Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Bukan Marbot Biasa

Hari ini kami melakukan perjalanan ke kampung halaman Mas Anas di Pekalongan. Ahad besok keluarga Mas Anas akan mengadakan syukuran pernikahan untuk kami. Keluargaku menyusul besok pagi, sedangkan kakak-kakak Mas Anas sudah lebih dulu pulang ke Pekalongan sehari setelah pernikahan kami.

Untuk pertama kalinya aku merasakan naik Vellfire, mobil mewah yang namanya saja baru pernah kudengar dari Mbak Nina, yang kata Mbak Nina harganya menyentuh angka 1M lebih. Sesuatu yang bagiku sangat huwow sekali. Tapi memang interiornya sangat mewah, dan nyaman tentu saja. Setidaknya menurutku.

"Wuih, mewah banget sumpah. Mana pernah ngimpi bakalan naik mobil kaya beginian. Punya mertua lagi. Masya Allah."

"By the way, tombolnya banyak bener sih, buat apa aja yak? Kaca yang di atas itu cara bukanya gimana coba? Kapan-kapan minta Mas Anas minjem ini mobil buat poto-poto ah. Kaya yang pernah kulihat di film atau di gambar, ngeluarin separo badan di situ, trus rentangin tangan kaya di Titanic."

"Yaelah, Ki. Jangan malu-maluin lah, keliatan banget ndesonya."

"Eh, iya juga sih. Astaghfirullah."

Sebenarnya aku ingin bertanya tentang tombol-tombol yang ada di dekat tuas persneling, juga di bagian setir. Aku ingin tahu juga bagaimana cara membuka atap di bagian langit-langit mobil. Tapi semua hanya kusimpan dalam hati karena ada bapak dan ibu bersama kami.

Bapak duduk di samping Mas Anas yang memegang setir. Aku di belakang Mas Anas bersama ibu. Bersyukur sekali, kedua mertuaku orangnya sangat ramah, baik, dan juga lucu. Beliau berdua juga selalu bersemangat, dan bertiga tampak karib satu sama lain. Benar-benar family goals. Suasana mobil menjadi begitu hidup dengan obrolan dan celetukan bergantian dari Mas Anas, Bapak, dan Ibu.

"Ki, enak nggak naik mobil ini?"

"Hehe, ya enak to, Mas, wong mobil bagus banget gini," jawabku tersipu.

"Mau beli yang begini po?" tanyanya lagi.

"Enggak ah. Sayang, Mas, kemahalan. Lagian Mas kan sebentar lagi mau ke Riyadh. Nanti mobilnya malah nggak kepake."

"Iya juga sih. Mending minjem Bapak aja ya, Ki." Kali ini dia menggoda bapaknya.

"Lho nek kowe gelem nggo kowe yo ra kaiki, Nas."
(Lho, kalau kamu mau buat kamu ya nggak masalah, Nas.)

"Eh, eng-enggak usah, Pak. Ngerepotin," gugupku, disambut tawa bapak dan ibu.

"Gimana, Ki? Udah ngerasain tendangan maut sama pukulan mautnya Anas belum?"

"Hah, tendangan maut? Maksudnya gimana nih? Apa jangan-jangan di balik sifat baiknya, Mas Anas suka melakukan KDRT?"

"Astaghfirullah. Suudzon amat sih, Ki."

"Dih Ibu, memange aku Ksatria Baja Hitam po?"

"M-maksudnya gimana ya, Bu?" Pendingin udara di dalam mobil semewah ini mendadak terasa unfaedah. Aku mendadak berkeringat, tanganku basah.

"Lha semalem tidur bareng nggak sih?" Ibu kepo.

"Dih Ibu, tidur bareng dooong. First night goals lah pokoknya."

"Halah omonganmu, Nas!" Bapak menoyor kepala Mas Anas sambil terkekeh.

"Tidur bareng kok Azki bisa selamat dari tendangan mautmu? Ngapusi mesti."

"Ya mungkin karena saking amazed-nya, sampe aku tidurnya anteng. Eh, atau Azki yang tidurnya kaya orang pingsan ya, nggak ngerti kiri kanan? Iyo, Ki?"

"Eh, emm, ini t-tentang apa ya, Mas? Ak-aku ngerti kok yang terjadi semalem." Aku masih belum paham arah pembicaraan mereka bertiga.

"Ini pada mbahas apa sih sebenernya?"

"Udah udah, Ki, jangan diterusin. Nanti rahasia kita yang semalam terbongkar. Inget, kita ini pasangan muda, jangan bikin baper pasangan yang udah sepuh." Mas Anas ngakak, disambut jeweran ibunya.

"Jangan kaget ya, Ki. Ya gini ini keluarganya Anas. Kamu jangan bingung, nggak perlu jaim juga. Mau ketawa ya ketawa aja," terang ibu.

"Azki tuh pasti masih bingung bab tendangan maut sama pukulan maut tadi, Bu."

"Duh, Mas Anas mulai mengerti dan memahami aku. Eaaa."

"Oalah, itu to. Jadi kamu siapkan fisik dan mental ya, Ki. Anas itu kalo tidur polahnya nggak karuan. Biasanya pas masih kecil aja kan kaya gitu itu, nanti udah besar ya ilang sendiri. Tapi Anas tuh enggak. Sampai segede ini tidurnya masih kaya gangsingan. Muter gak karu-karuan.

"Dia kalo pas pulang ke Pekalongan masih suka ndusel-ndusel tidur sama Bapak Ibu. Nanti begitu dia tidur, Bapak Ibu ngungsi pindah kamar atau tidur depan tivi. Lha piye? Kadang lagi enak-enak tidur tiba-tiba kena gampar sama Anas. Atau kena tendang. Parah lah pokoknya.

"Wis, pokoke maafmu dan sabarmu sing akeh yo, Ki. Nek gak kuat yo kamu ninabobokan dia aja, kalo dia udah pules, tinggal! Tidur di sofa apa di karpet. Daripada kena jurus-jurus nggak jelas dari pendekar Anas." Tawaku pecah mendengar penjelasan Ibu. Dari spion depan, Mas Anas menatapku dengan senyum kecut. Habislah dia dibully bapak ibunya.

Alhamdulillah. Mas Anas masih manusia biasa, yang punya kekurangan dan aib juga. Aku sungguh lega, karena sebelum tahu tentang hal ini, aku merasa Mas Anas ini too good to be true untuk ada di hadapanku.

***

Rumah Mas Anas bukan di Pekalongan kota. Ada sih yang di sana, menyatu dengan butik Ahmad batik milik ibu. Kami hanya singgah sebentar di sana, sementara bapak dan Mas Anas salat Jum'at di Masjid Kauman. Selanjutnya kami langsung menuju ke Kajen, sebuah kota kecamatan yang menjadi ibukota Kabupaten Pekalongan.

Udara di Kajen masih cukup sejuk. Mungkin karena rumah keluarga Mas Anas terletak di wilayah agak pinggiran, di tengah perkampungan dan melewati persawahan. Di dekat rumahnya terdapat masjid yang menyatu dengan pesantren putra. Di depannya terdapat semacam area parkir yang cukup luas dengan tanah yang hampir seluruhnya tertutup oleh paving.

Sebuah pagar kayu pendek bercat putih seakan menjadi pembatas antara area parkir tadi dengan halaman dan taman yang asri dari sebuah rumah bergaya Jawa. Kami hanya melewatinya, lalu sekira dua puluh meter, mobil yang kami naiki berbelok memasuki sebuah rumah berlantai dua berpagar besi yang gagah. Rupanya kami sudah sampai.

Dari halaman yang luas ini terlihat Joglo yang tadi. Siapa yang menyangka di balik rumah Joglo kayu yang kental bernuansa Jawa itu ternyata terdapat bangunan rumah berarsitektur modern.

Ya. Halaman, taman, dan rumah Joglo tadi milik keluarga Mas Anas. Termasuk masjid dan pesantren di seberangnya. Bangunan utama rumah keluarga Mas Anas menyambung dengan kompleks bangunan yang kulihat sebelumnya, hanya saja gerbang masuknya yang berbeda. Rumah utamanya menghadap ke sisi perkampungan.

Mas Anas memarkirkan mobil di dekat taman. Sebuah area yang cukup luas dengan hamparan rumput hijau, berbagai mainan anak terdapat di sana. Ayunan, perosotan, putar-putar, bahkan arena panjat. Cuma jungkat-jungkit yang tak kutemukan keberadaannya.

Canggung, itu yang kurasakan ketika pertama kali memasuki rumah besar milik mertuaku. Namun perasaan itu segera hilang begitu melihat interior dalamnya yang sungguh homy dan cozy. Suasana nyaman penuh kehangatan menyapa siapa saja yang memasukinya.

Mas Anas mengenalkan aku pada orang-orang yang berada di rumahnya. Pak Karno, Bu Minah, dan Mbak Ndari, keluarga yang sudah ikut Bapak Ibu sejak Mas Aim kecil. Mereka semua terlihat akrab namun tetap hormat.

Dari dalam terdengar suara anak-anak kecil berlarian.

"Om Anaaasss." Satu, dua, tiga, empat, lima. Lima bocah berumuran di bawah tujuh tahun berebutan menggelayut manja pada Mas Anas. Aku tertawa melihatnya.

"Itu lho minta gendong sama Tante Azki. Udah kenal belum?" Mas Anas mengajak mereka mendekat padaku. Malu-malu mereka menyalami dan mencium tanganku sembari menyebutkan nama satu per satu. Kami memang belum sempat berkenalan meski kemarin sempat bertemu.

"Rame ya, Ki. Ini yang tiga anak Mas Aim, yang dua anak Mas Akmal," kata Mas Anas menunjukkan mana-mana yang anak Mas Aim dan Mas Akmal.

"Weits, jangan dikira cuma ini ya. Mas Aim masih punya dua lagi yang masih bayi, kembar. Mas Akmal juga masih dua batita lagi, paling lagi pada bobo."

"Makanya, kita nanti juga anaknya yang banyak ya, Ki," bisiknya padaku. Satu cubitan kecil kuhadiahkan padanya. Ah, betapa aku teramat bahagia.

Usai ber-say hi dengan kakak-kakak dan ipar Mas Anas, kami melewati kolam renang berukuran kurang lebih 20x15 meter persegi, menuju kamar Mas Anas yang terletak di paling ujung. Kamarnya besar, dengan bed berukuran paling besar. Mungkin karena dia sering mengeluarkan jurus-jurus nggak jelas itu tadi sehingga tempat tidurnya dikasih yang besar biar lebih aman.

Tak banyak barang memang, tapi yang ada semua berkualitas nomor wahid. Kamar mandinya bahkan dilengkapi bathtub, persis seperti di hotel kemarin.

"Mas, apa di rumah ini semua kamarnya model begini?"

"Kamar bapak ibu lebih luas, Ki. Ada ruang baca, ruang kerja, juga ruang salat. Kalo kamarku sama kakak-kakakku sih begini semua, cuma isinya aja yang beda, tergantung selera. Aku sih karena yang paling jarang pulang, jadi nggak banyak barang. Warna juga gini-gini aja, yang netral. Suka pusing kalo kebanyakan warna."

"Lah, padahal aku sukanya barang yang lucu-lucu, warna warni, eye catching. Duh, belum apa-apa udah ketemu satu perbedaan."

"Kenapa? Beda selera ya kita?" tanyanya.

"Ih, kok dia tau sih yang kupikirin?"

"Hahaha, sante aja, Ki. Kalo udah ada istri sih ya terserah istri aja. Aku sih nggak masalah, yang penting tidurnya ditemenin kamu." Dicubitnya ujung hidungku, lalu menempelkan ujung hidungnya padaku. Dia memelukku, menciumku, lalu selanjutnya....

"Mas, aku haid lho."

"Aduh, aku sampe amnesia bab satu itu. Haid tuh bisa dicepetin nggak sih, Ki?" Tawaku berderai mendengar pertanyaannya.

"Nggak di-pause aja?" tanyaku balik. Ganti dia tertawa.

"Mas."

"Hemm," responnya singkat, sambil melepas kaosnya dan mengganti dengan yang bersih.

"Mas sini, Ki mau nanya-nanya lagi." Kulambaikan tangan, memintanya mendekat padaku yang duduk di tepi tempat tidur.

"Tapi sambil tiduran ya, kakiku rada pegel. Kamu sih nggak mau gantiin nyetir."

"Dih, mana berani nyetirin mobil mahal gitu, takut lecet."

"Lecet tinggal mampir apotek lah, beli betadin sama perban."

"Gak lucu ah!" sahutku cemberut. Ia merebahkan badan. Aku menggeser dudukku, naik ke atas tempat tidur dan ambil posisi di samping kakinya.

"Mau tanya apa?" Ia tersenyum ketika aku mulai memijit kakinya.

"Eh, Ki," panggilnya padaku.

"Hemm."

"I love you. Sepenuh hatiku." Aku tersipu.

"Mas, dengan hidup Mas yang seperti ini, yang mau hidup model apa aja Mas bisa dapetin. Kenapa Mas lebih milih jadi marbot?" Ini pertanyaan yang paling ingin kutahu jawabannya.

"Oh, itu. Kamu tau kan Ki aku dari umur 10 tahun udah masuk pesantren dan di dalam sana selama hampir sepuluh taun. Delapan tepatnya. Selama itu pula hatiku terikat dengan masjid, Ki. Iya sih, masjid pondok. Tapi aku menikmati semuanya. Dan aku nggak ingin kehilangan itu.

"Bayangkan, Ki, dengan jadi marbot sekeluar dari pondok, aku jadi punya kesempatan untuk tetap menjaga keterikatan dengan masjid. Gimana enggak? Apapun kegiatan di masjid, kita ada di dalamnya. Secuek apapun tetep aja nggak akan kuat untuk nggak peduli gitu aja.

"Udah gitu masjid itu bagiku bisa menjadi rem buat anak muda seperti kita-kita ini, Ki. Kalo kamu tinggal di masjid, mau melakukan maksiat pasti malu sendiri. Mikir beribu kali. Nekat amat di rumah Allah mau bikin maksiat.

"Aku juga suka ngajakin teman-teman dan pas udah jadi dosen ya mengajak mahasiswaku untuk dekat sama masjid. Aku gak keberatan kok kalo masjid yang kujaga dipakai untuk ngerjain tugas, belajar berkelompok, diskusi, bahkan sekedar istirahat. Karena kebangkitan Islam itu dimulai dari masjid, Ki. Dan dari anak mudanya.

"Kamu tau kan, Ki, di masa Rasulullah, Nabawi menjadi pusat dari segala aktivitas. Bukan hanya kegiatan ibadah, tapi juga pembelajaran, musyawarah, bahkan dalam bidang kesehatan pun. Bangunan pertama yang didirikan oleh Rasulullah ketika hijrah ke Madinah pun adalah sebuah masjid, yaitu Masjid Quba. Insya Allah nanti kita bisa sering-sering berkunjung ke sana ya, Ki." Aku mengangguk. Dari kilatan matanya ia sepertinya masih akan melanjutkan bicara. Aku menunggu tak kalah antusiasnya.

"Lalu ada Masjid Sulaimaniyah dari masa Turki Utsmani. Masjid ini ada di Istanbul, dibangun pada masa Sultan Sulaiman Al Qanuni sekitar pertengahan tahun 1500-an. Diarsiteki oleh Mimar Sinan, arsitek paling ngehits di masa Ottoman. Nah, masjid ini juga bisa dibilang menjadi pusat kegiatan pada masa itu karena dilengkapi dengan madrasah, tempat belajar Quran dan Hadits, sekolah medis, perpustakaan, universitas, dapur umum, bahkan bimaristan."

"Bimaristan apaan, Mas?"

"Bimaristan itu sebuah fasilitas kesehatan umum yang besar dan lengkap. Ya rumah sakit gitu lah."

"Aku pernah dengar pas ikut kajian, katanya jaman dulu di sana tuh anak-anak muda belajar di sepanjang selasar masjid. Mereka sibuk dengan buku dan ilmu pengetahuan, tapi tak lepas dari Al Quran. Aku ngebayanginnya aja udah seneng dan semangat sendiri. Kalo punya mesin waktu, aku pengen lompat salah satunya ke masa itu."

"Hidih, udah tua juga ngebayanginnya mesin waktu. Gak sekalian pintu ke mana saja? Lebih praktis," candaku, mencibir padanya.

"Heh, doraemon kali ah!" Kami tertawa berdua.

"Jadi begitu, Ki. Aku pun sebenernya udah ganti-ganti masjid beberapa kali, mulai dari masjid kampus, lalu masjid-masjid sekitaran kampus, dan berakhir di Al Jaliil. Dan aku berusaha ngajarin dan menularkan semangat untuk mencari pengganti atau penerusku, Ki. Terus kalo udah ada teman atau kalo sekarang ya mahasiswaku yang siap gantiin aku di sana, aku cari masjid baru lagi. Dan sebisa mungkin di tempat yang baru kita kudu membawa perubahan atau perbaikan dari yang sudah ada sebelumnya, Ki. Misalnya yang dulu belum ada kegiatan ngaji, kita adakan. Yang dulu orang-orang sepuh di sekitar masjid nggak punya kegiatan, kita adakan kajian. Kebersihan pun kita tingkatkan. Pokoknya gimana orang jadi nyaman dan betah di masjid. Gitu-gitu deh."

"Ya ya ya, Ki ngerti, Mas. Kaya di masjid Al Jaliil kan ya? Dulu kan sepi tuh, nggak ada ngaji anak-anak, remaja, bapak-bapak ibu-ibu. Trus kata ibu jadi rame, makmur sejak marbotnya baru. Eh, ujung-ujungnya malah jadi mantunya ibu," seruku spontan. Dan setelahnya aku jadi malu.

"Sebenernya aku tuh pengen mengangkat imej marbot, Ki. Bahwa marbot itu bukan pekerjaan rendahan, bahwa marbot itu bukan cuma bersih-bersih, tapi lebih dari itu adalah gimana bikin orang betah berlama-lama di masjid. Dimulai dari marbot yang mahasiswa, yang soleh tapi tetap ramah sama jamaah dan warga sekitar. Jadi marbot nggak lagi dipandang sebelah mata.

"Bahkan dalam Ali Imran ayat 35 dikisahkan bahwa istri Imron bernazar atau bercita-cita, kelak anak yang dalam kandungannya akan menjadi hamba yang sholeh dan berkhidmat di Baitul Maqdis atau Masjid Al Aqsho.

"Kita bukan sekelas Maryam, Zakariya, Yahya, atau bahkan Isa. Tapi setidaknya kita bisa mengambil teladan dari hal-hal baik yang ada dalam kisah mereka."

"Masya Allah. Ki makin kagum sama Mas. Bersyukur banget Mas bisa nyasar sampai Al Jaliil, trus kita ketemu di sana."

"Eh, berarti ada satu lagi, Ki. Masjid juga menjadi tempat cintaku bersemi. Buat kamu, Ki. Cuma buat kamu. Mungkin karena keterikatan hati dengan masjid, Allah pertemukan aku dengan jodohku pun di masjid. Alhamdulillah. Terima kasih ya, Ki, sudah melengkapi hidupku." Dia bangun dari baringnya, memelukku erat, juga hangat. Aku terharu.

Sungguh, betapa beruntungnya aku. Mas Anas memang bukan marbot biasa.

***

Duh, Anas makin hari makin gemesin deh. Tapi takut juga kena tendangan dan pukulan mautnya. Hahaha...

Gimana nih? Enaknya ceritanya udahan sampai sini apa masih mau dilanjutkan? Kan udah terbuka semua fakta tentang Anas. Udah happy. Udah terjawab kenapa Anas Bukan Marbot Biasa.

So...,
Jangan lupa tinggalin vote dan komennya yak.
Baca juga cerita saya yang lain, salah satunya "Mendadak Mama".

Insya Allah next part mau nulis tentang gimana ceritanya dapat ide buat nulis cerita ini ah. Kira-kira ada yang mau baca gak ya? Hehe...

Baiklah, sampai jumpa.
Thanks & Love,

❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro