21. Akhirnya
Warning!! 18+
***
Setelah melalui hari yang cukup menegangkan, akad yang diintai kegagalan, juga tamu yang hingga sore masih saja berdatangan, aku masih harus menjalankan misiku untuk mengetahui lebih banyak hal tentang Mas Anas.
"Mas, maaf. Maharnya tadi kok banyak banget sih? Nggak memberatkan ya?"
"Lah, pertanyaan macam apa pula ini? Tapi biarlah, aku memang pengen tau juga tentang hal ini."
"Enggak, Ki. Sama sekali enggak. Kamu tau ceritanya mahar yang kubawa buat kamu?"
Aku menggeleng.
"Itu semua hasil keringatku sendiri, Ki. Penghasilan yang aku kumpulin dari sejak aku masih kuliah. Jadi asisten dosen, jadi marbot, jualan batik, ngajar ngaji, juga gajiku setelah jadi dosen. Kebutuhanku setiap bulan nggak banyak, Ki. Sisanya sebagian kubelikan emas, sebagian kutabung uang. Insya Allah semuanya halal, Ki.
"Seperti yang aku bilang kemarin tentang mendidik anak, ini salah satu ikhtiarku, Ki. Aku mencoba melatih diriku sendiri untuk selalu menjaga dan memastikan kehalalan harta yang aku punya.
"Aku bahkan mencatat semuanya dengan baik, Ki. Dan dari sejak lama aku sudah berniat, suatu hari nanti ketika aku menikah, aku akan kasih catatanku itu kepada seseorang yang menjadi istriku." Mas Anas bangkit, diambilnya sebuah map dari dalam ranselnya, lantas diberikannya padaku.
Allahu Akbar. Catatannya benar-benar rapi dan mudah dipahami dalam sekali baca. Dan jumlah yang tertulis di paling bawah, sama persis dengan mahar yang diberikannya untukku.
Aku tak kuasa menahan haru. Tapi ada satu hal yang mendadak mengganggu pikiranku.
"Emm, besok-besok Ki juga harus bikin yang seperti ini kah, Mas?"
"Dih, enggak gitu juga lah, Ki. Kamu nggak harus sedetail aku. Kan niatku sudah terlaksana. Selanjutnya bisa kita bicarakan bersama. Senyamanmu saja, yang terpenting kamu harus selalu bantu dan ngingetin aku untuk menjaga kehalalan harta kita.
"Oh iya, mahar yang tadi adalah hakmu, Ki. Simpan saja, kalo mau dipakai, pakailah untuk hal-hal yang bermanfaat."
"Lah, bukan buat modal hidup kita ya, Mas?"
"Yaelah, Ki. Maaf nih ya, bukannya sombong. Jangankan buat modal hidup kita yang mungkin akan tetap menjaga kesederhanaaan, aku kalo mau beli mobil kaya punya bapak atau mas-masku gampang aja, Ki. Maaf lho ya, sekali lagi bukan sombong. Biar kamu nggak mikir macem-macem tentang mahar tadi lagi.
"Ahmad batik itu usaha keluarga, Ki. Selain bapak, aku, Mas Aim, dan Mas Akmal punya saham juga. Dikasih sih sama bapak, hehe. Dan setiap tahun ada pembagian dividen, punyaku lho utuh. Rekening yang buat itu nggak pernah kuutak atik. Kalo M insya Allah ada lah, Ki."
"What?!"
"Apa itu dividen?"
"Yaelah, Ki, malam pertama masa bahasnya dividen sih? Tidur aja yuk. Kamu nggak ngantuk?"
"Eng-enggak. Pokoknya nggak boleh ngantuk sebelum semua pertanyaan yang mau Ki ajukan selese."
"Iya, boleh deh. Tapi sambil tiduran ya, Ki. Punggungku udah minta dilurusin nih." Suaranya menunjukkan keletihan. Entah,mungkin capek fisik, ditambah capek hati menghadapiku. Lah, padahal belum apa-apa.
Ia bangkit menuju kamar mandi, lalu terdengar suara menggosok gigi dan mencuci muka dari pintu kamar mandi yang separuh terbuka.
"Ki," panggilnya.
"Iya, Mas."
"Tolong ambilin celana pendek sama kaosku di ransel ya."
"Iya."
Kaos sudah ketemu, tapi celana pendek belum. Kuaduk-aduk ranselnya mencari celana pendek yang kumaksud. Ada sih, tapi itu bukan celana pendek. Lebih tepatnya sih celana pendek banget.
"Mas, celana pendeknya nggak ada. Adanya cuma ini." Kuulurkan apa yang dia minta, hanya tanganku yang masuk ke balik pintu.
"Nah, memang itu yang kumaksud, Ki."
"Ehk, di-dia mau tidur pake itu? Aduh, matik aku!"
"Itu sih bukan celana pendek, Mas. Mas tuh mau tidur apa mau berenang sih?" Dia tertawa mendengar pertanyaanku.
"Sini lah, Ki. Masuk aja kenapa sih? Kan udah nikah, udah sah."
"Gila. Sah sih sah, tapi ya tetep aja malu lah."
"Nggak mau ah, takut Masnya modus," teriakku dari luar, disambut tawa dari dalam. Mukaku mungkin sudah seperti kepiting rebus.
"Mas, pake ini juga ya." Kuselipkan kembali tanganku ke balik pintu, kali ini menyodorkan sebuah sarung warna abu-abu. Dia malah tergelak di dalam sana. Huh.
Sebentar kemudian ia keluar, mengenakan sarung yang tadi kusodorkan. Alhamdulillah.
"Mas, kalo Mas udah ngantuk tidur dulu aja gak pa-pa. Ngobrolnya kita lanjut besok aja. Maafin Ki ya."
"Hemm," sahutnya singkat.
"Kok cuma 'hemm' sih?! Duh, aku kok jadi nggak enak ya. Apa dia nggak berkenan karena aku menunda menunaikan kewajibanku yang juga adalah haknya? Atau hakku yang juga kewajibannya? Ah, pokoknya itulah, keduanya punya hak dan kewajiban."
"Eh, atau jangan-jangan dia cuma iseng ngerjain biar aku merasa berdosa? Perasaan tadi baik-baik aja. Barusan juga masih becanda."
Aku galau. Sebenarnya ada sesuatu yang sejak tadi mengganjal di pikiranku. Kekhawatiran yang saat ini hanya aku saja yang tahu
"Bismillah." Hanya itu yang keluar dari bibirku. Tapi tentu tak sesepele itu yang ada dalam hatiku. Bagaimana sepele kalau membuatku gemetaran begini, bahkan ketika baru berencana.
"Sumpah, malu banget deh aku. Nanti kalo Mas Anas bangun sebelum aku sempet narik selimut gimana nih? Haduh. Apa gini ya rasanya malam pertama, bukannya seneng malah malu?"
Aku berjingkat seperti maling sekeluarnya dari kamar mandi. Gaun tidur satin warna marun menempel di badanku, geli. Seumur-umur aku nggak pernah pakai baju tanpa lengan. Mbak Nina juga sih, kasih hadiah kok ya kaya begini.
Kulihat mata Mas Anas terpejam, dadanya naik turun dengan teratur. Rupanya dia beneran tidur. Mungkin capeknya sudah terlalu. Kumatikan lampu besar, berganti dengan pendar oranye yang redup. Hati-hati sekali kurebahkan badan yang bergetar ini pada spring bed nan empuk, lalu masuk ke dalam selimut yang sama dengan Mas Anas.
"Hemm." Belum sempat bernafas dengan teratur, Mas Anas beralih posisi menghadap ke arahku, melingkarkan tangannya di atas perutku. Dadaku serasa dilewati parade drumband, dag dig dug tak menentu.
"Alhamdulillah dia masih merem." Kucoba menenangkan jantungku yang berdegup tak beraturan, tetap saja gagal.
"Ki, kamu cantik kaya gitu," bisik Mas Anas di telingaku.
"Ya salam, ternyata Mas Anas tadi cuma pura-pura tidur." Selanjutnya aku pasrah, memang sudah kuniatkan sedari tadi saat kubaca basmalah.
"Bismillahi Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa."
Belum habis kagetku, dia membisikkan sesuatu yang membuat perasaanku makin tak bisa dijelaskan bagaimananya. Aku tahu itu doa apa.
Baiklah, kuaminkan dalam hati. Aku siap menjalankan tugasku sebagai seorang istri.
Apa itu, Ki? Rahasia! Pembaca harap skip aja.
***
02.47. Aku terbangun dalam keadaan yang agak tidak baik-baik saja. Mas Anas sudah tak ada di sampingku, aku menemukannya sedang bermunajat pada Sang Maha Cinta. Masya Allah, pemandangan seperti inilah yang selalu melintas dalam impianku. Seorang suami sholeh, yang senantiasa mengisi malamnya dengan qiyamul lail.
"Udah bangun, Ki?" tanyanya mengagetkanku. Ternyata aku melamun.
"Eh, ud-udah, Mas." Lagi, pipiku memanas. Kutundukkan wajah malu-malu, teringat apa yang kami lalui semalam.
"Kamu nggak pa-pa kan?"
"Eng-enggak, Ki nggak pa-pa kok. T-tapi ini kok spreinya berdarah ya, Mas? Nanti dimarahin nggak ya sama pihak hotelnya? Kalopun nggak dimarahin kan malu, Mas. Apa Ki cuci dulu aja ya?" Tawanya berderai mendengar ucapanku.
"Yaelah, Ki. Ya kali tamu hotel sprei. Lagian mau nyuci di mana? Di bathtub? Mikir, Ki, mikiiirrr!"
"Ya Allah, Ki, kamu tu lho polosnya. Udah nggak usah dipikirin. Nanti aku minta ke pihak hotel biar yang beresin jangan room boy, tapi yang mbak-mbak aja, biar kamu nggak malu. Nanti bilang aja haid. Kamu mandi dulu sana, apa perlu dimandiin?"
"I-iya, eh, eng-enggak enggak. Ki b-bisa mandi sendiri kok. Biasanya juga gitu." Penyakit gagapku mendadak kumat.
Mas Anas mendekat padaku.
"Nggak usah gugup gitu juga kali, Ki. Aku malah jadi inget waktu awal-awal kita kenal dulu. Kamu selalu bikin aku ketawa dengan kegugupanmu yang hampir selalu berujung kekonyolan. Aku jadi merasa senang dan terhibur setiap kali di dekatmu. Kadang kalo kamu nggak keliatan aku suka nyari-nyariin kamu lho, Ki."
Aih, pipiku memanas, "Dia nggak tau aja kalo aku jatuh cinta sama dia bahkan sejak sebelum kenal. Waktu Hanafi antri salaman sama guru ngajinya dulu. Mana nyangka sekarang jadi suamiku."
"Apalagi pas aku sakit, perhatianmu ke aku lho Ki, masya Allah. Kamu tau nggak, semenjak itu aku yakin kalo kamu adalah perempuan yang akan menggenapkan separuh agama bersamaku, menjadi ibu untuk anak-anakku. Dan yang pasti, setiap hari aku bisa menikmati susu jahe bikinanmu."
"Bukannya Mas dulu udah sempet deket sama mbak lulusan Mesir ya? Sampe dibelain ngobrol pake basa Arab di depan Ki. Sengaja kan biar Ki nggak ngerti apa yang Mas sama mbaknya obrolin. Huh."
"Mulai deh, mulai. Udah, stop aja lah kalo ngobrolnya tentang itu. Kamu mandi aja sana. Udah bisa kan niat mandinya?"
"Hih, apa sih!"
"Ih dasar, Mas Anas suka banget deh bikin aku malu."
"Buruan ah, biar kebagian qiyamul lail. Habis itu siap-siap ke masjid buat subuhan ya, Sayang."
"Ehk, apa? Sayang? Aih." Aku pura-pura tak dengar.
Meski berstatus pengantin baru dan tidur di hotel sebagai awal dari bulan madu, Mas Anas tetap mengajakku untuk salat di masjid. Sepertinya, bagi Mas Anas, salat di masjid bukan lagi menjadi kewajiban atau kebiasaan, melainkan kebutuhan.
"Mas." Aku berujar pelan sekeluar dari pintu kamar mandi.
Yang kukhawatirkan benar-benar terjadi. Bersyukur, aku sudah mengalahkan egoku dan telah melaksanakan tugas pertamaku sebagai seorang istri.
"Ya? Udah wudhu belum?"
"K-Ki...,"
"Apa? Nggak denger, Ki. Kamu kenapa?" Dia mendekat.
"K-Ki, emm, i-itu. H-ha--haid."
"Isbir ya, Ahmad Nashiruddin!" seru Mas Anas sambil menepuk dahinya.
***
Hai hai hai, ketemu lagi.
Maafkan ya teman-teman karena updatenya tertunda beberapa hari.
Maklum emak-emak sok sibuk. Hehe..
Dan maafkan juga kalau ceritanya rada ngalor ngidul. Fokusnya lagi agak terpecah-pecah. Semoga tetap bisa menghibur teman-teman semua ya.
Baiklah,
Sampai jumpa di part selanjutnya.
Thanks & Love
❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro