39. Tidak Pulang Berempat
Note:
Sampailah kita di part terakhir dari ceritanya Anas-Azki.
Agak panjang (3K+) nggak apa-apa yaaa :)
Enjoy reading.
***
Ruang operasi terasa begitu dingin. Cukup banyak petugas medis berada di sekelilingku. Semua berbaju hijau dikelilingi peralatan yang logamnya terlihat mengkilat. Kuamati satu per satu mereka yang akan membantuku dan anak-anakku. Kemudian bersyukur, setidaknya tak ada laki-laki di ruangan ini.
Para profesional itu bergerak cepat dan tangkas. Aku tak tahu apa saja yang mereka lakukan, yang kurasakan hanyalah ketakutan yang teramat sangat. Aku sendirian, bahasaku tak begitu lancar, suami tak ada di sampingku.
Aku ingat ibu, bapak, Hanafi, Mas Harits, Mbak Nina, bapak dan ibu mertua. Aku ingat Mas Anas. Aku takut tak bisa bertemu lagi dengan mereka semua. Lalu aku ingat diriku sendiri, bekal apa yang sudah kupunya kalau hari ini aku mati?
"Ya Allah, aku pasrahkan hidupku kepada-Mu. Ampuni segala dosaku, dosa kedua orang tuaku, juga suamiku. Kalau hari ini hari terakhirku, izinkan aku menutupnya dengan akhir yang baik. Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah." Aku berkomat-kamit menggumamkan doa, satu dua air mata kembali berlelehan di pipiku.
Salah satu petugas medis memintaku berbaring miring. Aku mengikuti instruksinya dengan keterbatasan bahasa yang aku punya. Lalu dia melakukan sesuatu pada bagian punggung bawahku. Mungkin ini yang disebut anestesi epidural, karena setelahnya, aku merasa mati rasa pada bagian bawah tubuhku.
Ada tirai pembatas dipasang, agar aku tak bisa melihat langsung proses operasinya. Karena aku sendiri yakin, akan makin stress kalau melihat perutku disayat seperti ibu membelah ayam.
"Tidak usah takut, insya Allah semua akan baik-baik saja. Banyak bersholawat, beristighfar, atau kalimat-kalimat baik lainnya. Berbahagialah. Sebentar lagi bayi-bayi mungil akan menyapa ibunya."
Petugas anestesi itu bicara padaku. Aku membalasnya dengan senyum. Kuikuti sarannya, aku merapal istighfar. Perlahan ketenangan datang, aku merasa bahagia. Benar, aku tak boleh merasa takut. Ini sebuah perjuangan, masa iya pejuangnya takut?
Kata-kata Mas Anas kembali terngiang, yang selalu ia katakan setiap kali aku membahas kemungkinan terburuk saat melahirkan.
"Laa tahzan, ya Zawjati. Kamu tahu kan, meninggal saat melahirkan termasuk syahid. Kalaupun itu yang terjadi, setidaknya surga telah menanti."
Yang kujawab dengan, "Terus kalau Ki mati, nanti Mas nikah lagi ya?"
Katanya, "Iyalah, kan aku masih muda."
Terus aku kesal. Merajuk. Mendiamkannya.
Aku tersenyum sendiri mengingat itu semua. Betapa Allah Maha Baik, menjodohkan aku dengan laki-laki sesempurna Mas Anas.
Lalu kejadian-kejadian sebelum kami menikah seperti diputar di benakku. Ya Rabb, betapa konyolnya kelakuanku saat itu. Aku malu. Lalu....
Oee oee oee.
Suara tangis bayi terdengar. Ya Rabb, itukah suara tangis pertama anakku?
"Alhamdulillah, bayi pertama sudah lahir. Laki-laki." Salah satu petugas medis memberitahuku.
Allahu Akbar. Aku sudah jadi ibu sekarang. Pipiku lagi-lagi terasa basah dan hangat. Haru.
"Mas, kita udah jadi bapak ibu. Anak pertama kita laki-laki," gumamku sambil tersenyum sendiri.
Aku menebak-nebak, apakah anak kedua kami perempuan, atau laki-laki lagi? Sebab Mas Anas tak pernah mau mengetahui jenis kelamin keduanya. Biar surprise, begitu katanya.
Oee oee oee.
Suara tangis bayi terdengar untuk yang kedua kali. Tapi berbeda dengan yang tadi, yang ini terdengar lebih keras. Pasti laki-laki lagi.
Petugas medis yang tadi memberitahuku kembali berkata, "Alhamdulillah, bayi kedua sudah lahir. Perempuan."
Ehk. P-perempuan?
Allahu Akbar. Perempuan. Anak keduaku perempuan. Masya Allah.
Tangisku pecah sudah. Ya Allah, betapa baiknya Engkau kepadaku. Memberi kebahagiaan yang begitu lengkap. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah.
Kedua bayi itu diperlihatkan kepadaku. Kecil mungil, merah, lucu-lucu. Aku menyentuhnya bergantian dengan tanganku. Anak-anakku. Ya, sekarang aku seorang ibu, dari dua bayi yang lucu.
"Lengkap ya, Dok? Tidak ada kekurangan?" tanyaku dalam bahasa Arab yang entah benar entah tidak.
"Alhamdulillah. Lengkap dan insya Allah sehat. Sekarang bayinya akan kami observasi dulu."
Tak ada inisiasi menyusui dini atau semacamnya. Tak apa, pikirku. Aku yakin saja, everything will be fine. Yang paling penting keduanya dalam keadaan sehat, dan aku sudah melihat serta menyentuh mereka.
Rangkaian proses berikutnya dari operasiku kali ini tak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan. Hatiku dipenuhi dengan kebahagiaan. Mungkin karena itu pula semua terasa lebih cepat. Sekitar empat puluh menit dari aku masuk tadi, tim medis sudah menyelesaikan pekerjaannya.
"Azki."
Mas Anas berlari menuju kepadaku. Lalu memelukku dan menciumi kepala serta kedua pipiku.
"Ki. Terima kasih ya, Sayang. I love you. I love you. I love you, Syarifa Tazkiya. Terima kasih, sudah mengandung dan melahirkan anak-anakku. Aku nggak tahu lagi mesti ngomong apa buat kamu. Terima kasih ya, Ki."
"Alhamdulillah. Terima kasihnya sama Allah, Mas. Kita bapak dan ibu sekarang. Anak kita laki-laki dan perempuan. Allah berikan kebahagiaan yang lengkap."
"Iya, Ki. Alhamdulillah. Masya Allah laa quwwata illa billah. Aku gemetaran waktu mengumandangkan adzan dan iqomah di telinga mereka, Ki. Rasanya itu adalah adzan dan iqomah terindah yang pernah kulakukan. Masya Allah."
Dia memelukku lagi dan mencium keningku lama sekali. Betapa leganya aku bisa kembali bertemu dengannya. Dan sebentar lagi, kami akan berkumpul dengan anak-anak kami. Kami akan pulang berempat. Insya Allah.
Ia masih menatapku dalam. Tangannya tak lepas menggenggam jari-jariku. Tapi tunggu..., matanya. Mata Mas Anas....
"Mas tadi nungguin Ki sambil nangis terus gitu? Kenapa matanya begitu? Sembab banget."
"Ya gimana, Ki? Udah ditahan-tahan tetep aja nggak kuat. Berhenti nangis dua detik, udah nangis lagi dua menit. Gitu terus sampai aku dipanggil suruh masuk. Kelihatan banget ya? Apa aku jadi kayak ibu-ibu habis nonton sinetron azab?"
"Mas, please deh. Udah cukup Ki berjuang nahan sakit habis operasi. Jangan disuruh juga berjuang nahan tawa. Sakit tau, Mas." Kucubit tangannya, dia tertawa. Bahagia terlihat jelas di kedua netra.
Dua orang perawat datang, masing-masing menggendong satu bayi. Satu diserahkan kepadaku untuk kususui, satu lagi dipindahkan ke gendongan Mas Anas. Ia kagok, bisa jadi karena saking bahagianya. Kulihat kedua matanya kembali berkaca. Hmm, ternyata bapak satu ini melankolis juga.
Kedua perawat kemudian membantuku untuk menyusui si bayi laki-laki. Aku merasakan sensasi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sambil menahan pedihnya jahitan yang mulai terasa, aku terharu melihat bayi mungilku berusaha untuk mendapatkan makanan pertamanya, hingga ia berhasil menelan kolostrum sesuai kebutuhannya.
Allahu Akbar. Sungguh satu pengalaman yang tak ternilai dengan apapun juga. Aku tak lagi membawa dua bayi dalam rahimku. Tapi sekarang aku menjadi sumber kehidupan bagi mereka, menjadi perantara rezeki yang Allah tetapkan untuk keduanya melalui ASI yang kupunya.
Kupandangi wajah jagoanku, rasanya tak kutemukan sedikitpun goresan wajahku di sana. Dia begitu mirip dengan Mas Anas.
Perawat mengatakan cukup, lalu aku bertukar dengan Mas Anas memeluk bayi kami. Gadis kecilku yang lucu sekarang berada di dekapanku. Mulutnya yang mungil bergerak-gerak, berusaha mendapatkan makanan pertamanya di dunia. Betapa menggemaskan.
Kupandangi ia dengan penuh sukacita, tapi..., kenapa ia juga sangat mirip dengan Mas Anas. Tak ada satu bagian pun yang terlihat mewarisi garis wajahku.
"Kenapa dilihatin terus? Nyari kemiripannya sama kamu ya? Nggak usah sedih, Sayang, kalau anak bayi kan memang wajahnya hampir mirip-mirip gitu. Nanti pas tumbuh besar, biasanya masih akan berubah-ubah. Ada lho yang pas kecil dibilang mirip ibunya, tapi makin besar sampak akhirnya besar, orang-orang malah berbalik bilang mirip ayahnya." Mas Anas menghiburku, seperti tahu apa yang ada di pikiranku.
"Kalaupun dua-duanya mirip aku semua, ya udah bener juga, kan aku bapaknya. Lebih nggak lucu lagi kalau malah mirip bapaknya tetangga."
Kupelototin dia. Sudah tahu istri lagi nggak bisa sembarang ketawa, malah dibecandain nggak jelas begitu. Hih.
Kedua bayi kami kembali dibawa ke ruang observasi. Aku segera dipindahkan ke ruang rawat inap. Mas Anas memilih fasilitas terbaik agar aku bisa istirahat dengan nyaman.
"Mas, Ki punggungnya agak pegel. Tolong pijitin ya."
Tanpa menunda, dia segera memijat punggungku. Bahkan juga tangan dan kakiku tanpa kuminta. Pijatan baru saja usai saat dua perawat datang kembali dengan mendorong dua box bayi. Alhamdulillah, kami sudah boleh berada di ruangan yang sama.
Perawat menjelaskan beberapa hal pada kami, lalu keduanya pergi. Mas Anas menghampiri bayi-bayi kami, memandang mereka seolah tanpa berkedip. Agaknya dia teramat bahagia menjadi seorang bapak.
"Mas, udah ngabarin ibu sama bapak ibu belum?"
"Astaghfirullah hal adzim. Aku lupa, Ki."
"Lho piye to? Kirain tadi udah ngabarin minta didoakan kek, apa gitu. Di sana udah mau subuh, buruan telepon, gih."
Diambilnya gawai segera. Yang dilakukan pertama kali adalah menelepon ibunya. Ia aktifkan loudspeaker agar aku bisa turut mendengar pembicaraan keduanya.
"Assalamualaikum, Bu."
"Waalaikumussalam. Piye, Nas? Kok tengah wengi ngene telpon, ono opo?"
(Gimana, Nas? Kok tengah malam begini telepon, ada apa?)
"Azki, Bu ---"
"Heh, Azki kenopo?! Ora opo-opo to? Sehat-sehat wae to?"
(Heh, Azki kenapa? Nggak apa-apa, kan? Sehat-sehat saja, kan?)
"Alhamdulillah, ini pemulihan, Bu. Udah melahirkan baru saja. Ini udah di ruang perawatan."
"Allahu Akbar. Alhamdulillahi robbil alaamiin. Laa hawla wa laa quwwata illa billah. Lha iki nangendi? (Lha ini di mana?)"
"Di rumah sakit, Bu."
"Rumah sakit ngendi?"
"Riyadh, Bu."
"Yo maksudku jenenge rumah sakite ki opo?"
(Maksud ibu nama rumah sakitnya apa?)
Aku menahan tawa mendengar obrolan ibu dan anak bungsunya. Mas Anas menyebutkan nama rumah sakit tempat kami sekarang berada, lengkap dengan ruang perawatannya, dan berada di lantai berapa.
Panggilan kemudian terputus. Dia bahkan belum sempat bilang kalau bayi kami sepasang. Laki-laki dan perempuan.
"Pulsamu habis, Mas?"
"Heh, ngece (ngejek)." Dia tak terima.
Dicobanya untuk kembali menghubungi ibu, tapi tak diangkat. Ia lalu menghubungi ibuku, malah handphone-nya tidak diaktifkan.
"Ya udah, ntar lagi aja, Mas. Sekarang Ki lapar. Tolong bantu siapin makan buat Ki ya, Mas."
"Eh, tengah malam gini. Emm, coba aku mintakan ke perawat dulu ya." Dia panik. Entahlah, sejak melihat ketuban mengalir di pahaku tadi, rasanya dia jadi sering panik.
"Nggak usah, Mas. Ki udah bawa sereal sama susu di tas bersalin yang punya Ki. Bikinin itu aja."
Aku memang sudah menyiapkan dua tas bersalin. Satu berisi keperluan bayi-bayiku. Satu lagi baju ganti untukku dan Mas Anas, juga beberapa keperluan lain yang sekiranya aku butuhkan.
Mas Anas bergegas membuatkan apa yang kuminta. Mengupaskan sebutir apel saat aku sedang menikmati sereal favoritku dengan lahapnya. Ia pula yang membereskan semuanya setelah aku menyelesaikan makanku.
Pintu kamar diketuk, disusul seorang perawat masuk. Ia bicara entah apa pada Mas Anas, suaranya pelan, mungkin takut mengganggu bayi-bayi kami.
Mas Anas mendekat padaku, memelukku. Aku merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Perawat tadi berbicara, terdengar cukup keras. Sepertinya pintunya masih terbuka. Pelukan Mas Anas menghalangiku untuk melihat ke sana.
"Mas kenapa deg-degan begini?"
"Nggak apa-apa. Aku deg-degan karena aku bahagia banget."
"Dari tadi juga Mas bilang bahagia banget, tapi nggak deg-degan begini."
"Aku kasih tahu, tapi nggak boleh kaget ya. Nggak boleh heboh, nggak boleh histeris. Nanti anak-anak kaget. Jahitanmu juga masih basah. Pokoknya harus tenang dan selow."
Ih, bikin penasaran aja deh.
"Ada apa sih, Mas?"
"Janji dulu."
"Iya, Ki janji. Insya Allah Ki tetap tenang." Padahal aku sudah ketularan deg-degan.
Mas Anas melonggarkan pelukannya, tapi tak melepas sepenuhnya. Ia menoleh ke belakang punggungnya dan mengangguk.
Detik berikutnya aku merasakan genggaman yang lembut. Aku tahu, ini tangan ibu. Iya, ini tangan ibuku.
Mas Anas melepasku, menggeser badannya, dan membiarkan seseorang ganti memelukku.
"Ibu? Ini Ki nggak lagi mimpi, kan?"
"Iya, Nduk. Ini ibu."
Cuma itu jawaban yang aku dengar. Tak ada lagi pembicaraan. Kami larut dalam tangis keharuan. Sungguh, sedetik pun aku tak pernah membayangkan akan mengalami cerita seindah ini.
Ibu melepas dekapannya. Di hadapanku masih ada lagi kejutan. Bapak dan ibu Kajen juga berada bersama kami. Allahu Akbar.
Ibu Kajen menaruh bayi perempuanku ke box, lalu memelukku. Entah berapa kali ucapan terima kasih terdengar di telingaku. Harusnya malah aku yang berterima kasih karena ibu dan bapak sudah membesarkan anak seistimewa suamiku.
Haru biru usai. Rasanya, aku menjadi orang yang paling berbahagia di dunia.
"Mas nih, bikin kejutan kok nggak bilang-bilang, sih?" Aku merajuk.
"Lah, aku aja nggak ngerti, Ki," sahut Mas Anas secepat kilat.
"Iya. Anas nggak ngerti, Ki. Ini semua bapak yang merencanakan dan mengurus," kata ibu Kajen.
"Kok bisa, Bu? Visanya gimana? Terus kok pas banget datangnya bertepatan Azki melahirkan. Anas kok belum nemu nalarnya."
"Bapak kan punya banyak teman baik di Saudi, Nas. Di Riyadh juga ada. Nah, bapak minta tolong pada salah satunya untuk mengundang kami ke sini. Kalau warga negara sini kan lebih leluasa. Itu ngurus udah dari 2-3 bulan lalu." Ibu mertuaku menjelaskan.
Hemm. Sultan mah bebas.
"Kalau waktunya yang ngepasi, sebenernya memang ibu yang ngitung. Biasanya kalau lahir kembar itu maju. Ibu maunya nemenin Azki dari sebelum melahirkan, jadi kalau ada apa-apa pas kamu masih di kampus, ada yang nemenin dan siap ngantar Azki ke rumah sakit.
"Qodarullah kok Azki lahirannya beneran maju. Majunya juga pas banget sama waktu yang ibu pilih buat ke sini."
"Lha ini tadi udah ke rumah teman Bapak yang jadi pengundangnya?" tanya Mas Anas.
"Uwis. Tekan kene awit jam wolu. Ibumu lho ribut, karepe pak langsung nanggone Anas bae. Kok Anas malah telpon njuk ngabari sisan. Wis, langsung mene tah." Bapak menjawab dengan logat Pekalongan yang kental.
(Sudah. Sampai sini dari jam delapan. Ibumu lho ribut, inginnya mau langsung ke tempat Anas saja. Kok Anas malah telepon dan ngabari pula. Sudah, langsung ke sini lah.)
"Bisa masuk ke sini juga karena temannya bapak yang nganter dan ngomong sama pihak rumah sakitnya, Nas. Kalau nggak gitu mana boleh masuk tengah malam gini." Ibu menimpali lagi.
Ibuku diam saja, hanya senyum yang tak sedikitpun menghilang dari wajahnya, yang terlihat sedikit lebih tua. Mungkin karena menahan kangen sama anak kesayangannya yang jauh di seberang samudra Digenggamnya tanganku sejak tadi, aku balas mengusapnya berkali-kali.
"Istirahat, Nduk, Nas. Anak-anak biar ibu yang menemani. Nanti kalau waktunya menyusu, ibu bangunin Azki," kata ibuku. Aku mengangguk menyetujui.
"Ibu saja yang istirahat. Ibu kan habis perjalanan jauh. Kalau Anas kan dari tadi cuma di sini, Bu. Dan udah diniatin mau begadang jagain anak-anak. Kayaknya ngantuk langsung hilang cuma dengan ngelihatin mereka berdua."
Iya deh, yang baru jadi bapak.
Akhirnya semua bersepakat untuk tidur bergantian. Ibu-ibu tidur duluan, bapak dan Mas Anas belakangan. Aku? Ya tidur lah ya. Kan dalam hal ini aku sebagai pemeran utama.
***
Tiga hari di rumah sakit, aku diperbolehkan untuk pulang. Apa yang kukatakan saat akan masuk ke ruang operasi benar-benar terjadi. Kami tak pulang berempat, tapi bertujuh dengan bapak dan ibu-ibu. Masya Allah.
Kami duduk di living room. Aku duduk di sofa, sambil menyusui bayi perempuan kami. Ibu di sebelahku, menggendong si bayi laki-laki. Mas Anas dan bapak ibunya memilih duduk selonjoran di karpet, lebih santai katanya.
"Nas, syukurmu yang banyak punya istri Azki. Rumahmu bersih, rapi, nyaman begini. Kamu juga kelihatan lebih berisi, makin ganteng, berarti Azki pinter ngurus kamu," komentar ibu Kajen yang begitu masuk rumah tadi langsung menginspeksi keadaan rumah kami.
"Iya, Bu. Alhamdulillah. Azki pinter semua-muanya. Ngurus rumah, ngurus Anas, ngurus kandungannya. Ikut kajian juga rajin. Malah sempet nerima pesanan snack-snack segala."
"Heh, bojomu ojo mbok kon nggolek duit lho, Nas!" Ibu kajen ngegas.
(Heh, istrimu jangan kamu suruh cari uang lho, Nas!)
"Ya Allah, Bu, suudzon betul sama Anas. Nggak lah, Bu. Sebisa mungkin Anas selalu berusaha bikin Azki nyaman. Lha dia nyamannya dengan sesuatu yang menghasilkan uang, gimana?" Semua tertawa.
"Lha terus kenapa kemarin kamu suruh dia lahiran caesar? Kata Azki sebenernya ada harapan bisa melahirkan normal. Kan lebih nyaman kalau lahiran normal to, Nas, terutama setelahnya. Kalau caesar kan sakitnya malah pasca melahirkannya."
"Oh, itu. Iya, Bu, kalau itu memang Anas sengaja. Pertimbangannya Azki baru bukaan tiga. Nggak tahu bisa cepat apa nggak bukaan lengkapnya. Terus air ketuban juga udah pecah. Anas cuma kuatirnya kalau Azki udah berusaha untuk melahirkan normal, tapi akhirnya harus dioperasi juga. Kan malah sakitnya dua kali, Bu. Apalagi ini melahirkan dua bayi. Anas cuma mau yang terbaik buat Azki."
"Nggak apa-apa, Bu. Ki baik-baik saja kok. Ibu percaya saja, Mas Anas selalu kasih yang terbaik buat Ki. Ki terima kasih yang sebesar-besarnya sama Bapak Ibu, sudah membesarkan dan mendidik Mas Anak dengan penuh kebaikan. Ki beruntung banget jadi istrinya Mas Anas."
"Aku kali, Ki, yang beruntung punya istri sebaik dan seikhlas kamu," ujar Mas Anas.
"Nggak ya. Ki yang lebih beruntung jadi istrinya Mas."
"Aku ah."
"Ki."
"Aku."
"Halah, opo to yo. Ko kuwe bae kok yo dibahas." Bapak menengahi, ibu-ibu menertawakan kami.
(Halah, apa sih ya. Kayak begitu saja kok ya dibahas.)
Aku menukar bayi di gendonganku dan ibu, berganti menyusui si bayi laki-laki. Mas Anas menyajikan minuman hangat untuk kami semua. Teh dengan daun mint yang sekarang menjadi kesukaanku. Juga beberapa toples kue kering bikinanku.
"Lha rencanamu buat anak-anakmu gimana, Nas?"
"Ya, udah ada, Pak. Yang terdekat aqiqah dan cukur rambut, sekalian khitan untuk si jagoan. Insya Allah hari ketujuh, Pak. Step pertama dari tahapan usia yang sesuai Al Qur'an dan Hadits."
Mendengar Mas Anas bicara, aku jadi tak sabar untuk membesarkan anak-anak bersamanya.
"Sekalian launching nama?"
"Iya, Pak. Insya Allah begitu."
"Siapa namanya, Nas?" tanya ibu-ibu bersamaan.
"Ja'far dan Fakhitah, Bu. Ja'far Najed. Fakhitah Utrujah."
"Artinya?"
"Nama Ja'far diambil dari Ja'far bin Abi Thalib. Saudara laki-laki Ali bin Abi Thalib yang syahid saat memimpin perang Mu'tah. Keberaniannya tercatat dalam sejarah. Ia syahid dengan luka tak kurang dari 90, dan tak ada satu pun luka berada di punggungnya. Ia berhadapan dengan musuh dalam arti yang sebenar-benarnya. Kedua tangannya bahkan putus tertebas pedang, dan Allah telah menjanjikan akan mengganti kedua tangan Ja'far dengan dua sayap di surga. Kami berharap, kelak Ja'far kami juga menjadi seorang pejuang Islam yang pemberani.
"Kalau Najed itu dari kata Najd. Dulu, wilayah Riyadh dan sekitarnya disebut Najd. Sedang tanah suci, Mekah, Madinah, masuk dalam wilayah Hijaz. Ja'far kami lahir di sini, di Najd."
Bapak dan ibu-ibu mengangguk-angguk. Memang, kalau Mas Anas sudah bicara yang berkaitan dengan kisah, tak hanya anak kecil, orang tua pun akan hanyut dalam pesonanya.
"Fakhitah lebih dikenal sebagai Ummu Hani'. Dia adalah saudara perempuan Ja'far, juga Ali. Ya, ketiganya adalah anak Abu Thalib sekaligus sepupu dari insan paling mulia di muka bumi. Pada Fakhitah Rasulullah pernah jatuh hati untuk pertama kali, sebelum kemudian menikah dengan Khadijah Al Kubro. Rasulullah melamar Fakhitah, namun Abu Thalib menolak lamaran itu, Fakhitah dinikahkan dengan seseorang dari kabilah lain, sebab ada tradisi membalas budi dan semacamnya.
"Saat Fakhitah bersyahadat, tidak demikian dengan suaminya, yang justru pergi meninggalkannya sebab mereka telah berbeda. Rasulullah melamarnya untuk yang kedua kali, tapi Fakhitah tak bisa menerima, sebab anak-anaknya. Ia khawatir, jika berat pada Rasulullah, ia tak bisa memperhatikan anak-anaknya. Jika berat pada anak-anaknya, ia tak bisa penuh mendukung perjuangan Sang Nabi."
Mas Anas memperbaiki duduknya. Meneguk separuh isi gelasnya. Sebelum melanjutkan bicara, ia menatapku sekilas, dengan mata yang penuh akan cinta.
"Utrujah kami ambil dari nama buah yang dijadikan permisalan baik oleh Rasulullah. Pada salah satu hadits disebutkan bahwa, "Permisalan orang yang membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah utrujah, rasanya manis dan baunya wangi. Orang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah kurma, rasanya enak namun tidak beraroma. Orang munafik yang membaca Al Qur’an adalah bagaikan raihanah, baunya menyenangkan namun rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca Al Qur’an bagaikan handzolah, rasa dan baunya pahit dan tidak enak.” (HR. Bukhari)
"Utrujah itu buah yang rasanya manis dan baunya wangi. Rasulullah menjadikannya perumpamaan bagi mereka, orang mukmin yang membaca dan mengamalkan Al Qur'an. Kami berharap, Fakhitah kami menjadi seorang yang selalu tabah dan memiliki prinsip yang teguh. Ia pula menjadi seseorang yang mencintai dan mengamalkan Al Qur'an sebagaimana permisalan yang dilekatkan pada namanya."
Kulihat ibuku menyeka kedua sudut mata. Aku tak tahu, mungkin ibu terharu. Anak perempuannya yang biasa saja bahkan cenderung seenaknya, menjadi makmum dari laki-laki soleh yang memiliki cita-cita besar. Tak hanya untuk diri dan keluarganya, tapi juga untuk generasi berikutnya.
Aku jadi teringat pada kata-kata ibu saat kami main ke pantai dulu, bahwa "Anas memang marbot, tapi dia bukan marbot biasa."
***
Alhamdulillah... Akhirnya selesai juga. Dan happy ending dong yaaa. Aku sendiri memang nggak suka bikin akhir yang sedih. Orang udah baca panjang-panjang, nunggu lama-lama, masa dikasih akhir yg bikin kecewa. Yekaaann.
Terima kasih banyak untuk teman-teman semua yang sudah membaca dan mengikuti ceritanya Anas-Azki.
InsyaAllah aku akan ceritakan ttg Behind The Story alias gimana ceritanya aku menulis Bukan Marbot Biasa ini. Yang di perjalanan ceritanya jadi sama dengan badanku, melebar.
*dih, sempetnya curhat :D
Nggak menutup kemungkinan akan ada extra part, kalau ada idenya datang. Hehe...
Btw, aku senang lho baca komentar teman-teman, jadi penyemangat buat aku terus berkarya. Ya meskipun kadang aku nggak sempat balasnya. Maaf yaaa.
So, boleh dong tuliskan kesan teman-teman membaca Bukan Marbot Biasa ini. Juga pesan buat aku, biar tetap semangat dan makin baik dalam menulis.
Baiklah. Sampai di sini dulu. Terima kasih untuk segala apresiasi yg memotivasi. Dan mohon maaf untuk segala kesalahan serta kekurangan.
Love you all.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro