31. LDM Dimulai
Sepertiga malam mulai memasuki bagian terakhir. Sebagian makhluk nocturnal telah pula mengakhirkan pencarian, entah karena kenyang, atau merasa telah cukup atas rezeki yang diberikan oleh Sang Tuan.
Mataku belum kembali terpejam, jari-jari masih sibuk beradu dengan gawai. Bertukar obrolan dengan Mas Anas nun di seberang samudra. Sebenarnya dia memaksa untuk melakukan panggilan video, tapi aku menolak. Bukan tak ingin, aku cuma takut ibu terbangun dan ceramah Mamah Dedeh episode kesekian kembali ditayangkan ulang. Ups, semoga aku tak masuk kategori menantu kurang ajar. Astaghfirullah.
[Azki. Tidur, Sayang. Jaga kesehatan. Ingat anak2 kita]
[Tp Ki masih pgn bareng2 sama ayahnya]
Dan air mata kembali meleleh. Ah, perpisahan memang membuat orang jadi cengeng.
[Iya, insya Allah lusa ketemu lg. Ini aku sdg berusaha transfer buat tiket tp gak tau knp gagal terus]
[Tiket apa maksudnya?]
Aku kaget. Dari tadi Mas Anas nggak bahas tiket apa-apa, hanya memang beberapa kali agak lama membalas chat dariku.
[Tiket pulang ke Indonesia lah]
[Astaghfirullah. Mas serius mau pulang? Buat apa sih?!]
[Aku mana tenang tau kamu tadi pingsan, Sayang?]
[Ih, Ki kan td cm pgn dimanja2, caper gitu. Gak ada maksud bikin Mas kuatir, aplg mlh pulang]
[Batalin nggak tuh tiketnya! Kl gak dibatalin Ki ngambek!]
[Udah ah, Ki mau tdr aja! Assalamualaikum]
[Sayang, jgn ngambek. Iya kubatalin]
[Kupikir kamu seneng kl aku plg]
[Istri mana yg gak seneng kl suami dr jauh pulang. Tp gak gini jg kali, Mas. Mas lebay!]
Kutaruh ponsel setelah mengaktifkan mode diam dan menonaktifkan getar. Mode ngambek dalam diriku tentu saja sudah kuaktifkan lebih dulu. Biarpun begitu, aku tetap saja tak bisa cuek. Mata masih istiqomah melirik benda pipih segiempat itu. Rentetan pesan dari suami terlebay di dunia terus mengalir tak terbendung. Aku konsisten untuk ngambek, walaupun tanganku sudah gatal untuk mengintip pesan-pesan itu.
Lalu panggilan telepon masuk. Tak kuangkat, sayang pulsanya si Mas. Panggilan internesyenel kan mahal.
Tak menyerah. Dia ganti dengan panggilan video, masih tetap kucuekin. Panggilan whatsapp, aku tetap bergeming. Lalu dia menghilang, sedang aku bertahan untuk tak membuka satu pun pesan yang dikirimnya.
Hampir setengah jam, hingga satu notifikasi kembali masuk ke ponselku. Terbaca sekilas, "Sayang, aku kirim voice note...", dan aku melambai ke kamera. Menyerah oleh penasaran yang merajalela.
Tak kuhiraukan pesan-pesan yang di atas, hanya tiga terbawah yang aku baca.
[Sayang, jgn ngambek nanti tidurmu nggak berkualitas]
[Voice note]
[Sayang, kukirim vn, pengantar tidur buat kamu & anak2 kita. Ketemu di mimpiku ya, aku tunggu di sana. I love you]
Aih, Mas Anas memang selalu manis dan membuatku berbunga-bunga.
Kupasang kembali earphone untuk mendengarkan voice note yang dikirimkannya. Suaranya yang merdu mengalun lembut di telingaku, seperti hari-hari yang lalu, setiap kali menunggu subuh sambil membaca Al Quran dan mengusap-usapku.
Lantunan surat Maryam terdengar di voice note yang ia kirimkan, lalu disusul isakku yang tak lagi tertahan.
"Allah, terima kasih. Untuk telah mengirimkan padaku laki-laki romantis, yang selalu memperlakukanku dengan begitu manis."
***
"Ki, mau bengi awakmu ngomong Anas nek wingi semaput yo? Anas ki nek wis sayang sok kuatire berlebihan. Ojo dibaleni ya, ben masmu kui tenang nang kono. Mesakke."
(Ki, tadi malam kamu bilang Anas kalo kemarin pingsan ya? Anas itu kalo udah sayang suka kuatirnya berlebihan. Jangan diulangi ya, biar suamimu itu tenang di sana. Kasian.)
Aku baru saja melepas mukena usai salat subuh, ibu yang ternyata sudah di belakangku --entah sejak kapan-- menyambut dengan ceramah. Lumayan lah, anggap saja kultum subuh.
"Nggih, Bu. Maaf." Kuhampiri ibu, mencium punggung tangannya, lalu duduk di sebelah kiri beliau.
"Iki ibu gak marahin kamu lho ya, cuma ngingetin aja. Kita ini perempuan, istri. Tugas utama kita mendampingi suami. Bukan cuma melayani kebutuhan lahir batinnya, tapi semuanya, termasuk mendukung cita-citanya, menjaga kehormatannya, dan salah satunya juga memberi ketenangan di mana pun dia berada.
"Laki-laki itu, walaupun nggak pernah mengatakan tapi sebenarnya juga butuh didukung dan dikuatkan, Ki. Sekuat apapun dia, setegar apapun dia, ketika istrinya bisa memberi dia ketenangan, kasih dukungan yang menguatkan, dia bahagia. Dan itu bisa menambah semangat buatnya.
"Apalagi Anas di sana belajar. Dia bukan cuma berjuang buat dirinya sendiri, buat keluarganya, bukan. Dia di sana untuk kepentingan banyak pihak, dan insya Allah sepulangnya nanti, ilmunya akan bermanfaat untuk banyak pihak pula. Jadi alangkah baiknya kalo kita, terutama kamu sebagai istri, nggak menambah bebannya dengan kesedihan kita. Ini cuma sementara kok, Nduk.
"Jadi tolong diingat-ingat ya, Ki. Sepengen apapun kamu manja-manja, tetep kudu lihat kondisi. Jangan cuma mengikuti ego kita sebagai perempuan saja.
"Iki maaf lho ya, sekali lagi ibu bukan marahin kamu, cuma nasehatin aja. Kamu kan jik anyaran jadi istri, ibu wis meh telung puluh taun. Ojo lara ati yo, anggep wae iki kultum subuh."
(Kamu kan masih baru jadi istri, ibu sudah hampir tiga puluh tahun. Jangan sakit hati ya, anggap saja ini kultum subuh.)
Lah, ibu kok tau aku nganggep kultum subuh gitu? Jangan-jangan bisa baca pikiran orang nih. Wah, bahaya.
"Ng-nggih, Bu. Ki minta maaf. Insya Allah nggak diulangi lagi."
"Emm, apa Mas bilang sama ibu kalo Ki laporan bab pingsan kemarin?" tanyaku lagi.
"Tadi pagi telpon bapak, terus dia nanyain itu."
"Maaf ya, Bu. Malahan ...." Aku tak jadi meneruskan kalimatku. Tadinya mau cerita kalau Mas Anas malah berniat pulang segala, untungnya otakku agak encer pagi ini. Kalau tidak, bisa habis aku dimarahin sama ibu. Untungnya lagi, ibu juga tak bertanya lebih lanjut.
"Yo wis. Gimana keadaanmu ini? Masih lemes, mual? Pengen maem opo? Biar disiapin Ndari. Ayo keluar dulu, minum susu anget sama bapak ibu. Gak usah dipikir terus, nanti malah kamu dan Anas sama-sama nggak nyaman perasaannya." Ibu mengecup pelipis kananku, kemudian berdiri, dan menggandengku ke ruang keluarga. Sungguh, betapa bersyukurnya aku memiliki mertua yang sayang dan perhatian padaku.
Memasuki area ruang keluarga, aroma pisang goreng menyapa penciumanku. Di atas meja dari akar kayu, dua cangkir teh dan segelas susu tampak masih mengepulkan asap. Sepiring pisang goreng bersisian dengan setoples kurma ajwa. Agak ke kanan, sebuah kardus terbuka bagian atasnya, tulisan bolu keju terbaca di sepanjang sisi luar. Hemm, dari jauh aku sudah menemukan makanan mana yang hendak kuincar.
"Sini, Nduk. Lungguh kene. Mimik anget-anget karo ngemil sik. Putu-putuku kudu sehat pokoke."
(Sini, Nduk. Duduk sini. Minum yang hangat-hangat sama ngemil dulu. Cucu-cucuku harus sehat pokoknya.)
Aku duduk di dekat bapak ibu, di atas sofa besar dan empuk berwarna abu-abu. Ibu mengambil gelas berisi susu, menyodorkan padaku. Aku jadi tak enak hati, sampai ibu melayaniku begini.
"Maturnuwun, Bu. Ndak usah repot-repot, nanti Ki ambil sendiri."
"Nangis tekan jam piro? Sampe bengkak ngono mripate." tanya bapak. Aku tersipu.
(Nangis sampai jam berapa? Sampai bengkak begitu matanya.)
"Ini lho, ada yang kangen. Katanya dari semalem di-video call nggak mau." Aku makin tersipu. Bapak mengulurkan HP padaku. Ternyata dari tadi bapak menyalakannya dan terhubung panggilan video dengan Mas Anas.
Mataku seketika memanas, melihat seseorang di layar HP bapak. Suaraku tak keluar, meski bibirku bergerak-gerak.
Ibu mengambil gelas dari tanganku, meletakkannya kembali ke meja, lalu pindah duduk di sebelahku. Dipeluknya aku, dan tangisku pun tumpah di bahu ibu.
Bapak mengambil alih HP dari tanganku, lantas bicara dengan anak kesayangannya di seberang sana.
"Nangis ki lho, Nas. Padahal matanya udah bengkak semua hasil nangis semalem."
Kudengar Mas Anas tertawa.
"Azki. Udah dong, Sayang, jangan nangis terus. Kalo kamu nangis nanti aku jadi pengen pulang."
Aku masih tak bisa bicara, cuma sesenggukan sambil sesekali menghapus mata dan hidung. Ibu dengan penuh sayang membantu mengeringkan wajahku dengan tisu. Bapak yang tersenyum lebar memegang handphone dengan sabar.
"Dih, sampai ingusan tuh. Malu ah sama Bapak Ibu. Ayolah, Sayang, cup ya. Jangan bikin aku bingung karena nggak bisa hapusin air matamu. Nggak bisa ngelapin ingusmu."
"Dih, apa deh, segala ingus dibawa-bawa, bikin malu aja."
"Kerasan di Kajen ya, Sayang. Sama Ibu Wahid kan udah banyak belajar. Sekarang manfaatin kesempatan buat belajar sama Bapak Ibu di Kajen. Minta diceritain suka dukanya hidup berumahtangga, jatuh bangunnya membesarkan usaha dan membesarkan anak-anak yang ganteng-ganteng, terutama suamimu ini."
"Yaelah, masih sempet nyombong segala. Hadeh."
"Nangisnya boleh dipuas-puasin sampe hari ini aja ya, Sayang. Mulai besok harus seneng terus. Janji sama Mas ya?"
Masih belum sanggup ngomong. Aku cuma mengangguk berkali-kali. Bapak ibu sudah cekikikan melihat kami.
"Bu, tulung jikukke tripod kae ya, Sayang. Aku kesel nyekeli HP. Biar mereka ngobrol berdua. Awak dewe nang pondok wae ngeterke jajanan ya, Sayang. Ki nek nang kene terus soyo suwe awak dewe ditariki kon mbayar kontrakan, Sayang." Bapak menggoda kami, setiap kata sayang diucapkan dengan penekanan yang dibuat-buat.
(Bu, tolong ambilkan tripod itu ya, Sayang. Aku capek megangin HP. Biar mereka ngobrol berdua. Kita ke pondok aja ngantar jajanan ya, Sayang. Ini kalo di sini terus lama lama kita ditarik suruh bayar kontrakan, Sayang.)
"Lah kok iso, kontrakan opo to, Pak?"
(Lho kok bisa, kontrakan apa to, Pak?)
"Yo wis ngono iku jenenge nganten anyar to, Sayang. Dunia milik berdua, liyane ngontrak!"
(Ya sudah begitu itu namanya pengantin baru to, Sayang. Dunia milik berdua, yang lain ngontrak!)
Mendengar ledekan bapak ibunya, cowok ganteng di seberang sana tertawa ngakak, sampai lupa sama istrinya yang habis nangis sampai mata bengkak-bengkak.
***
Hai, ketemu lagi sama Anas-Azki.
Sekali-sekali update jam segini ya, menemani sahurmu yg udah mepet waktu. Hehe...
Sekalian minta izin, habis ini mau istirahat dulu update cerita yg ini, soalnya ada bagian yg salah dan harus diperbaiki. Insya Allah nggak lama. Begitu kelar baca2 dan dapat data, langsung direvisi deh :)
Sebenernya nggak begitu mengganggu sih, tapi bagi yg tau, ini akan jadi sesuatu yg mengganggu. Karena walaupun cuma cerita fiksi, tetep aja ada bagian2 yg harus sesuai dengan senyatanya kan ya? :)
Dan saya akui, pas nulis ini memang kurang riset sih. Jadi harap maklum.
Baiklah. Selamat menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Semoga selalu sehat dan lancar ibadahnya.
Terima kasih untuk dukungannya.
Sampai jumpa.
❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro