Masalah baru
"Kamu izinin aja, Rizal menikah lagi."
Aku menatap Ibu mertuaku, beliau selalu saja begitu.
"Aku tidak mau," ucapku tegas
Dia menatapku sinis, aku yang ditatap seperti itu, diam saja.
"Apa susahnya sih tinggal kamu kasih izin?" tanyanya
"Alma tidak mau! Harusnya Ibu sebagai Ibu yang baik membimbing anaknya yang melakukan kesalahan, ini malah terus saja di dukung," ucapku "Ibu juga wanita sama seperti Alma, harusnya Ibu mengerti gimana rasanya dikhianati," lanjutku dengan air mata terus saja turun dari pelupuk mataku.
Aku benci saat seperti ini, saat terlihat lemah oleh orang lain.
Ibu mertuaku diam mematung, tak bisa menjawab ucapanku.
"Lagian Rizal juga, gak akan melakukan poligami, Bu," sahut Mas Rizal. Aku yang mendengar ucapannya tersenyum sinis.
"Rizal mencintai Alma, bukan Laras," lanjutnya.
"Sudah cukup sandiwaranya, Mas," ucapku dengan sedikit berteriak. Ibu dan Mas Rizal yang mendengar aku berteriak terkejut.
Aku tak mau dibodohi lagi, udah cukup.
"Maksud kamu apa, Alma?" tanya Mas Rizal emosi.
"Kamu mengucapkan itu, supaya aku percaya dengan kata-katamu, Mas. Aku gak mau dibodohi lagi!" bentakku.
"Jaga ucapanmu, Alma! Dia suamimu. Kamu harus menghormatinya," sahut Ibu mertuaku. Aku melirik ke arahnya, aku hanya tersenyum sinis.
Drt ... Drt ....
Handphoneku bergetar, ada tanda Panggilan masuk. Aku melirik nama penelponnya, ternyata dari sekolahnya Amel.
Aku bangkit dari dudukku, dan sedikit menjauh dari mereka, untuk menerima panggilan.
"Hallo, selamat siang, Bu."
"Iya Hallo, Selamat siang, Bu."
"Bisakah, Bu Alma datang ke sekolah. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan."
"Kenapa saya di panggil ya, Bu? Apa Amel melakukan kesalahan?" tanyaku heran, Pasalnya baru kali ini pihak sekolah memanggilku.
"Tidak, Bu. Ibu datang saja, nanti saya jelaskan di sini."
"Baiklah, Bu."
Aku memutuskan sambungan telponku. Dan mengambil tasku. Masih Rizal yang melihatku mau pergi heran.
"Mau ke mana, Alma?" tanyanya heran, aku meliriknya sekilas.
"Aku ada urusan," sahutku
"Pasti mau ketemu sama selingkuhannya," tuduh Ibu mertuaku. Aku menghela napas.
Untung Alma, masih punya akal sehat untuk tidak melakukan pembunuhan terhadapmu, Bu.
"Terserah Ibu saja," sahutku cuek
********
"Saya mau bertanya soal Amel. Apakah Amel punya masalah di rumah?" tanya kepala sekolah. Aku yang mendapat pertanyaan seperti itu bingung.
"Emm, maksud saya. Bukannya mau ikut campur, tapi akhir-akhir ini Amel sering bolos sekolah. Dan hari ini pun tidak masuk," jelas Bu kepsek. Aku yang mendengar penjelasannya terkejut.
"Tapi Amel setiap hari berangkat sekolah kok, Bu," sahutku. Bu Kepala sekolah menghela napas berat kemudian beliau tersenyum ke arahku.
"Ini yang saya takutkan, Bu. Padahal Amel adalah siswi berprestasi," ucap Bu Kepsek. Aku hanya tersenyum, tidak tau harus merespon seperti apa. Aku terlalu terkejut dengan fakta apa yang ku dapat barusan.
"Yaudah, saya permisi ya, Bu," pamitku. Buka Kepsek mengangguk sambil tersenyum.
********
Saat ini aku dan Mas Rizal sedang menunggu Amel pulang. Aku udah membicarakannya kepada Mas Rizal perihal apa yang terjadi pada Amel.
Tak lama kemudian Amel pulang dengan Dio yang mengekor di belakangnya. Amel menatap ke arah kami bingung.
"Duduk, Amel!" perintah Mas Rizal tegas. Amel menatap Mas Rizal bingung tapi tak anak itu menurut juga, dan di susul oleh Dio duduk di samping Amel.
Amel terus saja menunduk.
"Kamu dari mana saja?" tanya Mas Rizal.
"Amel habis sekolah, Yah," jawab Amel masih menunduk. Dio yang ada di sampingnya hanya diam.
"Tadi Bundamu habis dari sekolahmu, dan katanya kamu gak masuk hari ini," ucap Mas Rizal dengan suara agak meninggi. Amel mendongkakan kepalanya, menatap ke arahku.
"Sekarang kamu pintar bohong?!" bentak Mas Rizal.
Plak!
Aku terkejut mendengar tamparan yang di layangkan ke arah Amel. Amel dan Dio pun sama terkejutnya.
"Ayah berani menampar, Amel?" tanya Amel dengan suara sedikit bergetar. Aku memeluk Amel.
"Mas, cukup. Jangan pake kekerasan. Bicara baik-baik, Amel pasti punya alasan," ucapku dengan sedikit emosi
"Amel kecewa sama Ayah," ucap Amel sambil berlari ke kamarnya.
"Om gak seharusnya tampar Amel, di sini yang salah Dio. Dio yang mengajak Amel bolos," ucap Dio. Aku tak percaya dengan ucapan Dio. Itu hanyalah untuk melindungi Amel.
"Kamu ....."
Bugh!
Mas Rizal menonjok wajah Dio. Dio yang di perlakukan seperti itu hanya diam, sementara aku terus saja menjerit histeris.
"Mas cukup!" teriakku.
"Harusnya kamu sadar, Amel seperti itu karena siapa? Karena kelakuan kamu, Mas," ucapku. Masih Rizal yang mendengar ucapanku diam mematung.
Aku melirik ke arah Dio, yang terduduk di lantai. Aku menuntun anak itu untuk mengobati luka memar di wajahnya.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro