Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Berubah Pikiran

Enam dari sepuluh hari telah terlalui. Sungguh, mempersiapkan pernikahan ternyata tak seperti menggoreng tahu bulat. Iya, nggak bisa dadakan gitu. Sedangkan kami, semua serba mendadak. Kami bahkan sedikit menggeser tanggal pernikahan. Terpaksa, demi menyesuaikan waktu mengurus ini itu serta jadwal petugas KUA-nya.

Tak hanya itu, di setiap hierarki yang kami lalui, kami harus ikhlas diceramahi. Mulai dari Pak RT, Pak RW, petugas kelurahan, sampai petugas KUA semua ngomelin kami panjang lebar. Beruntung, Pak RT dan Pak RW kenal baik dengan Mas Anas. Beberapa orang di KUA pun mengenal Mas Anas, mereka bahkan terlihat menaruh hormat karena memanggilnya dengan sebutan Ustadz. Ini cukup membantu kelancaran pengurusan birokrasi dan dokumen pernikahan kami.

By the way, jangan bayangkan aku pergi ke mana-mana berdua sama Mas Anas ya. Kami pergi masing-masing dan janjian ketemu di lokasi. Ya memang masih harus begitu. Kata Mas Anas 'meskipun udah pengen ke mana-mana bersama, tapi tetep harus ditahan dulu sampai tiba waktunya'. Hehe.

Seperti biasa, usai salat isya aku bersiap pulang. Aku sedang menunggu Mas Harits dan Hanafi ketika Mas Anas menghampiriku dan menyampaikan sedikit hal berkaitan persiapan pernikahan kami.

"Lho, Mbak Azki tadi masih ikut ngajar to? Bukannya udah berhasil menggaet Mas Anas?" Pak Sukri mendadak muncul di dekat kami.

"Astaghfirullah, gitu amat sih tuduhannya. Nggak berdasar. Dikira aku ikut ngajar cuma karena mau menggaet Mas Anas gitu? Dih, jahat bener."

Sumpah. Selain kaget, aku juga sakit hati banget. Mas Anas pun menampakkan keterkejutan yang sama.

"Mari, Pak. Kami duluan, saya mau nganter Azki pulang." Mas Anas menarik tanganku tanpa persetujuan. Segera kutepis begitu aku sadar tiga detik berikutnya.

Hatiku lantas berantakan. Antara sedih dengan ucapan Pak Sukri, sekaligus deg-degan karena Mas Anas memegang tanganku, meski tak bersentuhan skin to skin, dan itu pun langsung kutepis.

"Udah, nggak usah dipikirin yang begitu-begitu. Aku ngerti kok kamu udah capek mikir persiapan kita. Mending kamu mikir yang seneng-seneng aja. Mikirin gimana sesudah kita nikah nanti, misalnya."

"Apaan sih?!"

"Nah kalo udah nikah nanti yang ada kan pasti cuma seneng."

"Kata siapa?"

"Kataku dong. Karena aku janji, kamu akan selalu happy di sampingku."

"Dih, pede. Namanya berumahtangga itu pasti ada riak-riaknya. Nggak mulus-mulus aja."

"Kemungkinan itu pasti ada. Tapi aku akan pastikan, apapun yang ada di depan kita nanti, kita akan hadapi dengan bahagia."

"Mas pinter nggombal ya ternyata."

"Nggombal gimana, ini serius tau."

"Iya deh iya, tapi Ki capek, Mas. Mas pulang aja ya, Ki mau istirahat."

"Iya. Maaf ya, Ki."

"Kenapa minta maaf?"

"Karena aku yang minta cepet-cepet, jadi kamu capeknya dan mikirnya juga berlipet."

"Enggak pa-pa, insya Allah Ki senang kok."

"Alhamdulillah. Ya udah, aku pamit dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Sampai di kamar, kutaruh mukena pada tempatnya. Selanjutnya kusambar guling dan menelungkupkan badan di atas karpet sambil memeluknya. Kedua tangan menggenggam gawai, scrolling tanpa tujuan. Hanya ada kegalauan yang datang tanpa diundang.

[Mas, maaf. Kl sy berubah pikiran gimana ya?]

Kukirimkan sebuah pesan untuk Mas Anas. Tak sampai lima menit, sebuah panggilan masuk ke HP-ku. Kureject. Lalu sebuah pesan menggantikannya.

[Aku baru msk kamar, disambut pesan ky gini]

[Ini maksudnya gmn, Ki? Tlg jgn bikin aku panik]

[Kayanya sy mmg gak pantes jd istri Mas Anas. Mumpung blm terlanjur, mgkn bs kita stop sj]

[Azki, jgn becanda! Kita udah tinggal selangkah]

[Tp langkah kita nggak mudah. Plg enggak buat saya. Sy merasa ini susah. Sy lbh baik mundur]

[Aku ke rumah lg ya]

[Jgn mas. Sy mau istirahat]

[Apa sih, Ki, kok pk saya2 gitu. Aku nggak suka! Aku nggak suka kamu nganggap aku org lain]

[Ini gara2 pak sukri kah?]

[Kl iya aku ke rumahnya skrg juga]

[Jgn mas, jgn memperkeruh suasana. Ini bkn krn pak sukri kok]

[Kamu pikir yg kamu lakukan ini nggak memperkeruh suasana, Ki?]

Jleb! Iya juga sih, tapi gimana lagi, aku memang merasa nggak tenang dan nggak nyaman. Iya kalau cuma sampai menikah lalu semuanya berhenti. Nah kalau seterusnya begini, gimana?

Ah entahlah. Tak kubalas pesan terakhir dari Mas Anas.

[Aku di teras sm Mas Harits. Kamu gak perlu keluar, istirahat aja. Biar nanti Mas Harits yg ngomong sm kamu]

[Makasih, Mas. Maafin sy ya]

Dan setengah jam kemudian, Mas Harits mengetuk pintu kamarku. Kupersilakan ia masuk. Aku masih gegoleran galau, bahkan titik ordinat rebahanku tak bergeser satu derajat pun sejak pulang dari masjid tadi.

"Ki, besok pagi kamu selesein masalahmu sama Anas ya. Bicaralah baik-baik apa maumu, apa maksudmu, apa solusi buat masalahmu. Nggak berdua kok. Mas temenin dari jarak aman."

"Kalo Ki berubah pikiran, Ki salah nggak sih, Mas?"

"Nah alasanmu apa? Kalo itu bisa diterima dan bisa dibenarkan, ya menurut Mas nggak masalah. Tapi kalo nggak jelas, cuma alasan yang dicari-cari, dan cuma karena kamu ingin menghindar atau lari dari sesuatu, Mas nggak mendukung."

"Emm, iya sih, Mas. Ki bingung. Galau. Padahal cuma mau nikah sama marbot lho, kok ya ada hater segala. Gimana kalo nikahnya sama Zayn Malik yak?!"

"Jadi bener ini karena Pak Sukri?"

"Duh, salah ucap lagi aku. Pura-pura pusing dan ngantuk aja deh."

"Eh, emm, anu, Ki ngantuk, Mas. Ki mau tidur dulu. Capek lahir batin."

Mas Harits mengambil napas, membuangnya sedikit kasar.

"Oke, kamu tidur dulu aja. Nanti malam cobalah minta petunjuk sama Allah. Besok kita selesaikan sama Anas. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam," balasku lirih. Lalu Mas Harits menghilang di balik pintu.

***

Ahad pagi. Sekira jam 9 kami bertiga -aku, Mas Harits, Mas Anas- telah berada di sebuah tempat makan. Mas Harits memesan sebuah gazebo kecil untukku bicara dengan Mas Anas. Sebuah kolam berukuran sedang berisi puluhan koi yang berenang kesana kemari menyejukkan mata kami, ditambah gemericik air terjun buatan yang menambah nyaman suasana.

Sementara tepat di seberang kolam terdapat sebuah bangunan semacam rumah kaca. Sebuah kafe bergaya industrial yang menjadi bagian lain dari tempat makan yang kami datangi. Di balik kaca kafe itulah, Mas Harits duduk di salah satu bangkunya menghadap ke arah kami. Sebuah gawai dan secangkir minuman yang asapnya mengepul terlihat menemani. Memegang buku, ia melempar senyum ke arah kami, lalu mengangguk padaku.

"Azki, aku yakin kamu bisa menyelesaikan masalahmu sendiri." Demikian yang kusimpulkan dari tatapan plus anggukan Mas Harits.

"Jadi apa yang membuatmu ingin berubah pikiran, Ki?" tanya Mas Anas to the point, tanpa sedikit pun basa-basi. Bahkan tak ada pembukaan apa pun. Eh, ya ini memang bukan acara tujuh belasan sih.

"Emm, s-saya...,"

"Jangan pake saya, aku risih dengernya, Ki. Aku bukan orang lain. Dan aku nggak suka kamu anggap orang lain."

"Kenyataannya Mas memang orang lain kan buat Ki? Ki bahkan nggak tau sama sekali tentang Mas, sampe harus terkaget-kaget ketika satu per satu kenyataan tentang Mas Anas terbuka."

"Justru karena itulah aku memilih kamu, Ki. Yang nggak tau siapa aku, tapi mau menerimaku dengan alasan yang nggak biasa. Aku sendiri nggak mau orang melihatku karena pekerjaanku, kemampuanku, atau bahkan orangtuaku. Dan aku menemukan itu di kamu, Ki. Cuma kamu yang melihat aku apa adanya, sebagai marbot dan sebagai laki-laki biasa."

"Siapa bilang? Ki nggak pernah melihat Mas sebagai laki-laki biasa. Dari dulu Ki udah mengagumi Mas sebagai orang yang luar biasa."

"Luar biasa untuk ukuran seorang marbot kan?"

"Eh, emm, i-iya sih."

"Nah, sekarang apa yang mengganggu pikiranmu atau hatimu sehingga pengen berubah pikiran? Pak Sukri kan?"

Aku diam tak menjawab. Hanya menatap layar gawai dengan jemari sibuk menggulir layar mencari sesuatu. Setelah dapat, kusodorkan gawaiku ke hadapan Mas Anas.

[Azki, kamu tau gak sih, Mas Anas itu udah duluan datang ke orangtuaku. Kenapa jd mau nikahnya sama kamu?]

[Maaf, ini siapa ya?]

[Anaknya pak sukri]

"Astaghfirullah. Jadi bener ya, ini tentang Pak Sukri? Dan ternyata anaknya ikut-ikutan." Wajah Mas Anas terlihat kesal.

"Oke, aku jelasin sekarang aja ya, Ki. Jadi memang bener aku pernah datang ke rumah Pak Sukri...,"

Baru sepotong penjelasan, tapi aku sudah merasa sakit yang teramat sangat. Rasanya aku nggak ingin pembicaraan ini dilanjutkan.

"Bukan inisiatifku, Ki. Pak Sukri yang ngundang aku makan malam di rumahnya. Aku mau nolak enggak enak. Habis makan malam kami ngobrol, aku dan keluarga beliau. Trus aku ditembak sama beliau, ditanya-tanya gimana pandanganku tentang anaknya, gimana kalo aku dijodohin sama anaknya, dan semacamnya."

"Jadi Mas beneran udah ngelamar mbaknya?" Mataku mulai panas. Satu dua bening pun ikut terlepas.

"Tunggu penjelasanku selesai dulu, Ki!" tegasnya. Sorot matanya tajam ke arahku.

"Iya, aku ke sana. Kami membahas soal pernikahan dan sebagainya. Sekali lagi, bukan aku yang mulai pembahasan ya. Tapi ketika aku bilang kalo aku cuma marbot, apa iya anaknya mau menerima? Anak Pak Sukri jawab gini, 'Ya nggak pa-pa sih, Mas, saya nggak buru-buru kok. Mas bisa cari pekerjaan yang lebih baik dulu, nikahnya nanti kalo udah lebih mapan nggak apa-apa'. Gitu, Ki.

"Jujur aja aku nggak suka. Bagiku,pernyataannya menjelaskan kalo dia nggak bisa nerima aku apa adanya. Lagipula, marbot bukan pekerjaan yang hina kok. Sebaliknya, ini tuh pekerjaan yang mulia, yang nggak semua orang mau melakoninya sekalipun dia bisa," beber Mas Anas berapi-api. Aku jadi nggak enak sendiri.

"Eh, i-iya sih, Mas. T-terus Mas jawab apa sama anak Pak Sukri?"

"Emm, apa ya?! Cuma kusenyumin aja, aku bilang 'saya belum ada niat untuk mencari pekerjaan yang lain'. Menurutku itu udah menjawab kalo aku nggak mau. Aku udah terlanjur ilfil duluan. Pengennya buru-buru hengkang dari hadapan keluarga Pak Sukri."

"Nah itu! Mas jawabnya gak tegas sih?! Mungkin itu yang bikin keluarga Pak Sukri masih berharap."

"Tapi setelahnya mereka nggak pernah bahas itu lagi, Ki. Makanya kupikir udah selese kan. Nah tiba-tiba kumat bahas itu lagi setelah ketemu bapak kemarin, dan tau kalo aku anaknya bapak. Aku kan makin ilfil, Ki. Dia melihat aku karena bapakku."

"Nah, itu juga, Mas. Ki sebenernya pengen tau siapa dan bagaimana ceritanya bapak dulu? Katanya bapak asli sini. Trus kenapa Pak Sukri langsung ngelihat Mas lagi setelah tau siapa bapaknya Mas Anas. Memangnya ada apa dengan bapak?"

"Sebenernya Ki pengen tau banyak tentang Mas dan keluarga Mas. Tapi Mas selalu kaya nutup-nutupin gitu." Mas Anas mengacak rambut ikalnya yang dipangkas cepak.

"Itu besok aja ya Ki kalo kita udah nikah. Aku janji akan cerita apapun yang kamu minta. Kamu boleh tanya apapun tentang aku dari kecil sampe sekarang, tentang orangtuaku, keluargaku, teman-temanku, penggemarku. Semua!"

"Hidih, sempetnya nyombongin penggemar segala. Nyebelin ih!"

"Aku nggak pengen tau tentang penggemarmu kali, Mas."

"Alhamdulillah, aku dicemburuin sama calon istri."

"Hih pede, siapa juga yang cemburu!" Kulempar tisu ke arahnya. Dia tertawa.

"Nggak usah ketawa-ketawa deh, belum klir juga."

"Apalagi yang mau dibahas sih, Ki? Kan aku dah jelasin tentang keluarga Pak Sukri. Dan tentang keluargaku, aku juga udah janji, nanti setelah kita nikah aku akan ceritain semuanya."

"Kalo aku maunya sekarang?"

"Eh, ya gimana ya, Ki? Aku nggak mau kamu berubah pikiran setelah tau tentang keluargaku. Walopun belum tau kamu banget, tapi dari yang udah-udah, aku bisa nebak gimana kamu, Ki."

"Ya udah deh, kalo gak mau cerita. Tapi aku...,"

"Nggak usah ngancam deh, Ki. Aku nggak suka. Oke oke, aku cerita. Tapi tentang bapak aja ya."

"Hih, masih nawar pulak. Kezel akutu!"

"Jadi bapak itu waktu kecilnya dulu tinggal di sini, Ki. Kalo kamu pengen tau rumahnya bapak dulu di sebelah mana, ya di tempat yang sekarang jadi masjid itulah rumahnya."

"Hah? M-maksudnya?"

"Jadi dulu situ tuh rumahnya kakungku. Ada langgar (surau) kecil di pojokannya. Warga sekitar kalo solat jamaah di sana. Terus pas bapak kalo nggak salah umuran kelas 5 SD kakung buyutku dari uti meninggal. Kaya yang kuceritain waktu kemarin itu. Nah karena kakungku juga anak tunggal dan udah nggak punya keluarga inti di sini, terus mutusin pindah Pekalongan nemenin uti buyut, dan rumah sama tanahnya diwakafin buat bikin masjid. Gitu ceritanya."

"J-jadi masjid y-yang Mas tempatin itu p-punya keluarga Mas?"

"Ya bukanlah, itu masjid punya Allah, yang pakai warga. Keluargaku udah nggak punya hak apa-apa."

"Ya tapi yang bangun masjid keluarganya Mas kan berarti?"

"Ya sebagian. Itu dulu rumah joglo kayu, Ki. Rumahnya dijual, hasil penjualannya buat bantu bangun masjid. Sisa bangunan lama diratain gitu."

"Apa karena ini ya Pak Sukri mendadak ngejar Mas Anas lagi?! Cowok matre dong berarti. Eh, kok malah jadi suudzon dan nyinyir gini. Astaghfirullah."

"Udah ah, Ki. Nggak usah nanya-nanya lagi. Pokoknya aku janji, setelah kita nikah kamu boleh tanya apaaa aja. Sekarang ini kamu nggak usah mikir yang macem-macem. Yang kamu nggak pantes sama aku lah, yang anaknya Pak Sukri begini, yang keluargaku ternyata begitu. Insya Allah semua itu nggak ngaruh buat aku, Ki. Aku tetep maunya kamu yang jadi istriku. Aku yakin itu, karena aku nggak memutuskan sendiri."

"Terus Mas memutuskan sama siapa memangnya?"

"Sama Yang Maha Mengetahui."

"Ah, Mas Anas selalu berhasil bikin aku meleleh gini dengan rendah hatinya, dengan keapaadaannya, dengan kedekatannya dengan Sang Maha."

"Bismillah. Aku yakinkan diriku ya Rabb, lillahita'ala."

***

Part kali ini rada panjang. Maaf ya kalo kalian jadi bosan. Hehe...

Terima kasih sudah baca yaaa.  Jangan lupa vote dan komennya.  Trus kalo belum follow, jangan lupa juga follownya. Hihihi...

Baiklah, sampai jumpa di part berikutnya.

❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro