Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Bahasa Arab

Petang itu cuaca sedikit mendung, padahal musim hujan belum juga tiba. Angin yang bertiup jadi terasa sedikit lebih dingin dari biasanya.

Aku berjalan menuju masjid setelah mengintip dari balik tirai jendela kamarku dan mengetahui bahwa salat maghrib baru saja usai. Hendak mengajar saja, karena aku sendiri sedang tidak salat.

Sejak kejadian 'nyaris mengundurkan diri' itu, diantara kami -aku dan Mas Anas- seolah tak pernah terjadi apa-apa. Mungkin Mas Anas sengaja tak membahas agar tak muncul kecanggungan baru di sela kami berdua. Atau nggak mau bikin aku baper? Baiklah, terima kasih untuknya jika ternyata jawaban yang benar adalah yang kusebutkan kedua.

"Mbak Azki, nanti habis salat isya jangan pulang dulu ya. Saya ada perlu sedikit." Mas Anas menghampiriku dan menyampaikan sebuah pesan sebelum kami mulai mengajar.

"Eh, tapi saya lagi itu, emm...."

"Haid?" Setengah berbisik dia melanjutkan kalimatku. Aku mengangguk. Dalam hati berkata, "Masa iya ini orang tau jadwal haidku segala sih!" Dih, ge-ernya kok ya sampai ke situ-situ lho!

"Ya sudah, kalo gitu nanti saya ke rumah, boleh?"

"Eh, gimana ya. Emm ya udah nanti saya aja deh yang nunggu di sini," sahutku segera. Aku nggak mau dia datang ke rumah, karena kalau ngobrol kan harus ada ibu. Takut yang diobrolin nyerempet-nyerempet harga diriku lagi.

Sebentar kemudian, kami mulai memasuki kegiatan belajar mengaji anak-anak. Dan seperti yang sudah-sudah, setiap kali ngaji dimulai dengan kisah, aku selalu ikut terhanyut akan kemahiran Mas Anas dalam menuturkannya.

"Pinter banget sih Mas Anas ini. Pantesan anak-anak pada suka dan sayang sama dia. Kalo sama aku nggak sebesar itu deh perasaan mereka." Rasa iri diam-diam menyelinap masuk ke hati. Iri pada sebuah kebaikan boleh kan ya?

Tak terasa jam mengajar sudah kelar. Sebelum menuju microphone untuk adzan, Mas Anas kembali mendekatiku.

"Tunggu sebentar lagi ya, saya adzan dulu. Nggak usah sampai selesai isya. Kasian kamu kalo kelamaan nunggu."

"Oh iya, terima kasih."

Aku beringsut menuju teras masjid. Mengisi waktu dengan memandangi beberapa ibu yang berlalu lalang di seputaran tempat sandal dan tempat wudhu. Menunggu adzan usai, sembari menikmati suara sang muadzin yang -masya Allah- sangat merdu.

"Mbak Azki," suara merdu yang baru saja melantunkan adzan kini melantunkan namaku. Eaaa.

"Oh, eh, i-iya gimana?" Sedikit kaget, aku segera berdiri agar tak terlalu jomplang dengannya.

"Emm, ini buat Mbak Azki. Tolong diterima ya. Buat dibaca dan dipelajari, insya Allah akan bermanfaat suatu hari nanti. Kalo ada yang nggak paham, boleh tanya ke saya, insya Allah saya bantu sebisanya." Sebuah paperbag warna coklat susu berpindah ke tanganku. Kulirik sekilas, beberapa buku terlihat di dalamnya.

Aku tak berniat menolak, karena kupikir ini pasti sudah diniatkan olehnya, jadi yang dia harapkan tentu saja aku menerima. Bukan sebaliknya.

"I-iya, insya Allah. Terima kasih banyak."

"Sudah, itu saja. Kamu langsung pulang ya. Hati-hati. Assalamualaikum."

"Ehk, nggak salah denger nih kupingku? Pesannya penuh perhatian sekaliii."

"W-Waalaikumussalam."

Begitu sampai kamar, segera ku-unboxing paperbag coklat susu yang baru saja kuterima. Sebuah note book bernuansa hijau muda dengan motif daun-daun, sebuah buku belajar bahasa Arab dan sebuah kamus kini ada di ganggamanku. Kelihatannya isi bukunya cukup mudah dipahami, setidaknya bagi aku yang baru saja membuka-buka dan melihat isinya.

Selanjutnya aku membuka note book hijau muda, mataku tertumbuk pada sebuah tulisan tangan dengan tinta hitam yang tergores cukup rapi di halaman kedua.

Mengajar bukan sekadar tentang mentransfer ilmu
Ada hal besar yang tersimpan di balik itu.
Sesuatu, yang mungkin kelak bisa menjadi penolong bagimu
Ialah ilmu yang bermanfaat
Yang tak terputus meski nyawa telah berpindah tempat

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh”
(Hadits Riwayat Muslim)

Syarifa Tazkiya,
Belajarlah! Lalu izinkan aku menerima satu dari tiga yang tak terputus itu.

-Anas-

Masya Allah. Rasanya seperti mimpi. Lagi-lagi mataku menghangat, pun pipiku. Aku serasa diterbangkan ke langit ke tujuh. Tapi kemudian buru-buru menyadarkan diriku sebelum terjatuh. Aku nggak mau sakit hati gara-gara terlalu baperan dengan kejadian-kejadian semacam ini.

"Jangan ge-er dulu, Ki!"

"Tapi dia tau nama lengkapku lho!"

"Mungkin dia nyari info di kelurahan."

"Hidih, gak gitu juga keles!"

Sisi hati sedang berdebat ketika kudengar langkah-langkah kaki mendekat. Rupanya ibu, Mbak Nina dan Hanafi sudah pulang dari masjid.

Cepat-cepat kusembunyikan pemberian Mas Anas ke dalam lemari. Lalu keluar dari kamar sambil sok-sok nyanyi-nyanyi demi menyembunyikan kebahagiaan. Ayunan kakiku berhenti di meja makan.

"Mau makan, Ki?" tanya ibu.

"Iya, Bu. Tadinya sih enggak, tapi lihat sambel goreng ibu kok sayang dilewatkan," jawabku sambil menyendok banyak-banyak sambal goreng ati ayam bikinan ibu. Kolaborasi irisan cabai dan butiran pete yang melimpah membuat nafsu makanku tak bisa dibantah.

Mendadak tanpa diminta, benakku kepikiran Mas Anas. Malam ini dia makan pakai apa ya? Atau jangan-jangan malah nggak makan? Ya Allah, semoga nggak demikian.

Ciyeee... Perhatian ni yeee.

***

Jam di ruang tamu menunjukkan 21.17. Aku mengunci pintu, memastikan semua jendela telah tertutup rapat sebelum kembali masuk ke peraduan. Hanafi dan Mbak Nina sudah tidur sejak setengah sembilan. Ibu pun sudah masuk kamar setelah barusan denganku ngobrol-ngobrol ringan.

12 pesan dari 4 percakapan, demikian yang terbaca di layar HP yang hampir dua jam kutinggalkan. Kugulir kode untuk membuka kunci layar, 6 pesan dari Mas Anas Marbot. Ih, jadi penasaran kan.

[Assalamualaikum, Syarifa Tazkiya]

Aish, baru pesan pertama hatiku sudah berbunga-bunga.

[Azki dulu pernah nyantri kan? Jd udah punya modal bhs arab ya?]

[Belajar lagi gpp ya. Insya Allah akan bermanfaat suatu hari kelak]

[Kl ada yg dirasa sulit boleh tanya ke aku, insya Allah kubantu sebisanya. Kl sama2 gak bisa, kita cari jawabannya sama2 *emoji senyum]

Aku ikut tersenyum. 'Kita cari jawabannya sama-sama', menurut kalian, ini terdengar manis nggak sih?

[Kamu lagi apa?]

[Jangan lupa jawab salamnya didahulukan *emoji tertawa]

Aku tersenyum, lagi. Ada yang berdesir berkali di sini, di dalam hati. Perutku pun serasa ada yang geli-geli. Kalau berdasarkan yang pernah kubaca, gejala-gejala seperti ini sih sudah jelas tanda orang jatuh cinta. Tapi....

Ah, lagi-lagi pekerjaan Mas Anas meracuni pikiranku.

"Astaghfirullah. Ampuni ya Rabbi, jauhkan aku dari memandang makhluk dari sekedar itu. Sedangkan di hadapan-Mu, mulianya manusia adalah dilihat dari taqwa."

... إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

... Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Al Hujurat: 13)

Kuketikkan balasan untuk Mas Anas. Singkat saja, tapi entah bagaimana mengartikannya. Aku sendiri tak tahu. Dasar suka asal sih ya.

[Waalaikumussalam]

[Bismillah.
Aku mengizinkan. Dan aku akan belajar. Insya Allah]

Dua centang abu-abu berubah segera menjadi biru. Rupanya pria di seberang sana juga belum memejamkan mata.

[Alhamdulillah. Terima kasih, Azki]

[Kau tau, orang2 besar yang namanya terabadikan dlm tinta emas sejarah Islam, mereka semua ahlul Quran dan menguasai bhs arab. Bhs arab bkn bhs kita, tp bhs AlQuran. Dg menguasai bhs arab,  memudahkan kita mengerti isi Quran, dan mengamalkannya sbg pedoman hidup kita.
Belajarlah. Mungkin tak akan banyak diperlukan utk generasi kita, tp sbg calon ibu, ini akan bermanfaat utk generasi anak2 kita kelak. Insya Allah]

"Hah, calon ibu? Anak-anak kita?" Aku tak kuasa untuk menghentikan bibir yang melengkung beberapa derajat membentuk bulan sabit.

[Anak2 kita? Maksudnya gimana ya?]

Sent! Lalu aku tersadar, itu sebuah pertanyaan konyol. Harusnya cukup terucap dalam hati, ini kenapa jari ikut campur segala. Maka segera kuhapus pesan yang terakhir kukirim. Kuhapus untukku, dan untuk dia. Untuk semua.

[Knp ditarik pesannya? Sdh terlanjur kubaca *emoji tertawa]

"Haduh!!"

[Maksudnya kan kita segenerasi. Nah anak2 kita nanti ya kira2 jg segenerasi]

[Bukan anak kita anaknya aku sm kamu kok *emoji tertawa berjejer tiga]

Telak!! Aku merasa ditalak. Eh, maksudku ditolak.

"Ah asem banget. Iya iya aku sadar diri, aku mana pantes buat orang sebaik dia. Tapi gak papa sih, aku malah bisa nyari yang lebih dari dia, yang bukan cuma mar...,"

"Astaghfirullah. Banyakin istighfar, Ki. Jangan liat orang dari situnya."

Aku membenarkan kata hatiku, segera beristighfar, memohon ampunan. Mungkin tadi hanya sedikit sebal karena merasa ditolak. Hih, siapa juga yang mau sama dia. Dasar ge-er!!

Kuketikkan balasan yang mengandung konten sindiran.

[Iya, aku tau. Kita mmg gak selevel. Kamu alim, pinter. Pokoknya semua yg baik2 kamu punya. Aku mah apa, cm kerak nasi di dasar mejikjer!]

Haduh, ini pesanku maksudnya apalagi deh?!

[*emoji tertawa jejer tiga]

[Dan kamu jg tau, kl aku ini cuma marbot!]

Pesan terakhirnya membuatku bingung harus menjawab apa. Kugeser mode ke airplane. Memutuskan untuk memejamkan mata saja.

Bismika Allahumma ahya wa bismika amut.

Ya Allah, semoga pernyataannya tadi tidak membuatku berubah pikiran untuk belajar bahasa Arab lagi. Karena kurasa memang perlu, jika aku ingin mendidik anak-anakku agar kelak menjadi generasi cemerlang seperti generasi para sahabat Nabi.

Anak-anakku, walopun bukan anak-anaknya juga.

Eh, maaf ya Allah kalo doaku agak ngelantur. Astaghfirullahaladziim.

Zzzzz...

***

Udah udah udah, pembaca dipersilakan bubar dulu yess.
Azki-nya udah tiduurrrr.
Zzzzz...

See you 😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro