan bergerak keluar gerbang, bergabung bersama hiruk pikuk jalanan.
"Kenapa si, Bapak suka seenaknya sendiri?" Marwah mencebik sambil melipat tangan di bawah dada. Punggungnya bersandar, pandangan lurus ke depan. "Hobi banget maksain kehendak buat orang lain."
"Di bagian mana?" Rega tak berpaling dari jalan. Lalu setelah beberapa saat berselang dan Marwah tak kunjung memberi jawaban, dia melirik Marwah lewat ekor mata.
"Bapak sebenarnya menganggap saya sebagai siapa, si?" Ketus Marwah. "Calon istri atau pegawai kantor?"
"Kenapa memangnya?
"Kalau Bapak anggap saya pegawai, Bapak enggak berhak maksa saya ikut mobil Bapak. Tapi kalau Bapak anggap saya calon istri, harusnya Bapak enggak memperbudak saya."
Rega diam sejenak. Memperbudak ... Bukankah itu kata yang buruk? Lagipula jika dibiarkan pulang tepat waktu, Rega tahu, alih-alih beristirahat, Marwah justru keluyuran bersama mantannya. Dan memaksa Marwah pulang bersama, Rega melakukannya semata-mata karena mandat dari pak Lukman.
"Dua-duanya. Pegawai sekaligus calon istri," jawab Rega akhirnya.
Marwah mendengkus pelan. Membuang wajah ke arah jendela. Deretan ruko dan toko yang ramai disinggahi para remaja seolah bergerak mundur. Marwah benar-benar jengkel pada Rega. Sayangnya dia tidak bisa apa-apa selain membiarkannya mengendap bak ampas kopi di dasar gelas. Laki-laki berusia 33 tahun itu akan resmi menjadi suaminya dalam hitungan bulan. Perjodohan yang sang ayah lakukan tercatat sebagai nazar yang harus Marwah tunaikan. Dan untuk Rega, entah alasan apa yang membuatnya bersedia. Padahal selama empat tahun mengenal di tempat kerja, Rega tak pernah menunjukan ketertarikan terhadap Marwah. Begitupun sebaliknya. Bahkan, selama itu pula Marwah kerapkali menjalin hubungan dengan seseorang. Salah satunya Geo Andrea. Namun lamaran dari keluarga Rega memaksa Marwah menyudahi kisah mereka. Tepatnya tiga bulan silam, saat ayah mengajak Marwah berdiskusi bersama ibu dan kedua adik perempuannya di ruang tengah. Keempat orang itu serius menatap Marwah. Kemudian ayah membuka suara sambil menyerahkan sebuah map, "kita sudah bicarakan ini sebelumnya, Mar. Dia laki-laki baik. Ayah bahagia kalau kamu benar-benar menikah sama dia."
Dengan berat hati Marwah menerima. Masalah map kepunyaan Rega, sampai detik ini Marwah masih tidak mau membukanya.
Marwah menoleh karena mobil tiba-tiba berhenti di pelataran mushala.
"Saya mau balikin sandal yang tadi saya pinjam pas salat isya," kata Rega seakan bisa membaca isi pikiran Marwah. "Kamu tunggu di sini."
Begitu saja dia keluar menenteng paper bag di tangan. Nampak seorang merbot yang sedang mengepel teras menyambut Rega. Mereka berdua berbincang sebentar sebelum akhirnya Rega kembali masuk ke kendaraan.
Lima belas menit kemudian, Rega menepi di tempat tujuan. Rumah sederhana Marwah memiliki halaman berumput yang luas dan bersih terawat. Pot bunga hias tergantung di atap kanopi. Dua kursi rotan dan meja kayu bundar ada di teras. Lampu kekuningan yang menjadi penerang pun memberi kesan hangat, sementara deretan sandal jepit di undakan menandakan seberapa hidup suasana di dalam.
Marwah melepas sabuk pengaman dan segera keluar. Dia menutup pintu mobil lumayan kasar, meraih pegangan gerbang, bersamaan dengan Rega yang berujar pelan, "jangan suka mengeluh. Banyak orang di luar sana yang menginginkan posisi kamu sekarang. Lelah fisik itu harga yang harus kamu bayar."
•••
Marwah menghempaskan badan ke kasur. Posisinya tengkurap, kaki menjuntai di pinggir ranjang. Dia menggunakan tangan sebagai bantal.
Agaknya perkataan Rega barusan akan terus terngiang sepanjang malam. Bukan. Bukan sebab Marwah merasa disadarkan, tetapi tentang fakta bahwa pikiran Rega dan pikirannya memang tidak sejalan. Maksudnya, Marwah sangat bersyukur dengan jabatan yang didudukinya sekarang. Bagaimanapun perjuangan dan ketatnya persaingan antar karyawan bukan hal mudah untuk Marwah. Dia harus benar-benar ekstra rajin juga cekatan. Tidak pernah mengambil cuti kecuali saat lebaran. Dan kini Marwah hanya ingin sedikit melonggarkan pekerjaan. Pulang tepat waktu, lalu menikmati sore bersama orang-orang tersayang. Bukan terus menerus diforsir melahap tumpukan berkas yang memusingkan.
Marwah merubah posisi menjadi terlentang. Gawai di atas nakas bergetar, tanda ada sebuah pesan.
Malas, Marwah terduduk. Meraih benda pipih itu ogah-ogahan. Namun begitu melihat nama si pengirim, matanya melebar penuh kesadaran. Lekas dia masuk ke room obrolan. Meng-scrol barisan pesan dari Geo yang sejak tadi diabaikan.
Geo
Udah pulang?
Dikirim beberapa jam lalu.
Geo
Mar?
Anda
Duh, Ge, sorry banget. Baru bisa pegang hp. Seharian sibuk banget soalnya.
Geo
Gpp. Tadinya aku mau ngajakin nonton, tapi ya udah. Aku tau diri, kok.
Anda
Kamu marah sama aku?
Geo
Apa aku masih punya hak buat marah sama kamu, Mar?
Geo
Aku bukan siapa-siapa kamu lagi.
Geo
Tidur, gih. Udah malam.
Anda
Geo...
Geo
Hmm.
Anda
Plis, jangan marah. Ya ya ya?
Geo
Enggak, Marwah. Aku enggak pernah bisa marah sama kamu.
Marwah menggigit bibir bawah.
Anda
Aku kangen kamu, Geo.
Geo
Me too.
Geo
Mau ketemu?
Anda
Kapan?
Geo
Kalau besok, sibuk enggak?
Marwah menggantung jempol di layar. Bingung.
Geo
Marwah?
Geo
Oh, enggak bisa, ya?
Anda
Bisa, kokk
Geo
Oke. Di cafe biasa, ya. Mau aku jemput ke kantor atau gimana?
Anda
Aku pakai ojek aja.
Geo
Aku tunggu.
Geo
Istirahat sana. Udah larut.
Geo
Good Night.
Anda
Night, Geo.
Geo
Happy nice dream, My.
Tersenyum lebar, Marwah merubuhkan badan ke belakang sambil memeluk hp di dada. Tak lama, getar kembali terasa. Buru-buru Marwah mengangkatnya di atas wajah. Blue light yang memapar membuat bola matanya berkilauan di tengah keadaan kamar yang remang.
Geo
Mar?
Anda.
Hem??
Geo
Tidur, hey!! Bandel. Dibilangin udah larut juga.
Anda
Ih, kamu yang mulai.
Geo
Kan aku mau ngecek.
Anda
(Rolling eyes)
Geo
(Love)
Anda
(Kobaran api)
Geo
Mar?
Anda
Kalau bilang cuma mau ngecek lagi, aku cubit kamu.
Geo
Nyubitnya pakai bibir, ya?
Marwah terkekeh.
Anda
Maunya...
Geo
Hahaha! Btw, nanti mimpiin aku, ya?
Anda
Mau aku impiin jadi apa? Cireng? Cilok, atau telur gulung? Biar bisa aku kunyah sekalian.
Geo
Uh! Ngeri. Masa orang ganteng dikunyah.
Anda
Krik krik krik
Geo
Wah! Jangkriknya ngajak gelud.
Anda
Hahaha.
Geo
Udah ah. Good night.
Geo
Eh, besok kamu pakai kerudung pashmina pastel, ya. Kalau bisa semprotin parfume yang aku beliin waktu itu. Masih ada, kan?
Anda
Masih. Aku bawa sekalian ke kantor deh biar bisa semprat-semprot dulu sebelum jalan.
Geo
Mantap. Okelah. Bye bye.
Geo
Langsung tidur. Awas kalau balas lagi.
Anda
Iya.
Geo
Hih! Aku gigit hidungnya nih, ya.
Anda
Kabur...
Meletakan gawai ke samping badan, Marwah mengembuskan napas dalam. Sisa-sisa senyumnya menetap bersama binar mata penuh harap. Meski dia tahu perbuatannya salah, mengingat sudah ada cincin yang tersemat di jari manis kirinya, tetapi Marwah tak bisa menahan diri untuk tidak tergoda dengan ajakan Geo. Bagaimanapun Geo adalah laki-laki yang kini masih mengisi hatinya. Tiga tahun berpacaran bukan waktu sebentar hingga bisa mudah saling melupakan.
•••
Selesai membereskan meja, Marwah segera pamit pada empat rekannya yang masih bersiap sebelum pulang. Dia melipir sebentar ke kamar mandi untuk menambahi sedikit riasan wajah. Tak lupa mengganti pashmina putihnya dengan warna pastel, merapikan lengan kemeja merah muda yang digulung di bawah siku dan menyemprotkan parfum berulang-ulang.
Marwah tersenyum puas pada pantulan dirinya. Blash on keorenan yang diusapkan di bawah mata menambah kesan segar. Lantas perempuan itu keluar. Semerbak parfumnya membuat beberapa karyawan yang tak sengaja berpapasan merasa terheran-heran.
Melewati pintu utama, Marwah tersenyum dan mengangguk pada satpam penjaga. Lalu mengeluarkan gawai dari dalam tas selempang, bergerak melintasi halaman sambil menjamah layar tanpa peduli dengan kemungkinan menabrak seseorang.
Dan benar, tepat beberapa menit berselang, badannya menubruk dada bidang berlapis kemeja hitam. Perlahan, Marwah mengangkat pandang. Mengerjap seketika karena wajah Rega yang ditemuinya.
Duh, ini orang ngapain balik lagi ke kantor, si?
"Mau ke mana?" tanya Rega, heran.
"Pulang."
"Siapa yang memberi izin?"
Mengacungkan layar ponsel di depan wajah Rega, Marwah memaksakan senyum. "Udah jamnya pulang, Pak Rega Damasatya yang terhormat. Jadi, mari. Saya permisi."
Marwah menggeser. Saat melewati Rega, laki-laki itu menahan lengan atasnya.
"Hari ini kamu lembur. Temani saya."
"Enggak." Tolak Marwah.
"Saya bicara sebagai bos."
Mengembuskan napas kasar, Marwah berbalik badan. "Kalau saya nolak Bapak mau mecat saya?"
Tak menjawab, Rega menuntun paksa Marwah.
"Eh, Pak!" Marwah terkejut. "Ih, apaan si!" Dia memberontak, berusaha melepaskan diri.
Rega mengeratkan tangan, terus membawa Marwah masuk ke gedung. Tak mengacuhkan tatapan heran para karyawan, berjalan gagah meluruskan pandang. Berbeda dari Marwah yang kontan menunduk dalam. Meski hubungan mereka sudah diumumkan, tetapi hal yang sedang Rega lakukan tetap saja sangat memalukan.
Tbc ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro