27. Ngidam
Ketika kita bahagia, maka waktu berlalu tanpa terasa. Iya nggak sih?
Sepuluh hari lagi Mas Anas akan berangkat ke KSA. Aku, yang sejak kejadian pingsan pasca sidang, jadi sering menangis. Bukan, bukan karena sedih, tapi ya karena memang lagi manja, lagi pengen dimanja. Eh, kok kaya pernah dengar lagu yang begini yak?! Oke, skip!
Dokter Lia berpesan kalau aku harus banyak istirahat. Memang kehamilan ini sungguh menguras tenaga, pikiran, dan perasaan. Efek baiknya adalah, aku jadi makin sayang dan hormat pada ibu. Meski aku tak tahu seperti apa dulu waktu ibu mengandungku, tapi aku tahu pasti, kehamilan tak ada yang ringan. Seringan-ringannya ya pasti tetap saja akan berat, minimal berat karena ke mana-mana membawa perut yang membuncit.
Hamil juga membuat Mas Anas -yang sudah begitu sayangnya padaku- makin sayang padaku. Perhatiannya lho, melebihi perhatian mbak-mbak customer service pada pelanggannya. Bukannya senang, aku justru malah khawatir. Ya gimana nggak khawatir, kalau aku sudah terbiasa dengan perhatian dan kasih sayangnya, lalu Mas Anas berangkat ke Madinah, aku pasti akan sangat kehilangan.
Iya, aku memang khawatir akan merasa kehilangan yang berlebihan. Aku tak sanggup membayangkan rasanya ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Eaaa.
"Ki, jangan ngelamun terus. Akhir-akhir ini kamu makin sering ngelamun deh. Jangan gitu lah, Sayang. Jangan bikin aku kuatir," tegur Mas Anas. Ia baru pulang dari menyelesaikan tugasnya di masjid.
Sebenarnya Rudi sudah mulai menggantikannya "berdinas" sebagai marbot, tapi Mas Anas masih tetap membantu. Sampai H-2 berangkat ke Riyadh, begitu pintanya. Kelihatannya dia memang belum ikhlas melepas profesi kebanggaan yang sungguh dicintainya itu. Dia bahkan belum mau melaksanakan serah terima tugas, ya itu tadi, sampai H-2 keberangkatannya. Ckckck.
"Ya Mas pikir Ki nggak kuatir gitu?" Aku merajuk.
"Apa yang kamu kuatirkan, Ki? Katakan, biar aku bisa sikapin dari sekarang apa-apa yang jadi kekhawatiran buatmu. Minimal meminimalisir lah. Lha kalo keadaanmu begini, kan aku juga nggak nyaman di sana."
"Ya Ki lebih nggak nyaman lagi kali, Mas. Udahlah lagi hamil, teler gini, malah ditinggal pula sama suami. Nanti kalo Ki ngidam-ngidam gitu gimana? Siapa yang mau cariin?"
"Astagfirullah. Banyak-banyak istighfar, Ki."
"Huh, orang lagi bete gini malah dikasih istighfar. Nggak sekalian taawudz aja?"
"Eh, Astaghfirullah. Ighfirli ya Rabb."
Aku melengos. Berbalik memunggunginya. Tapi dasar Mas Anas, dia memang nggak pernah punya marah. Didekatinya aku, mengusap punggungku, memijat kakiku. Apa saja yang membuatku merasa tenang dan disayang. Tapi tidak kali ini, aku menepisnya, menolak sayangnya.
"Kenapa, Ki? Biasanya kamu suka diginiin."
"Kaya gini juga nih yang bikin Ki berat jauh dari Mas. Nanti siapa yang mijitin Ki. Yang ngusap-ngusap punggung Ki. Yang meluk-meluk Ki. Mending Mas nggak usah baik-baikin Ki gini kalo terus kita harus jauhan. Ki takut nggak bisa kuat jauh dari Mas."
Aku terisak-isak hingga badanku berguncang. Mas Anas ikut berbaring, lalu memelukku dari belakang. Menciumi rambutku hingga aku merasa tenang.
"Sayang, kamu harus percaya kalo kamu kuat, kalo kamu bisa. Selama ini kita udah banyak melalui hari-hari bahagia. Apalagi kamu di sini sama ibu, sama Mas Harits dan keluarga, ada bapak ibu Kajen juga yang jaraknya nggak jauh, kapanpun kamu pengen ke sana tinggal bilang aja. Jadi kamu jangan merasa sendiri.
"Lagipula ada anak kita. Dia bergantung padamu, Ki. Kamu ibunya. Kamu yang mengandungnya, membawanya kemana pun kamu pergi. Mengajaknya apapun yang kamu lalui. Juga mempengaruhinya, apapun yang kamu rasakan. So, jangan sedih, jangan kuatir. Innallaha ma'ana.
"Kamu harus bahagia, Ki, karena ibu yang bahagia akan melahirkan anak yang bahagia."
"Ya tapi nanti kalo Ki ngidam-ngidam gitu, siapa yang cariin? Kan nggak enak kalo minta sama ibu, Mas Harits, Mbak Nina, atau bapak ibu Kajen. Apalagi kalo ngidamnya yang aneh-aneh."
"Ki, pedoman utama dalam hidup kita itu apa sih?"
"Al Quran."
"Nah, kalo bicara kisah tentang wanita hamil dalam Al Quran, siapa yang melintas di pikiranmu?"
"Emm, Maryam."
"Nah! Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari Maryam?"
"Emm..., sabar, tabah, kuat."
"That's right."
"Tapi Ki kan bukan Maryam, Mas. Ki nggak sehebat Maryam. Lagipula, dia kan orang pilihan."
"Itu pasti. Kamu memang nggak sehebat Maryam, nggak sekuat Maryam. Tapi kamu tetap orang pilihan, Ki. Karena sejatinya setiap orang itu adalah pilihan. Allah yang memilih, untuk berperan sesuai skenario-Nya. Tinggal bagaimana kitanya, mau menjalankan peran dengan sebaik-baiknya, apa alakadarnya.
"Karena itu pula kamu yang tak sekuat dan sehebat Maryam dikasih ujiannya pun tak sesulit dia. Kamu nggak harus tinggal sepanjang hari dalam mihrab seperti Maryam. Kamu bisa melihat dunia luar, belajar, dan berkesempatan melihat banyak hal.
"Kamu nggak hamil tanpa suami, seperti Maryam, yang itu bahkan Allah berikan setelah sebegitu kuat dan susah payahnya ia menahan diri demi menjaga kesucian.
"Kamu juga nggak harus terasing ketika kamu menjalani kehamilan, Insya Allah sampai saat kamu melahirkan. Dan kamu juga nggak perlu mengguncang pohon kurma, demi memperoleh makanan yang menguatkan saat kamu akan melahirkan.
"Setiap cobaan yang dijalani dengan kesabaran dan kepasrahan hanya kepada Allah, hasilnya tak pernah mengecewakan, Ki. Maryam, dianugerahi seorang Isa. Seorang yang tak diragukan kemuliaannya.
"Kamu bukan Maryam, dan anak kita pun tak akan pernah menyentuh level Isa. Tapi kita bisa berupaya mendekatinya, dengan menjadikan mereka salah satu teladan kita. Al Quran tidak diturunkan tanpa tujuan, Ki. Ia diturunkan, salah satunya sebagai teladan. Juga untuk menguatkan.
"Kamu tak harus sekuat Maryam, Ki. Kamu hanya harus menahan diri sedikit lebih lama untuk kita bisa bersama. Tak lama, Ki. Tak sampai hitungan tahun. Percayalah, kesabaran dan kepasrahan hanya kepada Allah, tidak akan pernah dibalas selain hanya dengan balasan yang indah."
Mas Anas kuat banget kalau suruh bicara panjang lebar begini. Mungkin ini juga kenapa dia suka diundang buat ngisi majlis ilmu, bahkan sampai dipanggil Ustadz segala. Panggilan yang terkadang membuatku geli dan membuatnya malu mendengarnya.
Aku mengangguk. Semua yang diucapkan Mas Anas adalah benar. Untuk kesekian kali, aku merasa beruntung menjadi Nyonya Ahmad Nashiruddin.
"Iya Mas, Ki ngerti. Tapi tolong dimaklumi ya, Mas, kalo sesekali Ki begini. Ngambek, bete, takut, dan semacemnya."
"Insya Allah. Itu manusiawi, Ki. Apalagi kehamilan itu memang ada pengaruh pada hormonal, yang seringkali kemudian berpengaruh juga pada perasaan. Kamu cuma harus pintar-pintar mengelola perasaan. Dan aku, insya Allah selalu siap membantu, meskipun mungkin tidak dari sisimu."
"Kalo ngidam?"
"Ya nggak apa-apa, asal masih dalam batas wajar dan tidak menyulitkan. Itu hak kamu sebagai ibu hamil kok, Sayang. Cuma, kalo kamu kuatir itu akan sulit ketika aku nggak ada di sini, dari sekarang mindsetnya yang dibenerin. Jangan ngidam itu harus dituruti, kalo enggak nanti anaknya ileran. Tanamkan saja dalam pikiranmu bahwa tidak setiap keinginan harus dituruti. Kondisi anak itu juga hak prerogatif Allah, bukan berdasarkan ngidam yang terwujud atau bukan. Pokoknya kita mengusahakan yang terbaik saja, yang penting tetap di jalan yang diridhoi Allah."
"Iya, Mas. Insya Allah, Ki ngerti. Makasih ya sudah mengingatkan." Aku duduk, ia mengikuti. Kuambil dan kucium punggung tangannya.
"Alhamdulillah, betapa beruntungnya aku punya istri sholihah yang selalu mendengar dan mempertimbangkan apa yang dikatakan suaminya." Mas Anas mengacak rambutku sayang.
"Emm, kalo gitu Ki sekarang mau puas-puasin ngidamnya ya, Mas?"
"Hadeh, baru juga dibahas, kok sekarang malah jadi kaya ngelunjak gini sih istriku yang cantik."
"Hih, ngeledek. Ya udah deh, kalo gitu nggak jadi aja!" Aku merajuk lagi.
"Eh, jangan ngambek dong. Iya deh iya, mumpung aku masih di sini. Memangnya kamu ngidam apa?"
"Enggak! Pokoknya nggak jadi."
"Ayolah, Ki, kasih tau."
"Tapi kalo udah Ki kasih tau, Mas nggak usah maksa-maksa mau menuhin ngidamnya Ki ya."
"Iya deh, janji. Ngidam apa sih emang, sok misterius."
"Iya, ngeledek aja terus. Awas ya, kalo habis ini nyesel begitu tau ngidamku."
"Eh, tapi kayanya ngidamku nih rada hina gitu deh. Kasih tau nggak ya? Malu juga tapi ih."
Galau. Tapi kuputuskan untuk memberitahunya. Kalian juga pasti penasaran, iya kan? Ngaku aja!
"Emm, sebenernya..., Ki tuh pengennya bisa ndusel-ndusel nyium-nyium Mas terus. Ki suka bau keringetnya Mas yang nempel di baju yang Mas pake. Tapi kan nggak setiap keinginan harus dituruti ya kaaann?" Aku berdiri, hendak pergi. Sebenarnya cuma mau menggoda Mas Anas saja sih.
"Eh, kok gitu, Ki. Nggak! Nggak bisa. Ngidammu harus kuturuti!" serunya sambil menarik tanganku.
"Nggak mau! Kan tadi Mas udah janji." Kutangkis balik tangannya.
"Nggak pa-pa deh, pokoknya ngidammu yang begini ini harus kuturuti, sekalipun aku harus melanggar janji. Lagian, aku kan bukan merpati, yang tak pernah ingkar janji."
Yaelah, berasa nikah sama ponakannya Paramitha Rusady ini sih. Eh, atau Adi Bing Slamet?
*yang baca langsung roaming, dilanjut googling.
***
Hai kalian, pembaca kesayangan, ada yang nunggu Anas-Azki nggak sih? Enggaaaakk!
Baiklah. Haha...
Alhamdulillah, setelah kemarin jatuh bangun ngejar deadline buat nubar Ramadhan, akhirnya bisa update lagi deh.
Ini nulisnya sekali duduk lho, jadi maafkan ya kalo banyak salah dan ceritanya juga rada payah. Memanfaatkan waktu nih, lepas tengah malam memang paling pas, karena nggak diganggu sama para bocah. Hehe..
Semoga masih tetap suka dengan cerita ini ya.
Oh ya, bulan Maret sudah tiba, insyaAllah "Mendadak Mama" akan mulai update juga. Jadi Anas-Azki mungkin nggak bisa muncul sesering kemarin. Nggak pa-pa yaaa.
Ealah, ini kok curhatnya jadi panjang bingit. Bisa-bisa malah lebih panjang dari ceritanya nih.
Ah ya sudahlah, saya pamit yaaa.
Sampai jumpa.
Thank you & love you,
❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro