8. Kerja Bakti
Hari Ahad seharusnya paling pas buat gegoleran di kasur. Bermalas-malasan sambil main HP atau baca buku dan dengerin lagu-lagu. Agenda mandi pagi pun diskip bila perlu. Eh, itu aku!
Tapi tidak Ahad ini. Pengurus masjid mengadakan kegiatan kerja bakti. Bersih-bersih masjid tentu, masa iya bersih-bersih rumahku.
Sebenarnya aku malas ikut, tapi sebagai salah satu manusia yang sekarang terdaftar sebagai bagian dari keluarga besar masjid depan rumah, mau absen kok aku agak merasa bersalah. Minimal aku bikin jajanan dan minuman untuk menemani squad bersih-bersih saat istirahat melepas lelah. Maka sejak lepas subuh aku telah karib dengan dapur dan segala adonan.
Ibu dan Hanafi sudah bersiap membawa pengki dan sapu lidi saat aku masih berkutat dengan panci terakhir bolu kukus serta dua teko berisi es sirup dan teh hangat yang semanis aku. Oke.
"Masih lama, Ki?"
"Dikit lagi, Bu. Mau dibawa ibu separonya?"
"Boleh deh. Apa yang udah siap?"
"Ini, bakwan jagung sama minumannya udah siap semua, Bu. Ibu bawa bakwannya aja, nanti minuman sama bolunya biar Ki yang bawa," jawabku sambil menyodorkan baskom yang dipenuhi bakwan jagung.
"Bisa bawa segitu banyak?" Ibu meragukan kemampuanku. Tapi memang aku nggak mampu sih. Hehe.
"Ya jelas nggak bisa dong, Bu. Kan tangan Ki cuma dua. Nanti bolak balik aja gak papa."
"Ya udah, buruan berangkat kalo udah ready." Jiah, udah ready kata ibu. Mentang-mentang anaknya di Inggris trus ibunya ikutan nginggris gituuu?! Plis deh.
"Siap, Bos. Ki mandi dulu deh. Berantakan gini, bau asep sama minyak."
"Tumben. Biasanya kalo libur gini Tante nggak pernah mandi. Ini mau kerja bakti malah mandi. Aneh," celetuk Hanafi. Tepat sasaran! Ponakanku ini memang paling jago ngeledek tantenya.
"Hih, dasar kamu, Han. Kecil-kecil bawel!"
Tak kupedulikan lagi Hanafi, bergegas menyambar handuk dan baju ganti, lalu byar byur di kamar mandi. Ah, segarnyaaa.
Selesai mandi, kupoles wajah dengan pelembab dan bedak tipis-tipis, tak lupa lipbalm rasa stroberi biar bibirku tak mengering seperti hatiku. Emm, gimana ya..., ini pertama kalinya aku akan bertemu Mas Anas di siang hari. Itu juga kalau ketemu sih, kan pasti banyak orang di sana. Biasanya kami cuma ketemu malam hari saat ngajar ngaji. Ya mirip-mirip vampire gitu lah, tapi kalau kami vampire syar'i. Uhuks.
Menenteng tiga toples besar berisi bolu kukus, dan satu teko besar es sirup, aku siap melangkah gagah menuju masjid seberang rumah.
"Ya Allah, Mbak Azki, mbok bilang sama saya lak yo tak bantuin. Sini-sini, Mbak, biar saya yang anter ke mesjid." Dari pos satpam, Pak Dar tergopoh merebut bawaan dariku.
"Alhamdulillah. Makasih ya, Pak. Saya jadi nggak perlu bolak balik."
Kembali masuk rumah dan keluar lagi dengan satu teko teh manis dan toples bermuatan 20 cup puding untuk anak-anak yang turut berpartisipasi dalam kerja bakti.
Sampai di teras masjid aku melihat jajanan dan minuman yang cukup melimpah. Rupanya warga sekitar menghayati betul sepetik bagian dalam ayat 148 surah Al Baqarah yang berbunyi fastabiqul khoirot, maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Salah satunya dengan membawakan jajanan dan minuman.
Dengan tangkas aku membagi-bagi jajanan dan minuman dalam beberapa wadah, kemudian menaruhnya di beberapa titik persebaran peserta kerja bakti.
Baru saja hendak mengantar jajanan dan es sirup di sudut selatan masjid, tempat bak pembakaran sampah berada, mataku menangkap sebuah pemandangan yang bikin nyesek.
Mas Anas sedang membakar sampah sambil ngobrol asyik dengan si mbak lulusan Mesir yang mengganggu hatiku beberapa waktu terakhir. Hanya berdua!
Sungguh, bukan hanya sampah yang terbakar, tapi hatiku juga. Rasanya ingin segera menghilang dari sana. Takut ketahuan dia juga. Tapi terlambat! Mas Anas terlanjur melihatku.
"M-maaf. S-saya cuma mau naruh ini."
Kutaruh piring dan teko dengan asal, dan buru-buru berlalu dari tempat itu.
"Azki!" panggil Mas Anas. Aku berpura-pura tak mendengar. Dan aku yakin, dia juga nggak bakalan ngejar. Kami kan bukan sedang syuting film India.
Yang jelas ada yang sakit di hatiku. Entahlah. Mungkin memang aku nggak punya hak apapun, tapi aku juga tak sanggup menyuruh hatiku untuk tak merasa cemburu.
"Bu, Ki pulang dulu ya. Mendadak mules nih. Nanti kalo masih ada waktu Ki ke sini lagi," pamitku pada ibu setelah semua titik mendapatkan jajan dan minuman.
"Makanya, jangan kebanyakan makan pedes. Dibilangin gak nurut sih!" omel ibu, lebih mirip pengumuman ke ibu-ibu yang duduk di sekitarnya. Tapi nggak pa-pa, yang penting aku bisa pergi dari sini.
"Ki, nanti kalo udah kelar kerja bakti kamu bantu nyuci piring gelasnya ya." Aku cuma mengangguk.
Duh, alamat harus balik ke sini lagi nih. Ibu sih nggak tau gimana hancurnya perasaanku. Udah pengen nyanyi lagunya almarhum Olga deh rasanya.
"Mbak Azki itu kayanya pemalu, tapi kalo kerjaan rumah rajin ya." Sayup kudengar seorang ibu membicarakan tentang aku.
"Alhamdulillah, Bu. Pinter masak juga kalo Azki mah. Ini tadi jajanan yang saya bawa, yang bikin dia semua," pujian ibu masih terdengar hingga aku keluar dari gerbang dan siap menyeberang. Pulang.
Sampai rumah aku langsung masuk kamar. Ngapain? Nangis lah, masa iya main badminton!
***
Dua jam berikutnya.
"Ki, udah kelar kerja baktinya. Tinggal piring gelas kotor. Tadi ibu udah woro-woro kalo kamu yang mau nyuci. Buruan gih, keburu rame dhuhur!" titah ibu terdengar mendadak di pintu kamarku yang terbuka. Ibu dong yang buka, seperti biasa.
"Iya, Bu," jawabku malas-malasan. Dalam hati berdoa kenceng, semoga nggak ketemu si marbot malesin itu lagi.
Segera kutukar bajuku dengan rok dan t-shirt lengan panjang yang memudahkan aku untuk mencuci sekian banyak piranti makan minum, lantas berjalan gontai menuju masjid.
Masih dua tiga pengurus masjid yang tinggal dan berbincang. Aku segera menuju titik-titik di mana tadi menaruh jajanan dan minuman. Beberapa titik sudah tak ada, mungkin piranti yang kotor sudah dibawa ke tempat cuci piring di dapur masjid.
"Sudah beres piring gelasnya, Mbak. Sudah di tempat cuci semua, tinggal nyucinya saja. Makasih banyak ya, Mbak Azki." Salah seorang pengurus masjid memberitahuku.
Tak kujawab, hanya mengangguk sambil tersenyum. Bersegera menuju dapur masjid. Masih berharap tak usah bertemu Mas Anas. Malas!
Tapi rupanya Allah belum meridhoi mauku.
Piranti terakhir baru saja selesai kubilas, tinggal mengelap dan membagi-bagi sesuai nama yang tertera di wadah-wadah tersebut.
"Azki, boleh kubantu?" Huh, suara itu nongol juga. Sebal!
"Oh, nggak usah repot-repot. Insya Allah saya bisa sendiri kok."
"Biar lebih cepet selese."
"Emang kenapa harus cepet selese? Mau ngusir saya? Ya sudah, biar saya bawa pulang aja, saya beresin di rumah." Aku masih tak menoleh sedikit pun padanya. Kezel!
"Ya nggak gitu. Kalo dibantu kan jadi nggak capek."
"Nggak usah, makasih. Saya sendiri juga nggak capek kok. Sudah, situ keluar aja. Nggak baik berduaan dengan yang bukan mahram."
"Kamu nyindir aku ya?"
"Hih, ge-er. Udah gini aja deh, situ ato saya yang keluar?" ancamku.
"Iya, maaf. Kamu saja yang keluar, biar aku yang lanjutin kerjaan ini."
"Haduh, ancaman yang salah. Orang satu ini nggak pernah bisa ditebak deh."
"Nggak jadi, biar saya aja yang selesein. Tapi tolong Mas jangan di sini. Nggak baik dilihat yang lain," ujarku melunak.
"Nah gitu dong. Memang dipanggil Mas lebih enak daripada dipanggil situ." Seulas senyum tergambar di wajahnya. Senyum manis yang di mataku tertangkap sebagai senyum mengejek.
"Hih, apa sih. Gak penting!" gerutuku pelan.
"Ngarep banget kupanggil Mas!"
"Ngomong apa hayooo?!" Dih, sempet-sempetnya ngeledek.
"Kalo butuh bantuan, panggil aja ya. Insya Allah siap membantu."
"Nggak perlu," gumamku pelan.
"Kenapa?" Eh, dia dengar.
"Nggak apa-apa. Ih, udah deh, Mas pergi aja jangan di sini. Ngganggu!"
Huff, akhirnya pergi juga dia. Semenit, lima menit, sepuluh menit, lama-lama aku jengah karena merasa ada sepasang mata yang mengawasi. Kutoleh ke kanan kiri, dan....
"Ih, apa sih," sungutku. Rasanya geregetan, tapi sekaligus kege-eran.
Dia, Mas Anas, masih berdiri di dekat dapur. Mengawasiku mengelap satu per satu piranti makan yang jumlahnya puluhan.
"Dasar rese. Kaya gini kan namanya jahat. Udah mending pergi jauh aja ke kutub utara, buat apa bertahan di sini kalo malah bikin aku jadi berharap lebih ke dia. Apa memang kalo orang dikasih Allah kegantengan di atas rata-rata gitu trus hobi mempermainkan hati perempuan lugu macam aku?"
"Ups. Astaghfirullah. Kok jadi suudzon gitu sih, Ki!"
"Iya juga sih. Tapi memang gitu kan. Kalo enggak, buat apa coba dia berdiri di situ ngeliatin aku?!"
"Siapa tau dia juga baru aja sampe situ. Direm dikit lah ge-ernya. Lagian siapa elo? Bukannya mbak lulusan Mesir jelas lebih segalanya? Jadi memang sebaiknya sadar diri aja, Ki."
"Nah, itu lebih baik."
"Jangan ngelamun, nanti kalo gelasnya lepas bisa pecah lho!" suara itu lagi. Suara yang hari ini sungguh teramat kubenci.
"Nyebelin banget sih! Udah, Mas aja yang lanjutin nih! Rese!" Kulempar lap ke tumpukan peralatan yang masih basah. Kemudian beranjak tergesa dari hadapannya. Ngambek!
"Lho, kok gitu sih, Azki." Dia garuk kepalanya yang mungkin tak gatal. Terserah! Aku nggak peduli. Mending pulang aja.
Kutinggalkan dia, marbot jahat pemberi harapan kosong pada anak gadis orang.
Kalo kalian diperlakukan begitu, semacam ditarik ulur gitu, sebel nggak coba? Eh ya walaupun ini cuma perasaanku saja sih. Mungkin memang dia karakternya begitu ke semua orang, akunya aja yang ge-er. Ah, entahlah.
***
Bakda asar. Aku baru bangun dari tidur siang yang kelamaan. Gara-gara bete sama marbot itu, aku jadi kebablasan gak salat asar tepat waktu kan. Ibu juga, nggak biasanya cuek gini sampai aku nggak dibangunkan.
Ki, Ibu sama Han & Nina pergi ke rumah tante Dian. Kamu jaga rumah ya. Insya Allah sebelum maghrib udah pulang.
Selembar pesan dari ibu tertempel di sebelah handle pintu kamarku.
Ya salam, mana ditinggalin sendirian di rumah pula. Mbok ya dibangunin, biar bisa ikut menghirup udara segar di luaran sana. Bosan kan seharian cuma gulang guling gak jelas begini.
Kuputuskan untuk sekalian mandi sebelum salat asar. Biar badan segar dan virus-virus merah jambu pada bubar. Setelahnya segera kulaksanakan kewajiban di dalam kamar, dilanjutkan dengan menyumpal telinga dengan earphone dan kembali rebahan di atas karpet yang terhampar.
"Assalamualaikum."
"Duh, siapa lagi sih ganggu keasyikan orang! Baru juga satu lagu," sungutku ketika terdengar ketukan cukup keras di pintu.
"Waalaikumussalam. Iya tunggu sebentar." Buru-buru kubuka pintu. Segaris senyum menyambutku.
"Hih, dia lagi. Mau apa sih?!"
"Eh, Mbak Azki. Ini, mau balikin wadah jajanan tadi."
"Oh iya." Kuterima beberapa wadah tanpa membuka lebih lebar pintu rumah.
"Duh, apa semua peralatan yang habis kucuci tadi dia yang antar-antar ke pemiliknya ya? Bisa dimarahin ibu nih kalo ketahuan."
"Udah kan? Makasih!" Segera kututup pintu rumah, tapi....
"ADUH!!" Ternyata tangan Mas Anas berusaha menghalangi aku menutup pintu. Dan terjepitlah dia.
"Allahu akbar! Duh gimana sih, lagian pake gitu segala kenapa coba?! Hih, bikin repot banget sih! Udah deh, masuk. Duduk dulu sana!" Dengan merengut terpaksa kubuka pintu dan menyuruhnya duduk.
"Ya kamu juga, ada tamu disuruh masuk dulu kek, main nutup pinth aja." Dia meringis, mengibas tangannya. Empat jari kanannya memerah.
"Ya Allah, kayanya mayan parah tuh jarinya yang kejepit, sampe merah gitu. Semoga nggak apa-apa ya Allah. Jangan sampe aku yang dimintai tanggungjawab."
"Tamu apaan? Situ kan cuma nganter wadah."
"Mas!" Orang satu ini nggak suka dipanggil 'situ' sodara-sodara.
"Dih, apa deh!" Aku mencibir, bersamaan dengan hatiku yang berdesir.
"Heh, hati! Apa sih pake acara desir segala. Ribet!"
"Lagian di rumah tuh nggak ada orang. Nanti kalo datang setan sebagai yang ketiga gimana?" sewotku sambil menuju ruang keluarga, mengambil minyak serba guna dari kotak P3K, lalu kembali ke ruang tamu dan menyodorkan pada Mas Anas.
"Nih, biar cepet mendingan. Makanya jangan genit, jadi deh kejepit!"
"Heh, genit gimana?"
"Ya gitu! Udah punya calon istri lulusan Mesir, masih mau dolan ke sini segala. Kan keperluannya cuma balikin toples. Ngapain situ pake mampir namu segala?"
"Mas!"
"Halah! Masih kurang dipanggil Mas sama mbaknya?!"
"Kamu nggak suka?"
"Hih, apa sih! Udah udah sana, pulang aja! Minyaknya kalo mau dipake buruan, kalo enggak ya udah sini balikin, trus buruan pulang!"
"Kamu ngusir aku nih, Ki?"
"Iya!"
"Kamu galak juga ya ternyata."
"Biarin!"
"Tapi kalo lagi galak gitu ngomongnya lancar banget lho. Kalo lagi sopan malah gagap mulu."
Ya Rabbi, keadaan lagi genting begini masih sempetnya ngejek orang. Astaghfirullah.
"Sebenernya aku tadi mau minta tolong kamu untuk ikut nganterin wadah-wadah ini. Sekalian ketemu beberapa warga yang anaknya ngaji sama kita. Soalnya ahad depan rencana mau aku ajakin outing. Ya nggak usah jauh-jauh sih, deket sini aja. Kita ajak seru-seruan biar mereka happy. Kan selama ini cuma di masjid aja. Sekarang ada kamu, jadi ada yang bisa bantu handle mereka.
"Tadi aku udah sampaikan ke beberapa pengurus masjid dan beliau-beliau menyetujui. Maksudku kita survey dulu ke orang tuanya, diijinin apa enggak. Kalo sebagian besar oke, baru kita bahas bareng, enaknya mau kita isi kegiatan apa biar anak-anak dapet ilmunya sekaligus dapet refreshing dan keakrabannya.
"Tapi kalo kamu nggak mau ya nggak pa-pa sih. Biar nanti aku nyari partner yang lain, misalnya...."
"Udah, stop! Ga usah diterusin!" Kusela bicaranya. Dia menahan tawa.
Jangan sampai dia ngajakin mbak lulusan Mesir sebagai partnernya ya. Aku nggak rela. Sungguh ku tak rela!
"Kamu nggak suka ya kalo aku sama...."
"Ini jadi mau muter-muternya apa enggak? Kalo iya saya siap-siap dulu. Tapi maaf, Mas nunggu di luar aja ya." Kupotong lagi bicaranya. Kali ini intonasi kuturunkan dan kalimatku kembali penuh kesopanan. Dia tersenyum.
"Alhamdulillah," ucapnya. Senyum masih terpahat jelas di wajahnya. Lantas ia keluar menuju teras dan menungguku di sana.
Gimana sih ini, marah tapi kok malah ujung-ujungnya jalan bareng?!
"Ya Allah, aku tau ini salah. Maka, jika menjodohkan aku dengannya bisa menjauhkan dari segala dosa, kumohon untuk dipercepat saja perjodohan antara kami berdua."
***
Dear Pembaca,
Tolong jangan sirik sama doanya Azki ya :)
See you next part, kita kawal Anas-Azki yang mau outing sama murid-murid kelas ngaji. Okke.
Thank you :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro