37. Hari di Tanah Haram
Bismillah.
***
Setelah berdebat sengit soal transportasi yang akan kami gunakan menuju Mekah, akhirnya kami mencapai kesepakatan.
Aku memilih menggunakan jalur darat, tapi Mas Anas menolak mentah-mentah. Kehamilanku lagi-lagi menjadi alasan. 860-an kilometer bukan jarak yang dekat untuk ditempuh dengan mobil dalam kondisi hamil.
Alasan lain adalah dia tak bersedia solo driving delapan jam lebih. Aku tentu saja tak bisa menggantikannya, SIM internasional yang sudah kubuat sebelum mengikutinya ditahan oleh Mas Anas. Dia tak mengizinkan aku untuk menyetir selama di Saudi. Semua menjadi tanggung jawabnya. Baiklah.
Pada akhirnya aku setuju untuk naik pesawat, tapi aku mengajukan syarat baru, yaitu aku mau sekalian ke Madinah. Aku rindu suasana kotanya yang begitu tenang, damai, dan menyejukkan.
Mas Anas lagi-lagi tak bersedia memenuhi syarat tambahan yang kuajukan. Kuakui, semua pertimbangan yang dia ajukan memang benar. Tapi tetap saja aku kesal. Istri lagi hamil, bukannya diturutin, eh malah aku lagi yang harus nurut. Padahal kan dia yang mengajak. Huh.
***
Hari menjelang sore, pesawat milik pemerintah Saudi Arabia mendarat mulus di King Abdulaziz International Airport, Jeddah. Mas Anas menggandeng tanganku setelah memastikan keadaanku baik-baik saja.
Kami menyusuri bandara yang cukup sederhana, setidaknya jika dibandingkan dengan bandara King Khalid di Riyadh. Dominasi warna putih menyapa kami semua. Suasananya tak berbeda jauh dari saat aku pertama mendarat di sini dulu. Hanya saja kami tak melewati loket-loket keimigrasian.
"Kamu baik-baik aja kan, Sayang? Sehat, kan? Masih semangat, kan?" Mas Anas kembali bertanya. Aku tahu, sebenarnya ia sedang meyakinkan dirinya sendiri kalau keadaan istri tercintanya ini baik-baik saja.
"Insya Allah. Mas nggak usah merasa bersalah atau apa gitu deh. Ki capek sih, tapi cuma dikit aja. Pokoknya Mas tenang aja. Oke?" Dia meringis. Tahu kalau aku paham apa yang saat ini dia pikirkan.
Temannya yang menjemput kami. Seorang WNI yang menjadi mukimin di kota Mekah. Entah teman apa, yang pasti mereka cukup akrab. Ia membawa kami berdua ke suatu hotel berbintang lima di kota Jeddah, menunjukkan pada kami tempat parkirnya, bahkan menyerahkan mobil dan suratnya kepada Mas Anas sebelum kemudian berpamitan.
"Siapa, Mas?" tanyaku begitu temannya berlalu.
"Senior di pondok dulu. Lama di sini. Kerja di kantor urusan haji gitu, Ki."
"Mas pinjam mobilnya?"
"Bukan sih. Itu mobil temannya bapak, orang sini. Karena nggak bisa ngantar sendiri, dan dia kenal dengan temanku tadi, makanya temanku yang bawa ke sini sekalian jemput kita."
"Tapi Mas tahu kan jalan-jalan di sini?"
"Insya Allah tahu, Sayang. Kami, keluarga Kajen, kalau ke sini biasa pergi-pergi bawa mobil sendiri, Ki. Lagian kan ada maps, insya Allah aman. Dan ingat juga, aku bisa bahasa Arab lho."
"Hih, sombongnyaaa."
Dia tertawa. Lalu menyerahkan barang bawaan kami pada petugas hotel. Digandengnya tanganku menuju ke lift, tak sedikit pun dilepas sampai kami tiba di kamar.
"Kenapa kita pakai nginap dulu di sini, Mas?"
"Karena kita dari Riyadh, Sayang."
"Ya, so...."
"Kita harus ambil miqat dulu di Qarnul Manazil."
"Apa itu?" Mas Anas tertawa mendengar pertanyaanku.
"Ya tempat miqat, Ki. Tahu miqat kan?"
"Ya kalau itu tahu, Mas. Macam Bir Ali itu kan?"
"Nah, iya bener banget. Intinya, miqat itu tempat di mana kita memulai niat untuk melaksanakan umroh atau haji. Tempatnya sudah ditentukan dari masa Rasulullah dulu. Kalau jamaah haji atau umroh dari Indonesia kan seringnya ke Madinah dulu, maka mereka mengambil miqat di Bir Ali atau Dzulhulaifah.
"Sedangkan Qarnul Manazil atau dikenal juga sebagai Al Sail Al Kabir adalah tempat miqat mereka yang berasal dari wilayah Najed."
"Najed tuh mana lagi, Mas? Kita kan dari Riyadh."
"Najed itu kalau sekarang ya Riyadh dan sekitarnya, Ki." Aku mengangguk-angguk paham.
"Kenapa nggak langsung dari bandara Jeddah?"
"Bandara kan nggak masuk tempat miqat yang Rasulullah sebutkan, Ki." Dia tertawa kecil, mengusap kepalaku.
"Walaupun ada sebagian yang memperbolehkan, tapi aku sendiri kurang mantap. Bahkan berihram dari udara saat melewati Qarnul Manazil pun aku kurang sreg. Makanya kita menginap dulu di sini. Besok pagi kita ke Qarnul Manazil, baru setelah itu kita ke Mekah. Biar kamu juga tahu Qarnul Manazil."
"Mas udah pernah ke sana?"
"Emm, kalau itu, emm, belum sih. Kami selalu ke Madinah dulu, Ki." Dia tertawa. Lalu meyakinkan aku bahwa itu bukan sesuatu yang sulit untuk kami lakukan.
Kami akan ke sana naik mobil besok pagi. Jaraknya sekitar 200-an kilometer dari Jeddah. Setelahnya, baru kami akan ke Mekah, sekitar 90-an kilometer dari Qarnul Manazil. Jadi, besok pagi kami akan menempuh perjalanan darat hampir 300-an kilometer.
"Mas nggak apa-apa nyetir sendiri? Jauh lho 300 kilometer tuh."
"Dekat lah, Ki. Cuma kayak pulang pergi Kajen-Semarang. Dan kamu udah tahu kan, jalan di sini nggak pakai macet kayak di Indonesia. Jadi, kamu tenang aja ya. Udah, sekarang istirahat dulu. Mandi biar seger. Anak-anak kita harus nyaman." Dia menyuruhku.
"Ibunya?"
"Ibunya apalagi, harus banget merasa nyaman. Nggak boleh capek. Apa perlu dimandiin?"
"Nggak gitu juga kali, Bapak Ahmad Nashiruddin. Modus aja."
"Hehe, ya udah sana mandi. Habis itu aku pijitin deh."
Ah, Mas Anas memang super baik dan pengertian. Lagi-lagi aku merasa sangat bersyukur, Allah sangat baik padaku. Menjodohkan aku dengan anak sultan yang salehnya masya Allah. Ganteng pula. Alhamdulillah.
***
Esoknya kami melakukan semua sesuai rencana. Bakda subuh kami sudah meninggalkan hotel kami di Jeddah. Sekira jam tujuh pagi, kami sudah tiba di Al Sail Al Kabir atau Qarnul Manazil.
Seperti kebanyakan masjid di Saudi, masjid di Qarnul Manazil juga didominasi warna putih. Bangunannya cukup sederhana tapi tetap bersih dan nyaman.
Mas Anas melaksanakan salat tahiyyatul masjid, disambung dengan salat dhuha. Setelahnya segera mengganti pakaian dengan kain ihram. Lalu ia membimbingku untuk melafalkan niat ihram.
Kami muhrim sekarang. Ya, kami adalah orang yang berihram.
Dulu aku mengira muhrim dan mahram itu sama. Ternyata berbeda. Mahram adalah sebutan bagi orang-orang yang diharamkan untuk menikah dengan kita. Sedangkan muhrim adalah sebutan bagi mereka yang berihram.
"Kita ke Mekah sekarang ya, Ki? Bismillah. Kita muhrim. Dijaga ya perkataan dan perbuatannya. Lebih baik diam daripada bicara yang nggak perlu. Lebih baik tidak bersentuhan daripada mengundang hawa nafsu. Lebih baik perbanyak dzikir daripada melakukan sesuatu yang berpotensi melanggar peraturan atau melakukan dosa. Ingat Al Baqarah ayat 197. Fa laa rafatsa wa laa fusuqa wa laa jidala." Dia mengingatkan aku.
"Iya, Mas. Ki tidur aja boleh ya?"
"That's better, Ki. Tidurlah. Kamu harus jaga fisik."
Aku mengatur seat-ku agar nyaman untuk tidur. Mas Anas serius menyetir. Yang terakhir menyusupi telingaku adalah kalimat talbiyah yang meluncur dari lisannya.
Aku baru bangun saat Mas Anas menepuk bahuku. Kami sudah di parkiran hotel di Mekah. Sebotol air disodorkannya untukku. Zamzam, begitu katanya. Entah dari mana, dia sudah dapat saja.
Aku merasa segar. Kutuang sedikit zamzam ke tanganku, lalu aku usapkan ke wajahku. Setelahnya aku turun dari mobil dan berjalan bersisian dengan suamiku. Dari tulisan-tulisan di sepanjang ruang yang kami lewati, baru kutahu kalau kami menginap di Clock Royal Tower alias menara jam. Mimpi apa aku?
"Kira-kira perlu istirahat berapa lama, Ki?" tanya Mas Anas saat kami sudah tiba di kamar.
"Terserah Mas aja. Ki manut."
"Oke. Aku istirahat sebentar. Nanti kita salat dhuhur di Haram, lanjut tawaf, sa'i, sampai selesai tahalul. Lalu tunggu asar, sesudahnya baru kita pulang. Kalau masih capek, kita maghriban di kamar. Kalau udah kuat, kita maghrib di Haram lagi."
"Iya, Mas."
Kami bahkan baru saja melewati pintu, tapi Mas Anas sudah mempresentasikan segala rencana kegiatan kami sampai malam nanti. Masya Allah. Benar-benar si Mr.Perfectionist.
Eh, Astaghfirullah. Kan lagi berihram, kenapa malah nyinyirin suami, Ki?
Toilet jadi tujuan pertama Mas Anas. Mungkin hendak mencuci tangan, kaki, dan wajah sebelum istirahat.
Aku memilih melangkahkan kaki ke jendela kaca room kami. Pandanganku langsung terantuk pada bangunan kubus berwarna hitam yang dikelilingi banyak manusia berbaju dominan warna putih.
Hatiku bergetar seketika. Entah berapa tahun yang lalu aku menyaksikan Ka'bah di depan mata. Saat itu bapak masih ada. Dan hari ini, aku kembali menatapnya lagi. Kali ini bersama laki-laki yang telah mengambil alih tanggung jawab atasku. Tanggung jawab yang sama dengan bapak dahulu. Air mataku mengalir begitu saja, bersama haru yang memenuhi rongga dada.
Labbaik Allahumma labbaik. Aku datang Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu.
Kerinduanku seakan bertemu penawar. Air mataku meleleh begitu saja. Rangkaian kalimat thayyibah meluncur dari lisanku. Sekali lagi aku bersyukur. Pertama, karena bisa kembali menjejakkan kaki di kota yang selalu dirindukan setiap umat Islam. Kedua, karena menikah dengan anak sultan, sehingga aku punya kesempatan untuk menikmati fasilitas yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Kamar dengan view terindah yang pernah kudapatkan sepanjang usiaku.
"Kenapa nangis, Ki?"
Ada yang menyentuh pinggangku, tapi ditarik lagi. Rupanya Mas Anas hendak memelukku dari belakang, tapi ia mengurungkannya. Hanya mengusap kepalaku sesaat, sambil tetap membiarkan aku memandang ke luar jendela.
"Ki bersyukur banget jadi istrinya Mas. Makasih banyak ya, Mas. Maafin Ki."
"Iya. Maafin aku juga ya, Ki."
Mas Anas lebih pendiam sejak kami jalan dari miqat tadi. Aku jadi penasaran.
"Mas, maaf. Kenapa dari tadi Mas banyakan diam? Ki ada salah kah?"
"Nggak, Ki, kamu nggak ada salah. Everything is fine."
"So...," tanyaku lagi.
"Aku cuma..., takut khilaf. Sabar ya, Ki. Sampai kita selesaikan umroh kita. Ini ibadah yang spesial, Ki. Kalau setiap ibadah saja harus kita lakukan dengan sungguh-sungguh, apalagi yang spesial seperti umroh ini. Tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama dengan kita saat ini.
"Emm, baiklah. Aku tidur sebentar ya, Ki."
Masya Allah, ternyata Mas Anas lebih banyak diam karena ingin menjaga kesempurnaan ibadahnya. Ibadah kami.
Kupandangi dirinya yang baru saja merebahkan badan ke atas bed berukuran nomor satu. Dua bulir bening kembali menghangatkan wajahku. Aku mendoakannya. Sehat, saleh, dan bahagia, begitu kupinta pada-Nya. Aku pula berjanji kepada-Nya, untuk mengabdikan hidupku pada suamiku tercinta. Qawwam-ku, yang di bawah kepemimpinannya akan kuhabiskan sisa hidupku.
"Alhamdulillah. Segala puji hanya untuk Engkau, ya Rabb."
Aku menyusul Mas Anas, merebahkan diri di sampingnya. Menyimpan tenaga untuk melaksanakan umroh siang nanti.
Jam sebelas Mas Anas membangunkanku. Disuruhnya aku bersiap, sementara ia menyiapkan apa-apa yang akan kami bawa. Ia melarang aku melakukan apapun, cukup istirahat saja. Jadilah aku hanya duduk sambil mengamati apa yang dia kerjakan.
Diambilnya wadah makan yang cukup besar, mengisinya dengan sebutir apel, sebutir jeruk, dan setangkai anggur hijau. Lalu kotak makan yang kecil ia isi dua tangkup roti tawar dengan selai kacang kesukaanku. Setelahnya, ia mengambil dua kotak susu UHT dari kulkas. Semua dimasukkannya ke ransel berukuran sedang.
Tak berhenti sampai di situ. Ia melanjutkan dengan tisu basah, tisu kering, dan handuk kecil. Terakhir satu botol kosong ia selipkan di sisi luar sebelah kanan ranselnya.
"Mas, buat apa itu semua? Kita kan mau umroh, bukan mau kemping."
"Istighfar, Sayang. Nggak usah bicara yang nggak penting-penting. Ini buat kamu. Buat jaga-jaga siapa tahu kamu lapar atau haus atau keringetan. Umroh ini salah satu ibadah yang nggak cuma melibatkan hati, tapi juga fisik. Apalagi kamu sedang hamil. Harus ekstra persiapannya."
"Tapi nggak harus begitu juga, Mas. Yang penting kita yakin, insya Allah everything is gonna be okey."
"Please, nurut aja ya, Ki. Kita lagi berihram. Laa jidala. Perbanyak istighfar, shalawat, kalimat thayyibah. Perbanyak mengingat Allah biar nggak banyak berdebat."
"Astaghfirullah hal adzim. Iya, maaf, Mas. Ki lupa. Kebiasaan."
"Iya, jadikan pengingat, bahwa sebisa mungkin kebiasaan kita hanya yang baik-baik saja. Ya udah yuk, kita berangkat. Maafin aku ya, Ki."
"Iya, Mas. Maafin Ki juga."
Dia menggendong ranselnya, lalu menggandeng tanganku. Kami berganti lift dua kali, turun lagi lewat eskalator, kemudian melewati mall. Mas Anas berhenti di salah satu toko obat dan alat kesehatan.
"Mau beli apa lagi, Mas?"
"Kursi roda."
"Buat apa?"
"Buat jaga-jaga kalau nanti kamu butuh."
"Tapi nggak perlu beli juga, Mas. Kalau udah selesai buat apa? Sewa aja kan bisa."
"Kalau udah selesai bisa kita berikan ke yang membutuhkan. Banyak kok di sini yang membutuhkan kursi roda. Please, Sayang. Nurut sama aku ya."
Baru akan memasang wajah cemberut, Mas Anas mengingatkan aku lagi. Huft, cukup berat juga memang menjadi muhrim begini. Aku memutuskan untuk diam dan memperbanyak istighfar saja.
Kami keluar dari mall di kompleks Abraj Al Bait. Pelataran Masjid Al Haram menyambut kami. Rasa haru menyeruak kembali.
Kami berhenti di tempat yang cukup lega. Mas Anas menaruh ranselnya dan menggelar sajadah di sana. Masih di area pelataran. Sengaja tak masuk ke dalam, karena dia tak mau kami salat di tempat terpisah.
Masjidil Haram cukup ramai, sebab hari Kamis adalah weekend di Saudi. Mereka libur di Kamis Jum'at, seperti Sabtu Minggu kalau di Indonesia. Jadi cukup banyak warga Saudi di luar Mekah yang juga melaksanakan ibadah. Apalagi besok Jum'at, bisa dipastikan akan penuh sesak. Masya Allah.
Usai salat zuhur kami segera mendekat ke mataf. Mataf adalah area untuk tawaf. Mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh kali. Arahnya berlawanan dengan jarum jam.
Aku merasa sehat dan mampu, jadi aku menolak tawaf di lantai dua, yang digunakan untuk jamaah dengan kemampuan terbatas. Memakai kursi roda misalnya. Sebab tak memungkinkan untuk ikut tawaf di ring terdekat dengan Ka'bah. Itupun kami memilih agak jauh dari pusat Ka'bah, karena Mas Anas khawatir aku akan terdesak-desak.
"Tawaf nggak boleh batal ya, Ki. Kalau kamu batal, bilang aja, nanti kuantar ambil wudhu." Mas Anas mengingatkan.
"Iya, Mas. Tapi kalau batal nggak harus mengulang dari awal kan ya?"
"Iya. Kalau sudah bersuci, langsung lanjut putaran berikutnya aja."
Aku melingkarkan tangan pada sikunya. Mengikuti bacaan tawaf yang berbeda di setiap putarannya. Mas Anas terlihat sudah terbiasa. Ia cukup hafal, meski sesekali membaca dari buku panduan.
Perasaanku lega begitu tawaf terselesaikan. Mas Anas terlebih lagi. Ia tampak lega dan bahagia. Hamdalah berulang meluncur dari bibirnya.
"Masya Allah, kamu kuat banget, Ki. Terima kasih ya, Sayang. Aku bahagia banget bisa begini sama kamu. I love you, Ki. Kita istirahat dulu ya," ujarnya.
Kami baru selesai salat dua rakaat dan berdoa. Lalu melipir ke pinggir, mengambil air zamzam dari salah satu dispenser yang berjajar di sana. Tak lupa mengisi botol yang kosong tadi, untuk bekal sa'i, begitu kata Mas Anas. Padahal di sepanjang mas'a, berbaris pula keran air zamzam. Level kekhawatiran Mas Anas padaku agaknya cukup berlebihan.
Tak beristirahat lama, kami melanjutkan menuju mas'a atau rute bersa'i. Berjalan di sepanjang Shafa ke Marwa, lalu Marwa ke Shafa, mengulangnya hingga genap tujuh kali.
Di sini, aku mulai merasa berat. Terutama saat harus menanjak di ujung bukit. Maka Mas Anas memintaku untuk naik ke kursi roda. Ia mendorongku dengan sabar, meski butuh effort lebih saat menanjak di ujung bukit, dengan berat badanku saat ini yang pertambahannya tak sedikit. Aku kasihan, tapi dia terlihat menikmati setiap proses yang kami lalui.
"Berat ya, Mas?"
"Nggak apa-apa, Ki. Perjuangan bunda Hajar saat mencari air untuk Nabi Ismail kecil jauh lebih berat dari ini. Perjuanganmu mengandung anak kita jauh lebih berat dari sekadar aku mendorongmu di atas kursi roda. Kita sama-sama ikhlas ya, Ki. Agar tak jauh aku dari Nabi Ibrahim, kamu dari bunda Hajar, dan anak-anak kita dari Nabi Ismail."
Pipiku kembali basah. Detik itu juga aku sadar, betapa pentingnya banyak membaca dan memahami kisah sejarah. Sebab setiap yang Allah kisahkan melalui wahyu-Nya, tentu terkandung pelajaran bagi kita, umat manusia.
Dengan Mas Anas, umrohku kali ini tak lagi ritual semata. Aku mendapatkan pelajaran hidup dari kisah yang selama ini hanya kuhafal saja.
"Ini putaran terakhir, Ki. Semangat ya, Sayang. Sebentar lagi kita tahalul."
Ia menyodorkan tisu, entah untuk yang keberapakalinya. Mataku mungkin sudah terlihat bengkak karena tak berhenti menangis sejak tadi. Rasanya campur aduk menjadi satu. Bahagia, sedih, senang, iba, sekaligus haru.
Laju kursi rodaku sedikit lebih cepat. Kami melewati jalur mas'a yang bertanda lampu hijau. Mas Anas mendorong sambil berlari kecil. Raml ini disunnahkan, terutama bagi jamaah laki-laki. Di area sepanjang kurang lebih 70 meter ini, dulu bunda Hajar melakukan hal yang sama. Berlari-lari kecil mencari air di padang gersang.
Sa'i telah kami selesaikan. Kami di atas bukit Marwa sekarang. Mas Anas mengeluarkan gunting dari ranselnya, membimbingku untuk memotong sedikit rambutnya. Setelahnya ia menyusupkan kedua tangannya ke dalam kerudungku, memotong sedikit helai-helai rambutku, lalu menyerahkannya padaku. Kulihat matanya berkaca-kaca.
"Alhamdulillah. Kita sudah menyelesaikan dengan baik, Ki. Semoga Allah ridho atas umroh kita. Aku menyayangimu, Ki. Terima kasih sudah bersedia melakukan ini bersamaku."
Dia meraihku ke dalam pelukannya. Sebuah pelukan singkat, yang menjadi pelukan terbaik yang pernah kudapat.
***
Mas Anas menutup Al Qur'an di pangkuanku. Kami baru selesai membaca surat Al Kahfi bersama. Aku dengan Al Qur'an yang terbuka, dia dengan hafalannya. Betapa malam Jum'at kali ini terasa sangat istimewa.
Dari kaca jendela kamar kami di lantai tiga puluh dua, pemandangan Ka'bah dengan segala kesibukan yang membahagiakan seakan tak pernah ada hentinya.
Mas Anas memelukku dari belakang. Mengecupi kepalaku berkali-kali seperti tak mau berhenti.
"Mas, maafin Ki ya."
"Maaf untuk kesalahan yang mana, Sayang?"
"Buat kelakuan Ki yang nyebelin banget waktu Mas masih jadi marbot di Al Jaliil. Ki tiba-tiba ingat waktu habis kerja bakti di masjid terus Mas ngantar piring dan semacamnya ke rumah. Ki ngusir Mas, sampai jari Mas kejepit pintu."
Dia tertawa, "Kamu cemburu kan waktu itu?"
"Kalau iya kenapa?!" Aku menyahut sewot.
"Kamu dari kapan sih, Ki, naksir sama aku?"
"Dih, ge-er banget. Siapa juga yang naksir sama Mas. Kebalik kali. Kan Mas dulu yang naksir sama Ki."
"Yakin?" Dia tertawa lagi, terdengar mengejek. Aku jadi kesal.
"Aku suka sama kamu karena kamu itu lucu. Kalau lagi salting suka nggak bisa mengontrol diri. Apalagi kalau lagi cemburu sama mbak lulusan Mesir. Bikin gemes."
"Udah ah, Ki mau ke kamar mandi."
Aku berusaha melepas pelukannya. Kesal pakai banget. Dia malah tertawa lebih keras. Senang banget bisa bikin istri malu begini.
"Mas, lepasin sih."
"Nggak mau. Kamu kudu ngaku dulu sejak kapan kamu suka sama aku."
"Huh, segitunya pengen merasa dicintai lebih dulu." Tawanya makin keras.
"Mas."
Aku mengurungkan niatku ke kamar mandi. Memang yang tadi cuma alasan saja. Aku kan malu kalau harus mengakui bahwa aku menyukainya sejak pertemuan kami yang pertama.
"Ya, Ki?"
"Terima kasih ya. Umroh tadi jadi pengalaman paling romantis yang Ki alami sepanjang hidup Ki."
"Sama, Ki. Terima kasih ya."
"Kalau mau umroh lagi, kita ambil miqatnya harus dari Qarnul Manazil lagi ya, Mas?"
"Nggak, Ki. Kalau sudah di sini, kita bisa ambil miqat di Ji'ranah atau di Tan'im."
"Jauh nggak?"
"Nggak. Kenapa?"
"Besok kita umroh lagi yuk, Mas."
"Ehk, emm, itu, Ki. Umroh itu yang wajibnya cuma sekali, Ki. Rasulullah hanya melakukan sekali umroh pada setiap satu safarnya."
"Jadi kita cukup sekali aja, gitu?"
"Sebaiknya begitu, Ki."
"Tapi bener kan, Mas memilih sekali karena mau mengikuti Rasulullah? Bukan karena Ki berat dan Mas nggak sanggup kalau dorong Ki lagi?"
"Ehk, itu..., emm..., kalau itu sih, emm...."
Oke, fixed! Aku harus sadar diri kalau badanku ini memang berat.
***
Ternyata udah sebulan lebih ya nggak update ceritanya Anas-Azki. Lebihnya hampir sebulan juga. Hehe...
Aku memang nulisnya nggak pakai outline atau apalah itu. Makanya udah ke mana-mana aja ceritanya. Hehe.
Semua aku kembalikan lagi ke niat. Aku menulis karena pengen bisa sharing ttg sedikit hal yg kuketahui.
Nggak apa-apa ya. Buatku, yang penting aku bisa berbagi, dan pembaca juga merasa happy. That's enough.
Terima kasih untuk kalian yg masih setia mengikuti ceritanya Anas-Azki.
Maafkan utk segala kekurangan dan kesalahan.
See you :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro