Perceraian
Aku tak menyangka rumah tanggaku, bakalab hancur seperti ini. Sekuat apapun aku melakukan upaya untuk mempertahankannya. Tetap saja kalau aku yang berjuang sendirian, bakalan susah.
Mas Rizal menatap ke arahku dengan tajam. Dari sorot matanya terlihat kemarahan dan rasa kecewa yang mendalam. Kenapa dia yang seperti itu? Harusnya aku di sini yang merasa terluka, bukan dia.
"Kamu yakin, Al, mau cerai denganku?" tanyanya lirih. Aku memandangnya sebentar setelahnya mengangguk mantap. Ini adalah keputusan yang terbaik.
"Arghhhh ..." Mas Rizal menggeram marah. Aku hanya diam, "Aku tak mau bercerai, Al, " lanjutnya.
"Ini demi kita, Mas," sahutku meyakinkan.
"Demi kita apa maksudmu? Kamu melakukan ini secara sepihak!" bentak Mas Rizal.
"Terus apa yang Mas mau?" tanyaku dengan derai air mata. Pertahananku sudah tak bisa dibendung lagi. Mas Rizal diam saja tak bersuara lagi. Aku menghela napas kasar.
"Mas, mau aku terus terluka dalam pernikahan ini, iya? " tanyaku lagi, "Aku capek Mas, terus-terusan menyaksikan perselingkuhanmu secara terang-terangan di depan mata kepalaku sendiri, " lanjutku.
Mas Rizal masih bungkam tak mengeluarkan sepatah katapun, dia hanya memandangku dengan sorot teduhnya. Aku bisa melihat di matanya dia sama terlukanya sepertiku. Tapi persetanan dengan sandiwara yang dia jalani, aku sudah tak peduli lagi akan rayuan dia.
"Mas, juga sama terlukanya seperti kamu, Al." Setelah lama bungkam akhirnya dia bersuara kembali. Aku hanya menatapnya tak percaya dengan apa yang dia ucapkan.
"Terluka apa, Mas? Jelas-jelas kamu menikmati perselingkuhanmu," tanyaku tak habis pikir dengan jalan pikirannya.
"Terus bagaimana dengan Amel?" tanyanya lirih. Aku diam tak langsung menjawab.
"Amel biar nanti aku kasih penjelasan," pungkasku. Mas Rizal diam. Dia kemudian bangkit dari duduknya dan keluar rumah tanpa mengatakan sepatah katapun.
Air mataku tak bisa dibendung lagi, meleleh begitu saja.
***
"Bunda, yakin mau bercerai sama Ayah?"
"Kamu tau dari mana?" Bukannya menjawab aku malah balik bertanya. Amel menatapku dengan sorot mata teduhnya.
"Aku tadi gak sengaja dengar pembicaraan Bunda sama Ayah," jelas Amel. Aku memghela napas kemudian mengangguk untuk menjawab pertanyaan Amel.
"Kenapa?" tanya Amel. Aku diam saja, tak tahu harus menjawab seperti apa, lidahku seakan kelu, tenggorokanku tercekat tak mampu menjawab pertanyaan yang Amel berikan.
Amel menghela napas, kemudian bergeser duduknya untuk lebih dekat denganku. Amel menggenggam tanganku.
"Amel emang sakit hati lihat Ayah selingkuh, bahkan disaksikan oleh Amel sendiri. Entah kenapa Amel gak bisa membenci Ayah, meski Ayah udah melukai hati kita, seperti yang Bunda ajarkan kepada Amel. Tapi Amel gak mau kalian berpisah," jedanya, "Apalagi, Amel lihat teman-teman Amel yang kedua orang tuanya bercerai, dia dibully banyak orang," lanjutnya. Aku yang mendengar perkataan Amel, hatiku sakit. Ternyata aku sudah egois, aku tak pernah mengerti perasaan anakku. Aku langsung memeluk Amel. Amel membalas pelukanku begitu erat, kami menangis sambil berpelukan.
"Amel berharap, Bunda bisa mengambil keputusan yang benar," ucapnya.
"Tapi kalau Bunda merasakan sakit, lepasin, jangan nanggung rasa sakit itu sendirian," lanjutnya sambil melepas pelukan kami. Amel menghapus air mata yang melelh di pipiku sambil tersenyum. Dia bangkit dari duduknya berlari ke arah kamarnya.
Aku memandang kepergian Amel dengan sesak di hati. Hatiku lebih sakit melihat anakku bersedih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro