35. Merantau Berdua
Kami berdua sudah berada di atas pesawat, setelah perpisahan yang menguras tenaga dan air mata. Ibu Kajen bahkan sempat memintaku memikirkan ulang perjalanan ini, alasannya karena kehamilanku yang sudah memasuki bulan keenam.
Ya gimana? Sudah tinggal terbang masa iya disuruh mikir ulang?
Mas Anas berkali meyakinkan ibunya bahwa aku akan baik-baik saja. Bahwa dia akan menjagaku sebaik-baiknya. Iya, percaya!
Maskapai plat merah milik Arab Saudi menjadi pilihan kami. Direct flight sebagai pertimbangan utama, karena kondisiku yang menurut Mas Anas tak memungkinkan untuk transit dan pindah pesawat. Ia pula memilih business class untuk perjalanan kami kali ini. Lagi-lagi kehamilanku menjadi alasan. Aku dan anak-anaknya harus nyaman.
Baiklah. Aku hanya harus bersyukur dan menikmati keberuntunganku kan?
Ini pertama kalinya aku naik pesawat non-economic class. Kalau bukan karena menikah dengan anak sultan, mungkin aku tak akan pernah merasakan seat yang nyaman dengan fasilitas yang juga lengkap. Cuma satu kekurangannya, tempat duduk kami terpisah semacam sekat. Buat aku ini cukup mengganggu, karena aku jadi tak bisa bebas memeluk suamiku sepanjang lebih dari sembilan jam perjalanan kami. Tapi tak mengapa, melihat wajahnya dan merasakan genggaman tangannya sudah lebih dari cukup bagiku.
"Ki, kamu baik-baik aja kan, Sayang?"
"Iya, Ki nggak apa-apa, kok."
"Siap terbang ya?"
"Insya Allah."
"Nggak mual, pusing, atau apa gitu kan?"
"Enggak, Mas ganteng kesayangan. Don't worry."
"Kalau merasa nggak nyaman bilang ya. Mau ke toilet juga bilang. Pokoknya kamu perlu apapun, bilang aja ke aku."
"Iya iya. Udah, Mas tidur aja."
"Tidur gimana? Aku nggak bisa tidur kalau istri dan anak-anakku masih terjaga. Aku kan udah janji sama Ibu Wahid untuk menjaga anak bungsu kesayangannya."
Ah, kenapa bicara tentang ibu sih? Aku kan jadi sedih lagi.
"Maaf. Kamu jadi ingat ibu ya? Masih sedih?"
Aku mengangguk. Ia menyematkan jemarinya pada jari-jariku. Mengecupnya tanpa mengalihkan pandang dari mataku. Maka kubiarkan saja bening ini menganak sungai di pipi.
Boeing 777-300 yang akan membawa kami menuju King Khalid International Airport, Riyadh siap mengudara. Dari kokpit, sang pilot menyampaikan informasi penerbangan kali ini. Bahasa Inggris dan bahasa Arab terdengar. Doa safar dari perangkat audio pun berkumandang.
Aku mengeratkan genggaman pada tangan Mas Anas. Pengalamanku naik pesawat memang bisa dihitung dengan jari, tapi tetap saja saat take off dan landing menjadi bagian yang menegangkan buatku. Bibirku komat kamit mengulang-ulang bacaan ayat kursi.
"Belum, Ki. Ini nggak langsung take off, taxi dulu. Dari sini ke landasan kan butuh waktu, nggak sesingkat penerbangan dari bandara di daerah. Cengkareng luas lho." Aku mengangguk lagi. Agak malu.
Mas Anas memberitahuku lagi saat pesawat siap take off. Ia pula membantu mengecek sabuk pengaman, juga memastikan posisiku nyaman. Sedang aku, kembali komat-kamit melafalkan ayat kursi. Entah dapat berapa belas atau malah berapa puluh kali, hingga indikator menunjukkan bahwa sabuk pengaman boleh dilepas.
Mas Anas tertawa. Gimana sih? Istri religius gini malah diketawain. Huh!
Hampir satu jam kami di udara, keadaanku mulai menunjukkan gelagat tak baik-baik saja. Perubahan tekanan udara yang cukup signifikan ternyata berpengaruh juga. Dan selanjutnya, penerbangan ini menjadi sebuah siksaan untukku.
Aku merasa pusing, mual, telingaku sakit, bahkan berkali-kali muntah. Ditambah lagi kedinginan, padahal jaket Mas Anas sudah membalut tubuhku. Selimut jatah Mas Anas juga sudah kupakai rangkap dengan selimut jatahku. Penderitaan makin lengkap karena dalam kondisi demikian masih ditambah pula dengan beseran alias sering kebelet pipis.
"Astaghfirullah hal adzim. Maafin Ki ya, Mas. Mas jadi nggak bisa istirahat."
"Ssstt, udah jadi tanggung jawabku. Kalau bukan karena egoku yang pengin kamu temenin di sana, tentu kamu nggak harus mengalami kayak gini kan, Sayang. Kamu tenang ya, aku baik-baik aja kok. Satu kebahagiaan bisa melayani kamu dan anak-anak kita. Kamu enjoy. Jangan stress. Tiduran aja. Mau kubaluri kayu putih?"
Aku menggeleng lemah. Nggak enak sama penumpang yang lain. Siapa tahu aroma kayu putih yang cukup menyengat akan mengganggu mereka.
"Enggak. Pengennya dipeluk aja. Capek."
Ah, aku menyesal mengatakan itu. Wajah Mas Anas langsung berubah, sepertinya ia merasa sangat bersalah memaksakan perjalanan ini untukku. Padahal aku bahagia. Serius! Hanya kondisi saja yang kurang mendukung untuk menampakkan bahagia yang aku punya.
"Maaf ya, Mas. Jangan sedih gitu. Ki happy kok. Fisik aja yang nggak bisa diajak kompromi, tapi hati bahagia. Percaya deh. Ya?"
Kuelus pipi dan dagunya yang bersih mulus. Dia memang tak berbakat memiliki bulu-bulu semacam kumis dan jenggot. Pas banget dengan aku yang memang tak suka laki-laki berkumis dan jenggot. Geli.
Begitulah. Sepanjang perjalanan aku hampir tak tidur. Apalagi Mas Anas, mungkin lebih sering berjongkok di samping seat-ku atau berdiri memelukku daripada duduk di seat-nya sendiri. Mbak-mbak pramugari sampai geleng-geleng melihat betapa kukuhnya usaha Mas Anas untuk membuat aku nyaman.
"Ki, istirahat ya, Sayang. Pasrah dan berdoalah. Mohon sama Allah supaya memberi kamu kekuatan, memberi kita kekuatan. Kamu tahu kan, Sayang, bahwa saat bersafar adalah salah satu waktu mustajabnya doa? Sebab perjalanan jauh adalah siksaan. Kesulitan. Maka saat itulah seharusnya kita dihadapkan pada kepasrahan yang paling tinggi."
Entah sudah berapa kali ia mengulang nasihatnya itu. Tapi tetap saja keluh dan kesah tak lepas dari bibirku. Bukannya dzikir dan doa. Astaghfirullah.
Setelah hampir lima jam mengudara dengan segala drama, barulah kantuk datang menyerang. Mungkin faktor kecapaian juga. Dan kasihan. Ya, aku kasihan pada suamiku. Maka yang kulakukan berikutnya adalah berdamai dengan diriku sendiri.
Aku mulai mengikuti apa yang sejak tadi Mas Anas katakan. Aku pasrah dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Memohon agar badanku merasa lebih nyaman, agar aku dan Mas Anas bisa beristirahat barang satu-dua jam.
------
"Ki, bangun, Sayang. Udah mau landing."
Sayup kudengar sebuah suara, lalu terasa ada yang mengguncang bahuku. Aku membuka mata.
"Dari tadi dibangunin susah banget. Ditepuk, dicium, dipeluk, tetep aja pules. Capek banget ya, Sayang?"
Aku mengiyakan. Lalu buru-buru minta antar ke toilet. Setelah lega, aku mencuci muka. Baru sadar kalau aku tidur begitu lama.
Sembilan jam lebih berada di udara, akhirnya kami menginjakkan kaki di tanah Saudi. Mas Anas telah sejak tadi berpesan pada pramugari untuk menyediakan kursi roda. Duh, aku jadi berasa lanjut usia yang sudah tak punya daya dan upaya.
Tak sampai satu jam mengurus bagasi dan melewati bagian imigrasi, kami sudah meluncur di jalanan yang sepertinya tak mengenal kemacetan. Dan sekira setengah jam berikutnya, kami telah tiba di rumah yang akan menjadi tempat berteduh beberapa tahun ke depan.
Sungguh, aku tak pernah menyangka hidupku akan berubah secepat ini.
"Sayang, kamu tunggu sini dulu, biar aku siapin mandinya. Habis kamu mandi, kita makan ya. Terus istirahat. Anak-anak gimana? Aman kan?"
"Iya, Ki nurut aja sama Mas. Anak-anak Bapak Anas baik-baik aja, insya Allah. Mereka bangga punya bapak sebaik ini."
"Alhamdulillah. Maafkan aku ya, Ki."
"Kenapa lagi sih, Mas?"
"Karena aku maksa kamu ikut ke sini, kamu jadi kepayahan di perjalanan. Aku merasa berdosa banget lihat kamu kayak tadi."
"Nggak apa-apa, Mas. Ki seneng kok bisa nemenin Mas di sini. Kan memang udah kewajiban Ki sebagai istri. Lagian tadi juga Ki tidurnya udah lama. Salah Ki sendiri juga, nggak nurut apa yang Mas bilang. Harusnya Ki banyak dzikir dan doa, bukan malah banyak ngeluh dan manja. Maafin Ki ya, Mas. Ki sayang sama Mas."
Mas Anas memelukku. Mengusap punggungku dengan lembut sehingga aku merasa nyaman. Dilepasnya bergo yang menutup kepalaku. Sekali lagi dia memelukku, juga menciumi rambutku. Dih, aku jadi nggak pede kan. Sembilan jam di udara, separuhnya kulalui dengan payah, jangan-jangan bikin rambutku jadi bau apek nih.
"Mas, jangan cium-cium deh."
"Kenapa?"
"Ki nggak pede. Belum mandi. Rambut rapet terus berjam-jam. Pasti bau."
"Nggak apa-apa kali, Ki. Aku suka baumu. Aku suka semua yang ada di diri kamu."
"Nggak nggak nggak. Ki mau mandi dulu aja."
"Tapi nggak boleh keramas. Ini udah malam. Mandi secukupnya aja, yang penting bersih dan seger. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa. Baru datang dari perjalanan jauh, malam-malam pula."
"Iya deh iya, Ki nurut sama suami."
Aku cemberut. Dia memang suka begitu. Saking sayangnya jadi banyak aturan.
Usai aku mandi, Mas Anas juga sudah terlihat segar. Rupanya dia mandi di kamar mandi luar. Aku belum berkeliling rumah, jadi belum tahu juga ada apa saja di rumah ini.
"Udah segeran, kan? Sini deh, Ki."
"Ada apa sih?"
"Ada yang nyariin kamu."
"Hah? Baru juga sampai, masa udah ada yang nyariin Ki sih? Ki kan belum punya kenalan juga di sini. Apa temennya Mas mau menyambut kedatangan Ki, gitu?"
Mas Anas tertawa keras.
"Ya Allah, Ki, ge-er banget sih kamu. Ini lho yang nyariin." Disodorkannya handphone kepadaku.
Astaghfirullah. Malunya. Udah ge-er dapat sambutan. Ternyata dicariinnya lewat HP.
Segera kuambil alih handphone. Cengiran lebar Hanafi dan senyum ibu terlihat di layar.
"Assalamualaikum, Tante Ki. Tante sehat kan? Han kangen, nggak ada yang ngomelin. Kangen juga sama pukis bikinan tante, puding coklat, sama susu jahe. Bikinan mama dan nenek masih kalah enak sama bikinan tante. Apalagi papa, nggak bisa bikin apa-apa, bisanya bikin gambar aja." Ponakan kesayangan nyerocos seperti petasan.
"Kamu sehat kan, Ki? Baik-baik aja kan di perjalanan? Cucu-cucu ibu sehat kan?"
"Han, Ibu, Ki kangen. Huhuhu."
Sudah kutahan, tapi tak berhasil. Tangisku jebol juga. Padahal belum kasih respon apa-apa ke ibu dan Han. Cuma itu yang aku bisa. Nangis.
"Alhamdulillah, sehat, Bu. Tadi sempat agak kepayahan pas awal perjalanan, tapi terus bisa tidur kok, Bu. Ini baru selesai mandi. Udah jauh lebih baik," terang Mas Anas. Ia mengambil alih kembali handphone-nya dari tanganku, berbicara dengan ibu dan Hanafi sambil merangkulku.
"Tante Ki jangan nangis. Kan enak di situ. Kalau mau umroh juga dekat. Han aja pengin ikut ke situ biar bisa sering ke Ka'bah sama ke Madinah, bisa dekat sama Rasulullah."
Ah, Hanafi. Dia memang nggak pernah berubah. Pemikirannya yang dewasa kadang bikin orang yang secara umur sudah beneran dewasa jadi malu.
"Iya. Besok liburan Han main ke sini ya sama nenek. Mas jemput di bandara. Nanti kita umroh bareng-bareng."
"Tapi kan papa sibuk, Mas. Mana sempat ngantar ke sana. Arab kan jauh," sahut Hanafi pesimis.
"Nggak usah sama papa nggak apa-apa. Han kan udah besar, udah bisa jagain nenek di pesawat. Lagian Arab nggak jauh kok. Tanya papa deh, kalau cuma ke Arab masih dekat. Inggris lebih jauh." Mas Anas tertawa.
Nah, kan. Ngobrolnya malah jadi ke mana-mana.
"Udah ah nangisnya. Manfaatin waktu ibu dan Han sebaik-baiknya. Di sana udah jam satu malam lho. Ibu sama Han bangun cuma mau tahu kabarmu, udah sampai atau belum. Ngobrol dulu ya sama ibu dan Han. Biar aku siapin makan," bisik Mas Anas. Dikembalikannya ponsel ke tanganku. Dia beranjak keluar kamar untuk menyiapkan makan malam kami berdua.
Dua kepal nasi dan dua potong ayam goreng dibawa Mas Anas di atas piring yang bertumpukan. Jar beling berisi sambal bikinan ibu Kajen tak ketinggalan. Mas Anas menaruh semuanya di lantai sebelah tempat tidur, lalu membagi dua untukku dan dia. Aku ikut turun, duduk di karpet tebal warna merah marun.
"Makan di kamar aja nggak apa-apa ya?" Mas Anas meminta persetujuan. Tentu saja aku tak keberatan.
"Mau minum apa, Ki?"
"Teh panas. Biar Ki aja yang bikin, Mas."
"Nggak. Aku aja. Kamu baru boleh pegang kerjaan kalau kondisimu udah bener-bener fit. Oke?"
"Iya deh."
Secangkir teh panas tersaji tak lama kemudian. Aroma mint menusuk hidungku. Rupanya Mas Anas menambahkan beberapa helai daun segar itu. Hmm.
"Habis ini kalau makannya udah turun, langsung cuci tangan dan gosok gigi, terus istirahat. Besok pagi aku tunjukin tentang rumah kita ini. Room tour. Terus apa-apa aja yang kurang kita data. Dua hari ke depan, kalau kamu udah bener-bener fit, kita beli barang-barang buat mengisi dapur dan melengkapi ruangan-ruangan.
"Kalau rumah udah beres, nanti kuajak silaturahim ke beberapa teman baik di sekitar sini. Kenalan sama keluarga mereka. Nanti kutunjukkan juga tempat-tempat yang nantinya akan sering kamu kunjungi."
Baru juga selesai makan, Mas Anas sudah menyampaikan rencana-rencana yang akan kami lakukan beberapa hari ke depan. Seperti tak memberi kesempatan padaku untuk rebahan barang satu atau dua minggu. Eh, lama amat?!
"Tempat apa memangnya, Mas?"
"Ada tempat kajian, biasanya sepekan atau dua pekan sekali ibu-ibu yang dari Indonesia ngadain kajian. Terus ada tempat belajar bahasa Arab juga. Tempat belanja mingguan atau bulanan. Ya semacam itu lah, tempat-tempat yang nantinya akan akrab dengan kehidupan kita di sini. Insya Allah kamu akan betah, di sini lumayan banyak WNI. Makanya aku pilih rumah di distrik sini, Ki."
"Tapi ...." Aku ragu-ragu melanjutkan.
"Tapi apa, Ki? Kok wajahmu berubah gitu. Kamu nggak suka ya?"
"Emm, t-tapi nanti Mas nggak akan ngatur-ngatur Ki banget kan. Kayak barusan itu. Ki kayak nggak punya kesempatan buat menolak. Semua udah Mas rencanakan, dan sepertinya Mas nggak menerima bantahan atau keberatan dari Ki.
"Ki nggak suka Mas begitu. Ki kan jauh dari siapa-siapa. Cuma Mas aja yang Ki punya. Tapi baru berapa jam, Mas udah ngatur semuanya. Ki nggak dimintain pertimbangan."
Sumpah, rasanya aku pengin nangis. Untungnya masih bisa kutahan.
"Astaghfirullah hal adzim. Bukan begitu, Ki. Aku minta maaf kalau bikin kamu jadi sedih. Aku sama sekali nggak ada maksud ngatur-ngatur atau menafikan pertimbangan dan kemauan kamu. Mungkin karena saking semangat dan senengnya aku, setelah kemarin empat bulan sendirian, sekarang ada kamu yang akan selalu nemenin aku. Euforia, Ki. Dan ternyata malah bikin kamu nggak nyaman.
"Maafkan aku ya, Sayang. Aku janji, apapun keadaannya, kamu akan jadi orang pertama yang kumintai pertimbangan, juga tempat pertama kubagi cerita dan pengalaman. Pokoknya kamu akan selalu jadi yang pertama selama kita di sini."
"Kalau kita udah nggak di sini, Ki nggak jadi yang pertama lagi?"
"Ya bukan gitu juga, Syarifa Tazkiya. Kalau di Indonesia kan kita dikelilingi banyak orang yang menyayangi dan selalu ada buat kita, bisa jadi aku udah cerita duluan sama bapak sebelum ketemu kamu, dan semacamnya. Iih, sensi banget ibu hamil ini." Mas Anas membelai-belai rambutku.
Eh, tunggu. Bukannya tangannya tadi habis makan pakai sambal yang kami bawa dari rumah ya?!
"Mas udah cuci tangan belum deh? Pede banget belai-belai rambut Ki."
"Hehe, iya, Ki, lupa. Tadi cuma dijilati aja sisa-sisa makannya, terus dilapin tisu."
Begitulah kebiasaan Mas Anas, kalau makan pakai tangan, sisa-sisanya pasti ia jilat dulu sampai bersih, baru mencuci tangan. Tapi kali ini, ia bahkan belum beranjak dari tempat kami makan, apalagi cuci tangan.
"Iih, jorok banget sih. Rambut Ki bau dong kalau gini caranya."
"Ya udah, habis ini mandi lagi. Boleh keramas deh, tapi harus aku bantuin ya."
"Mas nih. Dasar modus!!"
***
Sorry, endingnya kok jadi berasa Iqbal Luli yak?! Hahaha...
Nggak apa-apa ya. Aku berusaha memunguti kembali feel buat nulis cerita ini. Saking lamanya, sampai tercecer entah di mana. Hehe.
Ya udah, segini aja dulu. Semoga bisa mengobati kerinduan sama Anas-Azki.
Terima kasih banyak ya udah mengerti dan setia menanti. Doakan bisa kelarin semua cerita di bulan ini.
Sampai jumpa.
InsyaAllah nggak pakai lama.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro