Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30. Perpisahan Tiba

“Dua orang yang saling mencintai karena Allah. Mereka berkumpul dan berpisah dengan sebab cinta karena Allah.” (HR. Bukhari no. 660 dan Muslim no. 1031)

***

Terminal tiga ultimate bandara Soekarno Hatta menunjukkan kesibukan luar biasa. Kesibukan yang seakan tiada hentinya, seperti jadwal penerbangan internasional yang juga tak ada habisnya.

Pesawat berbendera Saudi yang akan membawa Mas Anas menuju King Khalid International Airport dijadwalkan terbang pukul 13.30. Aku menengok jam tangan yang melingkar di pergelangan kanan, masih ada setengah jam sebelum Mas Anas ke gate pemberangkatan.

Kami sekeluarga menunggu di salah satu executive lounge. Tangan Mas Anas tak sedetik pun lepas menggenggam jemariku, ia bahkan tak sesenti pun bergeser dari duduknya. Sama sekali tak tertarik untuk mengambil kudapan atau minuman yang tersedia, kecuali aku yang minta.

Sesekali ibu mengambilkan kudapan untuk putra bungsunya itu.

"Ki."

"Hemm."

"Jaga sholatnya ya, Sayang. Walaupun masih berat buat aktivitas, khusus sholat usahakan untuk selalu tepat waktu seperti biasanya. Sisanya buat istirahat gak pa-pa. Sambil baca Al Quran. Kalo udah mulai kuat, nggak muntah dan lemes lagi, qiyamul lailnya dimulai lagi ya. Doakan aku di sana.

"Kamu kuat ya, Sayang. Jaga diri baik-baik, jaga anak-anak kita baik-baik. Sementara tinggal di Kajen dulu aja, di sana banyak yang bantu, jadi kamu nggak usah malu-malu, pekewuh, dan sebagainya. Santai pokoknya. Enjoy. Karena di sana juga rumahmu."

"Iya, Mas Sayang. Udah berapa kali coba Mas ngulangin pesen ini ke Ki? Ki udah hapal di luar kepala semua pesan dari Mas."

"Maaf ya, Ki. Soalnya aku udah kehabisan kata, nggak ngerti mau ngomong apalagi." Mas Anas merangkulku, menyandarkan keningnya di bahu kananku. Dia menangis. Lagi.

"Ssstt, malu ah, Mas."

Gawai Mas Anas berbunyi, rupanya pesan dari teman-teman seperjalanan menuju Saudi. Sebagian besar dari mereka hanya akan transit di Riyadh untuk kemudian melanjutkan flight ke Madinah. Aku turut membaca pesan itu.

[Kak Anas. 10 menit lagi di meeting point ya. Syukron]

Dia membalas singkat, mengiyakan. Menyimpan gawai dalam saku celana, lalu berdiri menyiapkan koper dan ranselnya. Setelahnya ia berlutut di depanku, menggenggam erat kedua tanganku.

"Syarifa Tazkiya, zawjati. Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah mau menerimaku. Terima kasih telah berpayah-payah mengandung penerus nasabku, juga untuk segala keikhlasanmu melepasku. Ini tak mudah, tapi yang kamu lakukan di saat-saat ini sungguh sangat menguatkan aku.

"Maafkan aku ya, Ki. Maafkan kalau selama bersama masih banyak kekuranganku. Kurang baik dalam membimbingmu, mempergaulimu, membahagiakanmu. Seandainya boleh memilih, sungguh aku ingin tetap di sini bersamamu. Tapi ...."

"Ssstt, Ki udah janji untuk nggak nangis waktu Mas pergi. Kalo Mas gini terus, Ki mau tarik lagi janji Ki kemarin."

"Iya, Sayang. Maafkan aku."

“Dua orang yang saling mencintai karena Allah. Mereka berkumpul dan berpisah dengan sebab cinta karena Allah.

"Semoga kita berdua termasuk diantaranya, yang dikumpulkan dan dipisahkan, oleh sebab cinta karena Allah."

Aku mengangguk. Meraihnya dalam pelukanku. Tak ada tangis dariku, walau hanya sebulir bening yang mengalir. Aku kuat. Karena setelah ini aku masih bisa menangis sepuasnya. Ada pelukan ibu mertua, ada ibu, ada kakak-kakakku. Tapi tidak dengannya. Selepas ini ia benar-benar menahan sesaknya kerinduan seorang diri, tanpa kehangatan sebuah pelukan yang menemani.

Mas Anas memeluk ibunya, lama. Ibu menangis, mencium anak kesayangannya berulang kali. Tak sepatah kata pun terucap dari ibu, hanya sorot mata penuh cinta yang pasti terekam dengan baik di hati bungsunya.

Kemudian memeluk bapak. Bapak yang biasanya ceria, kali ini tak mampu menahan air mata. Saling mendekap hangat meski singkat. Beliau menepuk bahu anak kebanggaannya, dengan hanya satu pesan yang mampu terucapkan, "Jaga dirimu baik-baik, Nak."

Menurutku agak sedikit lebay, secara kalau mau bapak ibu bisa saja tiap bulan terbang menengok anaknya. Tapi begitulah perpisahan, meski singkat, tetap saja terasa berat.

Kami melepasnya. Menatap punggungnya yang mulai melangkah meninggalkan kami bertiga. Kukira sudah selesai, dan aku bisa segera menumpahkan air mata yang sejujurnya sudah tak tahan berlama-lama di dalam sana. Ternyata belum.

Mas Anas berhenti, berbalik badan, menatapku tajam. Setengah berlari ia kembali, memelukku sekali lagi. Teramat erat, hingga rasanya untuk bernapas saja aku tak kuat. Dan pertahananku ambrol detik itu juga. Kupukuli dadanya, menyalahkan dia yang pakai acara balik badan segala. Kudorong dia untuk menjauh, tapi apalah tenagaku yang sudah mulai lemas. Aku tersengal. Dia mendekapku, menenangkanku yang sudah tak sanggup untuk sekadar meronta.

"Yaa, zawjati. Ana uhibbuki fillah," bisiknya di telingaku.

Masih sempat berlutut dan mencium perutku, membisikkan pesan untuk anak-anak kami. Ia memelukku sekali lagi, mengusap wajahku yang basah, mengecup bibirku sekilas, kemudian menyerahkan aku pada pelukan ibu.

Lelakiku melangkah pergi dan tak menoleh lagi, hingga sosoknya menghilang bersama pandanganku. Gelap.

***

Aku membuka mata. Selain ibu, tak ada yang kukenal di sekelilingku.

"Maaf, Bu, Ki ngerepotin." Itu kalimat pertama yang terucap begitu aku sadar apa yang tadi terjadi. Lalu pandanganku kembali mengabur.

"Hadeh, kenapa pake nangis lagi segala sih, nggak bisa diajak kompromi nih mata."

"Ssstt, nggak pa-pa, memang kondisimu lagi begini, Ki."

Aku memaksakan diri untuk bangun. Ibu menyambut dengan segelas susu hangat. Rupanya kami di lounge yang tadi.

"Udah, kamu istirahat dulu. Kalau udah baikan, nanti kita bicara lagi, mau lanjut pulang apa nginep Jakarta semalam lagi."

"Nggak usah, Bu. Kita pulang saja. Ki juga kayanya nggak nyaman kalo harus nginap lagi. Lebih baik di rumah, bisa lebih santai." Aku mulai terbiasa dengan ibu. Kami sudah jauh lebih akrab. Sifat ibu --juga bapak-- yang baik dan menerimaku dengan terbuka membuat aku mudah menyesuaikan diri dengan beliau berdua.

"Ya sudah, ini bapakmu lagi cari kursi roda. Kamu nggak boleh kecapean. Perjalanan kita masih cukup panjang."

"Nggak usah, Bu, biar Ki jalan saja. Nanti malah bapak sama Ibu yang capek dorong Ki."

"Yaelah, Nduk, yo bukan kami lah yang ndorong. Kan akeh mas-mas yang menyediakan jasa tenaga."

"Astaga, ogeb-ku kumat lagi. Kok ya nggak kepikiran lho. Haduh, malu-maluin aja sih, Ki." Aku meringis.

"Emm, Mas nggak ngabarin, Bu?"

"Ya Allah Gusti, ki bocah loro kok podo wae. Mbok santai, ojo do lebay."
(Ya Allah Gusti, ini anak dua kok sama aja. Yang santai, jangan pada lebay).

"Iya juga sih. Kok jadi lebay gini yak?!" Aku tertawa. Malu pada ibu.

Bapak datang, bersama mas-mas yang mendorong kursi roda. Aku sudah merasa jauh lebih baik, jadi aku meminta untuk meninggalkan tempat itu sekarang juga.

Vellfire bapak menyusup diantara deretan mobil yang datang untuk menjemput penumpangnya. Pak Karno tergopoh menghampiri kami, membukakan pintu untukku. Ibu membantuku untuk naik hingga posisi ternyaman kudapatkan. Kami langsung meluncur menuju Pekalongan.

Aku mulai merasa nyaman. Kurogoh slingbag untuk mengambil ponsel. Rasa kangen sama Mas Anas mulai menyerang, mungkin memandangi fotonya bisa membuat sedikit berkurang.

[Sayang, gimana keadaan? Aman kan? Take care ya. I love you]

[Sayang, udah jln kah? Kok nggak dibaca?]

[Sayang, ini knp? Kok bapak ibu kutelpon jg gak ada yg respon?]

[AZKI, TOLONG JAWAB PESANKU!! ]

Dan sekian belas panggilan tak terjawab.

"Ini orang ngapain sih. Bukannya ngobrol sama temen-temennya malah ngerusuhin istri aja. Kan bikin makin kangen."

"Oh iya, Pak, Bu, Mbak Azki, maaf saya hampir lupa. Tadi Mas Anas telpon saya, katanya njenengan bertiga ndak ada yang bisa dihubungi," lapor Pak Karno.

"Ealah bocah. Lha ada apa jare, Pak? Kok telpon segala?"

"Kurang tau nggih, Bu. Cuma nanya sudah sampai mana, gitu. Trus pas saya jawab masih pada di dalam, langsung ditutup."

"Halah, paling meh nakokke Azki. Wis kangen," celetuk bapak. Ah, aku jadi malu.
(Halah, paling mau nanyain Azki. Udah kangen.)

"Ini sampun Ki balas kok, Pak." Padahal belum, baru berniat.

"Yo wis, Alhamdulillah. Bocah siji kae iso lebay juga tibake yo, Bu." Beliau berdua tertawa. Bertiga, dengan Pak Karno.
(Ya sudah, Alhamdulillah. Anak satu itu bisa lebay juga ternyata ya, Bu.)

[Gak ada apa2, Mas. Lg latihan menahan diri aja]

Pesan terkirim, langsung terbaca, dan di sana mengetik jawaban segera.

[Menahan diri buat apa nih?]

[Buat nggak neror Mas lwt wa lah]

[Gak usah! Gak boleh ditahan! Itu hiburanku, Ki. Gmn kangennya aku kl kamu jrg wa]

[Halah, nanti kl udah sibuk kuliah jg plg Mas yg jrg wa]

[Krn nanti pas aku udah sibuk kuliah kamu jg udah di sini brg aku, Ki. Aku gak mau lama2 jauhan gini ah, belum apa2 udah tersiksa]

[Mas bisa lebay jg ya?]

Lah, kebawa bapak ibu yang lagi hobi banget bilang lebay. Hehe.

[I love you, Syarifa Tazkiya]

[Apa deh. Gak jelas! Udah ah, Ki mau tidur]

[I love you too, Mas Sayang]

[Ah, ademnya dunia]

Dih elah, gak nyangka Mas Anas ternyata lebay juga.

***

Hawa di Kajen memang dingin, tapi malam ini jauh lebih dingin dari saat pertama kali aku berkunjung. Entahlah, mungkin kepergian Mas Anas membawa serta sebagian kehangatan dari diriku. Aish.

Tuh kan, aku jadi kangen lagi sama Mas Anas. Padahal sejak tadi kami berkali ngobrol via messaging. Dia memilih merogoh kocek untuk menikmati fasilitas wifi on board, demi bisa bertukar obrolan denganku. Tak sabar kalau harus menunggu landing.

Ibu mengetuk pintu ketika aku baru saja menghapus air mata. Aku bergegas membukanya, tak hendak menyembunyikan kerinduan. Lagipula percuma, bagaimana mau menyembunyikan kalau mataku sudah bengkak nggak keruan.

"Udah to, Ki, tidur. Kamu itu butuh istirahat. Ibu emoh nek kamu malah sakit gara-gara Anas. Kui lho, matamu udah bengkak gitu, nanti nek Anas lihat opo gak malah pikiran?"

"Iya, Bu, maaf. Sebentar lagi Ki tidur. Nunggu Mas landing dulu."

"Allahu akbar. Opo nek nganten jik anyar trus kudu pisah ki mesti nganggo drama ngene yo, Ki?"
(Allahu akbar. Apa kalau pengantin yang masih baru, trus harus pisah tuh mesti pakai drama begini ya, Ki?)

Nggak sanggup jawab, cuma bisa tersipu.

"Memangnya Anas landing jam berapa, Ki?"

"Setengah dua belas, Bu."

"Ya Robbi, ini baru jam sepuluh lho, Ki, masih lama. Wis to kamu tidur dulu aja, nanti jam setengah dua belas tak bangunin. Ibu temenin, malam ini ibu tidur sini."

"Ndak usah, Bu. Nanti bapak pripun?"
(pripun=gimana)

"Bapak yang nyuruh malah. Udah nebak bakalan begini ceritanya. Tapi kami bisa maklum sih, Ki kalo Anas rada lebay gini. Soalnya dia memang nggak pernah punya hubungan khusus sama perempuan sebelum-sebelumnya. Gak kaya mas-masnya yang dulu ya pada pacar-pacaran. Opo meneh Akmal kae, pacare gonta ganti sampe judheg ibu ngandani. Anas kan nggak gitu, sekalinya pulang mbahas perempuan ya minta dilamarkan kamu itu."
(Apalagi Akmal, pacarnya ganti-ganti, sampai kezel ibu ngasih tau)

"Lah, ibu malah ngomong begini, kan aku jadi kepengen nangis lagi."

Telat. Mata sudah terlanjur hangat dan basah.

"Lah, malah nangis to. Udah, tidur sekarang. Ibu nggak mau tau. Kalopun kamu nggak peduli kesehatanmu, kamu tetep kudu nurut sama ibu, karena di dalam rahimmu ada cucu-cucu ibu, anak-anaknya Anas."

"Iya, Bu. Ki tidur."

Bukan cuma nyenengin ibu saja, tapi sebetulnya aku memang sudah ngantuk.

Zzzzz....

***

Ibu membangunkanku hampir jam satu. Mau marah tapi takut dosa.

"Tadi Anas telpon, Ki. Kamu pules banget, mau bangunin ibu nggak tega. Tapi dia udah landing dengan selamat dan sukses. Kamu tidur lagi aja ya."

"Tidur lagi? Nanti lah, Bu, kalo Mbak Anggun udah jadi duta sampo lain aja."

Aku cuma diam, sedikit menarik ujung bibir untuk kesopanan. Padahal susah payah berusaha menyembunyikan moodku yang agak berantakan.

"Ki udah nggak ngantuk, Bu." Ingin bertanya apa ibu mertuaku belum tidur dari tadi, tapi kuurungkan, takut dikira nyuruh-nyuruh ibu tidur.

Pesan dari Mas Anas entah sudah menumpuk berapa banyak. Kubuka chat paling bontot, ia mengabarkan kalau sudah sampai di asrama.

Kuketik sebuah pesan yang dari tadi kutahan. Nggak penting memang. Tapi insting pengen manja-manja dan pengen diperhatikan nggak bisa diajak kerjasama. Gak pa-pa lah, sekali ini saja.

[Tadi di airport pas Mas udah gak keliatan trus Ki pingsan]

[Ya Allah, Ki. Kalo gitu besok aku pulang aja ya]

***

Jiahaha, Anas kehilangan wibawanya ini sih. Woles, Nas, woles!

Monmaap, namanya juga horang kayah. Hahaha...

Trus Anas beneran mau pulang gitu?

Menurut ngana?

Baiklah.
Sampai jumpa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro