19. Akad yang Tertunda
Perhatian:
Part ini serius yaa, nggak ada haha hehe-nya. Beneran!
***
Hari yang dinantikan tiba. Aku sedang dirias oleh Tante Dian, salah satu teman ibu sekaligus pelanggan tetap masakan ibu. Acara apapun yang diadakan di rumah beliau, masakan ibu tidak pernah absen menjadi menunya.
Gamis berbahan satin dengan kombinasi brocade bernuansa broken white telah kukenakan. Sederhana namun elegan. Mbak Nina yang memilihkan, sebagai horang kayah seleranya memang bisa diandalkan. Jilbab warna senada terulur menutup dada. Sebuah selop berwarna sama pun telah membungkus kaki-kakiku. Semua yang melihat sepakat berkata kalau aku manglingi.
Tante Dian sang MUA baru saja keluar ketika Mbak Nina dengan keponya mengintip dari balik kaca jendela kamarku.
"Ki, udah rame di masjid. Ada banyak mobil di depan sana. Kayanya Anas nipu kamu lagi deh, Ki."
"Ih, Mbak nih kalo ngomong mesti ngasal deh. Nipu apa lagi sih, Mbak?" sahutku sok cool, padahal jujur saja aku deg-degan, kuatir apa yang dibilang Mbak Nina ternyata benar.
"Ya nipunya nipu baik sih, Ki. Kalo biasanya gembel ngaku horang kayah, kalo Anas sebaliknya."
"Maksudnya Mas Anas orang kaya tapi penampilannya gembel gitu?"
"Gak gitu juga kali, Ki. Iya iya, Anas enggak gembel. Dia bening. Apalagi kalo udah pake sarung, baju koko sama songkok. Beuh, air murni aja kalah bening sama Anas." Mbak Nina mulai lebay. Rasa hatiku pengen lepas selop trus terbangin autopilot ke kepala kakak ipar nan nyebelin itu deh.
"Hih, dasar lebay!" sungutku.
"Eh, tapi beneran, Ki. Gimana nggak nipu? Anas tuh kayanya memang anak orang kaya yang nyamar deh, Ki. Liat deh mobil-mobil yang parkir di depan masjid. Vellfire, Land Cruiser, sama Odissey keluaran baru. Mobil mahal semua tuh, Ki. Papaku aja mikir seribu kali dulu kalo mau beli mobil macem gitu."
"Yaelah, Mak Lampir. Aku mana ngerti juga tentang mobil?! Ngurus skripsi aja ribet, mana sempet ngurusin harga mobil. Bisa nyetir aja udah Alhamdulillah."
"Eh iya, Ki seragamnya kita yang dari Anas tuh keluaran Ahmad batik semua lho. Padahal produknya Ahmad batik tuh udah kondang mahalnya, sebanding sama kualitasnya. Apalagi ini batik tulis. Jangan-jangan calon mertuamu itu bukan pedagang batik biasa, Ki, tapi pemilik salah satu butik Ahmad batik. Kamu tau kan yang punya butik Ahmad batik Jogja? Yang dulu pernah ketemu waktu di rumah orang tuaku? Nah, mungkin kekayaan keluarganya Anas selevel itu deh," komentar Mbak Nina sambil mematut-matut seragam batik yang dikenakannya.
"Dih, apa sih, Mbak. Orang lagi tegang malah Mbak nih ngobrolinnya gak jelas gak jelas gitu. Lagian aku nggak lihat Mas Anas dari sisi itu juga kali, Mbak. Aku kan bukan cewek matre. Mbak nih ngeselin deh ah."
"Dih, maksudku juga bukan begitu kali, adek ipar kesayangan. Aku kan lagi bahas penyamaran Anas."
"Penyamaran apa lagi deh? Udah terbongkar semua gitu," cetusku sambil manyun. Padahal dalam hati mulai terbawa ikut nebak-nebak tentang Mas Anas, karena memang masih banyak pertanyaan tentangnya yang mengendap di hati dan benakku.
Ketukan pintu menghentikan obrolan nggak penting -dan nggak jelas- kami. Ibu dan Mas Harits berdiri di depan pintu, keduanya terlihat semringah.
"Sudah siap, Ki? Kalau sudah kita ke masjid sekarang ya. Itu keluarga Anas sudah datang. Petugas dari KUA juga sudah siap katanya." Mas Harits memastikan.
"I-iya, Mas. Insya Allah Ki s-sudah s-siap." Aku mengangguk. Kusambar clutch berisi ponsel dan sapu tangan. Buat persiapan, mana tahu nanti aku larut dalam haru. Eaaa.
Kami sekeluarga menuju ke masjid. Kuangkat sedikit bagian bawah gamisku, sayang kalau terkena kotoran di jalan.
Baru memasuki teras masjid, Mas Anas berlari menghampiri kami. Wajahnya terlihat gusar.
"Azki, kamu tunggu di kamarku dulu ya." Raut Mas Anas berganti panik. Seakan ada yang ingin dia sembunyikan -lagi- dariku.
"Mbak Nina, tolong temani Azki ya. Bu Wahid mungkin bisa ikut nunggu di sana saja," ujarnya lagi. Kali ini pada Mbak Nina dan Ibu.
"Ada apa sih, Mas?"
"Enggak. Nggak ada apa-apa kok, Ki. Insya Allah everything is fine."
"Kalo everything is fine, nggak mungkin Mas panik gitu."
"Udah, Ki, kamu nurut aja sama aku, nanti kujelasin. Sekarang kamu ke kamarku dulu aja ya, Ki. Please."
Kuhembus napas kasar, seolah ingin memberitahunya kalau aku nggak suka dengan keadaan semacam ini. Tapi Mas Anas abai, ia menarik tanganku untuk mengikutinya menuju ke kamar.
"Mas, ada apa sih sebenernya? Apa aku nggak punya hak untuk tau? Aku tuh nggak suka diperlakukan kaya gini." Kuhempaskan tangannya kasar, satu dua air mata mulai keluar. Ia bingung, hendak memeluk untuk menenangkanku, tapi belum waktunya untuk kami. Yang dilakukannya cuma memandangku dengan kedua tangan mengepal. Wajahnya terlihat mulai putus asa.
"Nas, iki jane piye to?" (Nas, ini sebenarnya gimana sih?"), suara ibu Mas Anas, wajahnya tak kalah gusar.
"Sana, kamu keluar dulu. Selesaikan semuanya. Ibu nggak ngerti lagi sama jalan pikirannya orang itu. Nggak punya etika! Nggak punya malu," ketus ibu, tampak sangat marah. Mas Anas mendekatinya, lalu berbisik entah apa. Setelahnya mencium tangan ibunya dan pergi.
"Orang itu tuh siapa lagi sih?!"
"Bu, maaf. Ada apa sebenarnya?" Kuberanikan diri untuk bertanya.
"Anas nggak bilang to? Lha trus tadi dia bawa kamu ke sini iku ngopo wae kok ora dikandani sisan?" (ngapain aja kok gak dikasih tahu sekalian?)
"Maaf, Bu. Mungkin Mas Anas sendiri kalut. Yang jelas dia nggak ingin saya tau apa yang sedang terjadi, Bu."
"Yaelah, kok aku malah ngebelain Mas Anas sih."
Mbak Nina dan Ibu ikut masuk ke kamar yang tertata rapi. Bahkan teramat rapi untuk kamar yang penghuninya makhluk bernama laki-laki.
"Pak Sukri, Ki. Dia ngacauin acara ini. Tempat duduk wali nikah perempuan dia sabotase. Sama petugasnya dia bilang kalo yang mau dinikahi Anas tuh anaknya. Hadeh, segitu pengennya ngambil Anas jadi mantunya. Ckckck." Istri Mas Akmal yang menjelaskan. Sebenarnya dia ke sini karena menyusul ibu.
"Astaghfirullah. Jadi ini tentang Pak Sukri lagi. Duh, gimana dong ini. Udahlah, aku pasrah mau gimana. Kalo memang Mas Anas jodohku, insya Allah kami akan tetap bersatu. Kalo enggak, pasti Allah akan kasih yang lebih baik buat aku."
"Sudah, Bu, Mbak, nggak apa-apa. Saya pasrah mau bagaimana akhirnya. Kalo memang Mas Anas jodoh saya, insya Allah nggak akan ke mana. Sekarang saya pulang dulu aja ya, Bu, Mbak? Mungkin lebih baik saya nunggu di rumah." Aku berdiri, susah payah mencoba untuk tetap terlihat tabah. Kemudian melangkah menghampiri Ibu dan Mbak Nina yang berdiri bersandar pintu. Menggandeng mereka untuk menemaniku pulang.
Kami sengaja melipir agar tak ada yang tahu kami pulang. Keberadaan mobil-mobil di halaman masjid cukup membantu kami, semua aman hingga kami bersiap menyeberang. Terlihat kesibukan di rumahku. Mas Harits dan kakak Mas Anas ada di sana. Aku setengah berlari, ingin segera tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
"Azki, kok kamu pulang? Anas tau kamu pulang? Kan udah disuruh nunggu di tempat Anas dulu to?" cecar Mas Harits begitu melihatku.
"Nggak pa-pa, Mas. Ki nunggu di rumah aja. Ki udah pasrah."
"Maksudmu apa, Ki?"
"Ki...," Ah, akhirnya tangisku pecah juga di pelukan Mas Harits.
"Ssstt, udah. Kita masuk dulu yuk. Ini Mas sama yang lain lagi siapin tempat buat akad. Kami semua sepakat untuk akad dipindah ke sini. Petugas KUA-nya masih punya waktu sampai jam sepuluh.
"Anas sama bapaknya lagi ke rumah Pak Sukri, selesein semua baik-baik. Insya Allah semua baik-baik saja, Ki. Kamu yang sabar ya." Aku mengangguk, lalu masuk kamar ditemani Mbak Nina dan ibu.
Kubuka-buka gawaiku untuk mengisi waktu. Membaca kembali pesan-pesan dari Mas Anas yang selalu membuatku tersenyum sendiri. Betapa beruntungnya aku dicintai olehnya. Kalaupun tidak ada jodoh, setidaknya aku tahu, aku pernah dicintai orang seistimewa Mas Anas.
"Ya Allah, kok aku jadi mellow gini sih. Kuatkan aku ya Rabb, mampukan aku menghadapi kenyataan apapun yang mungkin terjadi."
Tak terasa air mata kembali meleleh. Bukan, bukan karena aku takut kehilangan Mas Anas, melainkan karena aku bersyukur. Bersyukur karena tahu kalau aku pun istimewa dan pantas dicintai. Allah mengirim Mas Anas untuk menyadarkan aku, bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan kelebihan dan kekurangan, kita yang seringkali hanya fokus pada satu sisi saja, yaitu kekurangannya.
[Ki, maafkan aku ya. Gara2 aku semuanya kacau]
Tiba-tiba datang pesan dari Mas Anas. Sempat-sempatnya lho.
[Nggak pa-pa, Mas. Insya Allah Ki ikhlas, apapun yg akan terjadi. Terima kasih sdh mencintai Ki.
I love you]
Lagi-lagi aku harus menghapus bening yang menghangatkan kedua pipi. Setidaknya aku sudah mengatakan bahwa aku mencintainya.
[Alhamdulillah. Terima kasih, Ki. Aku bahagia banget]
[I love you too, more than yours]
[Terima kasih sdh menenangkanku. Insya Allah sebentar lg aku bisa meluk kamu, Ki]
Aku menahan tawa membaca balasannya. Bahagia.
Tok tok tok. Seseorang mengetuk pintu kamar. Ibu yang membukakannya. Mas Harits muncul dengan senyum yang menyejukkan. Setidaknya bagiku.
"Azki, adikku sayang. Yuk. Tempatnya sudah siap, petugas KUA sudah siap, keluarga Anas juga sudah siap."
"Emm, Mas Anas, sudah siap juga?"
"Insya Allah."
"Tapi make up-mu nggak siap, Ki. Kamu mau nikah kan ya, bukan mau pentas ondel-ondel?" gurau Mbak Nina.
"Hih, dasar Mak Lampir." Aku balas merajuk. Memeluk kakak iparku, dan menangis -lagi- di peluknya yang selalu tulus.
Sekali lagi aku bersyukur, dikelilingi oleh orang-orang yang tulus menyayangiku.
Alhamdulillah, segala puji hanya untuk-Mu ya, Rabb.
Dan sekarang aku di sini. Di ruang tengah rumahku. Menanti dan siap menyaksikan Mas Harits menyerahkan tanggungjawab atas diriku dari keluargaku, kepada Mas Anas yang akan mengambil alihnya.
Mas Anas menggenggam microphone. Kupikir akad nikah siap dilaksanakan, tapi ternyata belum. Yang terjadi di luar sepengetahuanku.
"Syarifa Tazkiya, calon istriku. Saya bacakan surah ini untuk engkau, sebagai salah satu mahar yang saya berikan kepadamu. Saya mencintai surah ini, yang selalu menjadi pengingat untuk diri saya. Dan saya ingin, pernikahan kita nanti, pun menjadi pengingat bagi kita berdua, untuk selalu mendekatkan kita kepada Allah."
Maka terlantunlah 30 ayat surat Al Fajr dengan merdu. Mas Anas terdengar menangis di pertengahannya, tetapi tidak mengurangi bagus bacaannya.
"Alhamdulillah. Masya Allah laa quwwata illa billah."
Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Hanya menunduk, dan berkali menepuk mata dengan sapu tangan. Salah satunya untuk menjaga agar make up-ku tidak luntur tentu.
Mbak Nina malah yang terisak-isak mendengar bacaan Mas Anas. Rupanya Mak Lampir satu itu bisa juga menangis karena hal begini. Dia menggenggam jemariku kuat, ibu memelukku erat. Makin menguat dan mengerat, ketika lantunan Quran dari Mas Anas usai, dan ijab qobul hendak dimulai.
"Saudara Ahmad Nashiruddin bin Abdul Aziz, saya nikahkan dan saya kawinkan Engkau, dengan adik saya, Syarifa Tazkiya binti Syarifuddin Wahid, dengan mas kawin logam mulia seberat 34 gram, uang tunai sebesar enam puluh delapan juta rupiah, dan hafalan Quran surah Al Fajr, dibayar tunai!"
"Masya Allah, banyak amat maharnya, dia nggak pernah bilang. Mas Harits pun sama, nggak bilang."
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Syarifa Tazkiya binti Syarifuddin Wahid dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Mas Harits dan Mas Anas mengucapkan ijab dan qobul dengan tenang, tegas, mantap dan lancar. Tangis ibu pecah bersamaan dengan penghulu mengucap kata "SAH!".
SAH ya, bukan tsah! Eh Azki, jangan bercanda dong!
Ibu memelukku, bahunya yang berguncang membuatku ingat akan semua bentuk cinta dan kasih sayang. Perempuan tangguh, yang tak pernah sekalipun terdengar mengeluh. Perempuan hebat, yang selalu menghujani anak-anaknya dengan ribuan semangat. Perempuan lemah lembut, yang selalu ada di saat keluarga ini pasang maupun surut.
Tangisku pun turut pula pecah. Sedih, karena setelah ini berarti aku telah lepas dari tanggungjawab ibu, meski tak akan pernah lepas dari semua bentuk cinta dan kasih sayangnya. Bahagia, karena setelah ini aku tak lagi merepotkan ibu dengan segala kerunyamanku yang nggak jelas. Semua telah diambil alih oleh Mas Anas, laki-laki istimewa yang ternyata lebih dari istimewa.
Tante Dian kembali memperbaiki make up-ku usai tangis kami mereda. Lalu ibu dan Mas Harits menggandengku menuju ruang tamu untuk mempertemukan aku dengan marbot masjid seberang rumah yang sekarang telah berganti status menjadi marbot hatiku. Aish.
Laki-laki yang teramat istimewa itu sekarang berada persis di hadapanku. Menatapku dengan mata yang bercahaya, juga berkaca-kaca. Kuambil tangannya yang kini telah halal bersentuhan denganku, lalu dengan takdzim kukecup punggung tangannya. Sebulir bening dari mataku jatuh membasahi tangan itu, tangan yang akan membimbingku, juga mencari nafkah untukku.
Detik berikutnya ia menarikku. Mendekapku dalam pelukan yang teramat erat. Sama seperti ibu tadi, aku merasakan tubuhnya yang berguncang. Dia terisak. Dan aku membeku.
Setelahnya, ia mengecup lembut keningku, lalu menangkup kedua pipiku hingga ujung hidung mbangirnya menyentuh hidungku.
"Terima kasih, Zaujati. Inni uhibbuki fillah," bisiknya padaku.
“Ahabbakalladzi ahbabtani lahu” jawabku tersipu.
***
Udah udah udah, gak usah ikut baper dan terharu gitu napa sih?
Anas-Azki udah sah yess. Yang jomblo gak usah nekat nunggu di tikungan yak. Hahaha...
Dan awas ya kalo ada yang bilang, "partnya kurang panjang, Kak" akan kulempar klean dengan cinta. Eaaa.
Baiklah. Daripada makin gak jelas, kita akhiri saja perjumpaan kita sampai di sini.
Eh iya, jangan lupa vote dan komennya ya. Yang belum follow boleh deh follow saya. Hahaha.
Okey,
See you and thank you.
❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro