Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Mengundurkan Diri (1)

Beberapa hari berlalu sejak kabar yang kudengar dari obrolan Mbak Nina dan ibu. Sejak itu pula aku mengurangi intensitas ngobrol dengan Mas Anas. Eh, biasanya juga jarang sih, tapi sekarang aku mengurangi frekuensi kontak juga, baik kontak mata maupun kontak batin. Kontak handphone sih masih, kan sayang kalo nomornya dihapus gitu aja, walaupun sama sekali belum pernah dipakai berkomunikasi.

Pun tentang kaos kaki, aku sama sekali tak mengucapkan terima kasih selain saat menerimanya dari Mas Anas. Lagipula, dengan memakainya berganti-ganti setiap hari rasanya sudah mengungkapkan rasa terima kasihku atas pemberiannya kan?

Pokoknya hatiku terbakar cemburu.

Lah, cemburu sebagai apa? Entah, aku sendiri tak tahu. Bahkan apakah betul seperti ini yang dinamakan cemburu, juga aku tak tahu, kan belum pernah. Lagian apa hakku buat cemburu? Memangnya aku siapanya? Yang pasti aku malas melihat muka Mas Anas. Maksudnya aku malas kalau harus bersitatap sama dia. Kalo curi-curi pandang sih masih. Sayang aja melewatkan wajah seganteng dan seadem itu. Halah.

Aku juga tak pernah lagi ikut berdiri menyalami murid-murid kami. Sekarang, salaman sama mereka selalu kulakukan seusai mengaji, sebelum salat isya dimulai. Jadi kelar salat berjamaah aku bisa langsung kabur tanpa harus berbasa-basi.

Sebenarnya aku hanya mempersiapkan diri, jika sewaktu-waktu aku tak dibutuhkan lagi. Itu pula yang membuat dadaku terasa nyeri setiap kali kemungkinan itu melintas di pikiranku. Aku terlanjur sayang pada murid-muridku ngaji.

"Mbak Azki, tunggu!" Aku berhenti, memastikan suara yang kukenal itu memanggil namaku.

"Mbak Azki, jangan pulang dulu!" Lagi. Dan kakiku mendadak seperti menyeret bola besi. Berat!

Aku terpaksa berhenti, lantas menoleh pada asal suara yang telah mengambil posisi tak jauh dari titikku berdiri. Jamaah salat isya belum juga bubar. Baru satu dua yang keluar. Tapi tak kulihat satu pun personil dari kelompok mengaji anak-anak yang berbaris mengular.

"A-ada apa ya, M-Mas?" tanyaku gugup. Mataku masih mencari-cari barisan anak-anak seperti sehari-hari.

"Anak-anak sudah salim sama saya sebelum salat isya tadi. Jadi sekarang sudah pada langsung bubar. Sengaja, biar saya bisa nyegat Mbak Azki sebelum keburu pulang. Kamu kenapa, Azki?" Dia seperti tahu apa yang ada di pikiranku.

Eits, tunggu. Beneran nih dia memanggilku Azki saja tanpa embel-embel 'mbak'?! Dan dia juga menyebutku dengan kata 'kamu'. Aih, aku jadi melayang, rasanya seakan kami sudah akrab dan saling berbagi hati satu sama lain. Jiaah.

"Kamu kenapa, Azki? Ada yang salah kah dari aku?" Volume suaranya sedikit meningkat, mengagetkan aku yang sempat-sempatnya ngelamun cuma karena panggilan tanpa 'mbak' tadi. Dan sekarang dia membahasakan dirinya sebagai 'aku'?! Duh duh duh, aku jadi makin gimana gitu.

"A-aku, eh s-saya eng-enggak apa-apa kok. Eh itu, lagi banyak t-tugas di kampus aja," jawabku gelagepan.

"M-maaf, saya pulang dulu. Nanti kalo saya sudah nggak dibutuhkan untuk ngajar, kabari saja. Insya Allah saya siap berhenti," ucapku sambil menahan sakit.

Sejujurnya aku nggak lagi peduli sama Mas Anas, terserah dia mau ngajar ngaji sama siapa pun, bukan urusanku. Tapi aku nggak siap meninggalkan kebersamaan dengan anak-anak yang baru sesaat. Aku sudah menikmati kegiatanku, yang meski sedikit, kurasa bisa memberi manfaat. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat untuk sesama. Aku baru merasakan kebahagiaan itu, tapi sebentar lagi harus merelakannya untuk lepas dariku.

"Assalamualaikum." Aku tergesa pergi. Ingin segera berlalu dari hadapan lelaki yang sudah terlanjur menawan hatiku beberapa waktu ini. Sekaligus takut, dia akan melihat genangan di kedua mataku.

"Azki, kamu ngomong apa sih? Maksudnya gimana? Aku nggak ngerti." Dia mengejarku, menjejeri langkahku, tanpa alas kaki. Kata 'aku-kamu' seolah mulai akrab dengan kami.

"Tenang, Ki. Jangan goyah hanya karena panggilan aku-kamu. Jangan meleleh hanya karena dia mengejarmu sampe dibela-belain nggak pake sendal. Pokoknya jangan. Jangan! Kamu harus sadar diri bahwa sebentar lagi kamu harus pergi."

"Tolong, jangan ikuti saya. Saya mau pulang, dan saya nggak berkenan Mas ngikutin saya," ujarku tegas. Aku sendiri heran, kok bisa begitu yak?! Apakah mungkin ada yang merasukiku?

"Baiklah. Tolong dimaafkan kalo aku ada salah." Dia berhenti, aku mempercepat langkah, tak sedikit pun berniat menoleh lagi.

Sebelum sampai di rumah, lebih dulu kuhapus bulir bening yang untungnya tak sampai mengalir. Berpura-pura kelilipan. Enggak enak juga kalo dilihat Pak Satpam.

Begitu sampai rumah, aku langsung lempeng menuju kamar dan mengunci pintunya. Melepas mukenaku asal, kemudian membanting badan di atas kasur nan empuk. Mataku menghangat dan basah begitu saja.

Ting ting.... Notifikasi whatsapp terdengar dari HP di sebelah bantalku. Kusambar HP dan kubuka begitu saja pesan yang masuk. Tulisan 'Mas Anas Marbot' terbaca di pojok kiri atas layar. Haduh, terlanjur terbuka. Tahu begitu kan nggak usah dibuka saja pesan darinya.

[Assalamualaikum Mbak Azki. Ini Anas. Tolong jelaskan maksud Mbak tadi, saya kurang paham. Syukron.]

[Nggak ada yg perlu dijelaskan. Nanti kl mbak yg dr mesir sdh siap ngajar, kabari sy. Sy siap mundur kok.]

[Oh ya, Waalaikumussalam. Maaf lupa jawab salamnya]

[Oh, ini ttg itu ya. Kamu mau saya jelasin via telpon atau saya datang ke rumah? Biar saya jelasin sekarang juga]

[Nggak perlu. Sdh jelas semuanya. Jelas kl dibandingkan lulusan mesir sy bkn siapa2, bkn apa2. Kalo sdh nggak dibutuhkan tolong kasih tau aja. Drpd sy mengganggu mas sm mbaknya]

[Kamu cemburu?]

"Dih, pede banget sih. Siapa juga yang cemburu. Aku kan cuma sedih kalo harus berpisah sama anak-anak. Sama dia mah bodo amat!"

"Ciyeee, apa susahnya mengakui. Minimal sama diri sendiri. Cemburu ya cemburu aja!"

"Apa deh, emang beneran cuma berat berpisah sama anak-anak kok."

"Ya tapi ada cemburunya juga kan? Merasa tersaingi sama keberadaan mbak lulusan Mesir ya kan?"

Hatiku kembali berperang. Emosi banget baca chat terakhir dari Mas Anas. Sebenarnya lebih karena malu karena perasaanku terbaca olehnya. Sebel!

[Kl gitu sy mengundurkan diri sekarang juga!]

[Dan saya ke rumah kamu sekarang juga!]

Haduh, rumit banget sih. Berasa punya pacar aja. Ribet! Buru-buru aku lari ke kamar mandi untuk cuci muka. Siapa tau yang dikatakannya bukan cuma ancaman saja.

Rampung cuci muka, aku mengganti baju dengan daster rumahan. Biar nggak terkesan nungguin dia datang.

Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit. Gak ada hilal kedatangan si mas marbot. Hih, kezel deh aku. Emm, ya memang sih aku nungguin dia datang. Meski jual mahal, tetap saja aku ingin dengar penjelasan versi dia.

"Ciyeee, nungguin nih yeee," ejek sisi hatiku yang usil.

Gusar. Aku berhenti menunggunya. Kuputuskan untuk menyelesaikan kewajibanku setiap malam, nyuci piring. Namun hingga cucianku tak ada lagi yang tersisa, dia tetap belum menampakkan diri.

"Bu, Ki mau tidur dulu ya. Capek," ijinku pada ibu yang sedang asyik mengisi TTS.

"Iya, jangan begadang terus, nggak baik. Tugas kuliah kok nggak habis-habis," jawab ibu.

Aku masuk ke kamar dan mengganti lampu neon dengan lampu tidur. Belum ngantuk sih sebenarnya, tapi aku bete, merasa di-PHP sama Mas Anas. Baru saja menarik selimut, terdengar salam dari teras. Suara yang teramat kukenal. Bukannya keluar bukain pintu, aku justru berpura-pura tidur sambil pasang telinga baik-baik.

"Waalaikumussalam. Oh nak Anas. Monggo duduk di dalam. Ada perlu apa?" sayup kudengar suara ibu.

"Terima kasih, Bu Wahid. Saya ke sini mau ketemu Mbak Azki, Bu."

"Oh iya iya, sebentar saya panggilin dulu ya." Hanya dua detik, terdengar pintu kamarku diketuk dan dibuka. Ah, ketukan ibu memang selalu cuma basa-basi. Semoga tak berlanjut hingga aku sudah menikah nanti.

"Ki, Azki, dicari nak Anas. Udah tidur to kamu? Cepet amat?" Ibu mendekatiku, menepuk pipiku lembut, sejurus kemudian kembali keluar dan menutup pintu. Sedang aku kembali melek. Ngapain? Nguping lah, apalagi?!

"Nak Anas, maaf ya Azkinya sudah tidur. Beberapa hari ini memang banyak tugas kuliah, jadi tidurnya juga agak kurang. Mungkin dia kecapean."

"Oh iya, Bu. Nggak apa-apa."

"Maaf, kalo ibu boleh tau, ada perlu apa ya nyari Azki?"

"Dih, ibu mah kepo."

"Oh, enggak ada apa-apa sih, Bu. Cuma tadi Mbak Azki bilang mau mengundurkan diri dari ngajar ngaji anak-anak. Kelihatannya ada salah paham yang perlu dijelaskan."

"Lho, iya kah? Padahal dia senang lho ngajar anak-anak. Dia ngerasa keberadaannya bisa bermanfaat walopun mungkin nggak banyak. Dia sering cerita ke ibu kok.

"Beberapa hari ini tugasnya numpuk juga dia tetep sempetin ngajar ngaji. Kalo dulu kan boro-boro, diajakin solat jamaah ke masjid aja susahnya minta ampun."

"Duh, ibu mah gitu. Bikin makin ketauan deh kalo aku mengundurkan diri gara-gara mbak itu."

"Masya Allah. Alhamdulillah. Mbak Azki memang suka sama anak-anak ya, Bu?"

"Ciyeee, masnya kepo ni yeee."

"Ya kurang lebih gitu. Sama Hanafi juga, walopun sering berantem kaya anak kecil, tapi sebenernya dia sayang banget tuh. Azki tuh suka bikinin jajanan buat Hanafi, katanya daripada beli jajan di luaran kurang bagus buat kesehatan. Makanya Han jarang banget jajan atau makan jajan dari luar. Lah di rumah dimanjain tantenya kalo soal makanan."

"Haduh, Ibu apaan deh. Kek lagi promosiin anaknya yang nggak laku gitu. Kan bikin malu."

"Oh, Mbak Azki suka masak ya, Bu?"

"Iya. Alhamdulillah. Jadi ibu ada yang bantu-bantu kalo lagi ada pesenan."

"Maaf, Bu. Apa Mbak Azki kenal sama putrinya Pak Sukri yang baru pulang dari Mesir ya?"

"Lah, mas marbot ini mulai ngomongin yang enggak-enggak nih. Bahaya."

"Walah, ya kalo itu jelas nggak kenal, Nak. Wong Azki itu nggak pernah keluar rumah kalo bukan kuliah atau saya suruh. Dia kan anak rumahan banget."

"Oh iya kah? Soalnya alasannya mengundurkan diri...." Mas Anas berhenti bicara. HP-nya bunyi.

Kok aku tahu? Ya jelas, wong yang neror lewat telepon itu aku. Dan langsung kututup waktu dia angkat. Aku cuma mau dia buka HP dan baca pesan dariku. Berhasil, centang dua abu-abu berubah jadi biru.

[Mas Anas yg terhormat, plis deh nggak usah ngobrol macem2 sama ibu. Lebih baik mas pulang aja, kita selesaikan lewat japri!]

Entah apa tanggapannya di ruang tamu sana. Aku nggak peduli. Yang pasti dia nggak boleh bahas mbak lulusan Mesir itu sama ibu. Aku malu!

[*tiga emoji tertawa]

[Baik. Aku pamit pulang. Kamu tidur pura2nya dibatalin dulu ya]

"Ah, dia memang asem banget!" Aku cemberut sendiri.

Sebentar kemudian terdengar suaranya berpamitan pada ibu.

Yess!! Setidaknya untuk saat ini aku aman.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro