15. Pertemuan Dua Keluarga
Ahad kali ini beda dengan ahad yang lalu-lalu. Kalau biasanya aku mengisi Ahad dengan rebahan dan guling-guling gak jelas, kali ini sejak pagi aku sudah berkutat di dapur bersama ibu, mempersiapkan hidangan spesial untuk menyambut keluarga calon besan ibu. Ehem, iya, keluarga Mas Anas yang akan datang untuk... melamarku.
Jam sembilan kurang sedikit, aku baru saja selesai mandi. Kukenakan gamis kombinasi batik yang sederhana, kerudung lebar cokelat muda terulur menutupi bagian dada. Bros kupu-kupu bernuansa coklat tua mempermanis penampilan yang terpantul di cermin. Aku tersenyum sendiri.
Aku merasa sedikit berbeda. Mungkin karena wajahku yang tak sepolos biasanya. Mbak Nina yang memaksa untuk memolesku agar tampil agak beda, 'minimal enggak pucat' begitu katanya.
Ting. Gawaiku berbunyi, sebuah pesan dari Mas Anas.
[Ki, keluargaku sudah di masjid. Insya Allah jam 10 tepat kami ke sana. Sdh siap kah? Kl blm kabari ya, biar kami menyesuaikan]
[Sebentar lg siap, Mas. Insya Allah sesuai rencana semula]
[Btw, Mas beneran udah yakin mau ngelamar Ki? Ki takut Mas nanti nyesel. Ki kan orangnya cm ky begini]
[Aku lbh nyesel kl gak bs liat kamu ngambek sm aku lagi, Ki *emoji tertawa]
[Jelek!!!]
Aku kembali senyum-senyum gak jelas membaca pesan dari Mas Anas. Kutengok ke luar jendela, dua Avanza hitam terparkir rapi di halaman masjid. Mungkin itu keluarga Mas Anas.
"Assalamualaikum."
Tepat pukul sepuluh, suara salam terdengar dari teras. Beberapa orang tampak berdiri di depan pintu yang sejak tadi sudah terbuka. Semua mengenakan batik yang seragam, meski dengan model berbeda-beda.
"Waalaikumussalam," jawab kami dari dalam. Mas Harits dan ibu menyambut terlebih dahulu. Aku, Mbak Nina, dan Hanafi di belakang.
Kami semua telah duduk dengan khidmat, siap mengikuti acara yang akan melibatkan kami semua. Kusempatkan mencuri pandang pada Mas Anas, dia melempar senyum padaku.
"Duh, ketauan deh curi-curi pandang."
Dua keluarga berbasa-basi sejenak, menanyakan kabar, berangkat jam berapa, dan sebagainya. Setelah dirasa cukup, salah satu pria yang terlihat paling sepuh dan berwibawa mulai menuju pada inti acara.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahi robbil 'alamin, suatu kehormatan bagi kami bisa bersilaturahim dengan keluarga ibu Wahid. Sebelumnya, kami mohon maaf jika rombongan yang kami bawa terlalu banyak. Ini salahnya Anas juga, dia cerita kalau Bu Wahid dan putrinya masakannya enak, jadi selain mau kenalan, kami juga sekalian mau ikut mencicipi masakan Bu Wahid dan putrinya," sambutan bapak Mas Anas tak urung membuat kami semua tertawa.
"Ebuset, bapaknya Mas Anas lucu amat sik."
"Sebelum kami memperkenalkan anggota rombongan yang banyak ini, saya rasa lebih baik kita langsung menuju acara inti dulu saja. Karena saya, dan kita semua pasti tau, ada dua orang diantara kita yang paling deg-degan menunggu acara inti. Jadi kita dahulukan saja supaya acara yang lain bisa berlangsung lebih santai. Yang deg-degan juga sudah agak lega.
"Eh, atau mungkin malah makin deg-degan ya? Soalnya tadi Anas sudah bisikin saya, katanya 'Pak, tolong nanti disampaikan, kalau bisa akad dilaksanakan secepatnya', begitu. Bener yo, Nas?" Lagi-lagi kami semua tertawa. Cuma Mas Anas yang wajahnya berubah memerah.
"Ya Allah, dia bisa kemalu-maluan juga ternyata. Hihihi, lucunyaaa. Mas Anas jadi beda. Aih, aku makin jatuh cinta deh."
"Jadi begini Bu Wahid, saya Abdul Aziz mewakili putra saya, Ahmad Nashiruddin atau Anas, pada kesempatan yang baik ini bermaksud untuk menyampaikan pinangan atau lamaran dari putra saya kepada putri ibu yaitu Mbak Syarifa Tazkiya atau Mbak Azki."
"Hah, jadi nama aslinya Ahmad Nashiruddin?! Malah baru tau aku tuh."
"Seperti harapan Anas, kami selaku keluarga yang selama ini selalu mendukung dan mendampinginya, tentunya mempunyai harapan yang sama dengan Anas, yaitu keluarga Bu Wahid, khususnya Mbak Azki, berkenan untuk menerima pinangan dari Anas."
"Demikian kami sampaikan maksud kedatangan kami. Jika ada yang kurang berkenan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Pak Abdul Aziz mengakhiri bicaranya.
Mas Harits berdehem, bersiap untuk mewakili ibu menerima lamaran dari keluarga Mas Anas.
"Alhamdulillahi robbil 'alamin. Saya Syarif Al Harits, mewakili ibu dan keluarga Syarifuddin Wahid, merasa sangat bahagia dengan kedatangan Bapak Abdul Aziz sekeluarga. Dan sungguh sebuah penghargaan bagi kami, ketika Dik Anas yang kami kenal baik, alim, sholeh dan pejuang ummat, meminta adik saya, Syarifa Tazkiya atau Dik Azki untuk menjadi pendamping hidupnya. Makin merasa terhormat lagi, ketika keluarga Dik Anas berkenan untuk datang dan menegaskan kembali maksud dari Dik Anas kepada adik saya.
"Meskipun kami, insya Allah, sudah mengetahui jawaban dari Dik Azki, tetapi kami tetap merasa perlu untuk sekali lagi menanyakan padanya tentang jawabannya atas pinangan dari Dik Anas."
"Hadeh, Mas Harits apaan sih, bikin grogi aja. Udah tau juga adiknya model begini, pake ditanya di depan orang banyak. Kan malu!"
"Adikku, Syarifa Tazkiya, ijinkan kami semua yang berada di sini untuk mengetahui bagaimana jawabanmu atas pinangan dari Dik Anas? Apakah engkau bersedia untuk menjadi istrinya?" kata Mas Anas padaku.
"Ya salam. Pake sok resmi segala gini sih Mas Harits nih. Aku harus jawab gimana dong? Masa IYA aja? Tapi nggak harus pake kata-kata muter-muter segala kan? Aku mana bisa. Duh, masalah menakutkan!"
"Eh, emm, s-saya, emm, i-i--iya," jawabku lirih. Sangat lirih. Hanya anggukan kepala yang membuat mereka tahu aku bersedia. Lalu seruan hamdallah terdengar dari tiap-tiap yang ada di ruang tamu rumah ini.
"Alhamdulillah. Kami sekeluarga lega dan bahagia mendengarnya. Ini sesuai dengan harapan yang kami bawa dari rumah, dan untuk ke depannya. Emm, namun kami juga mohon maaf kembali. Sekiranya boleh dan berkenan, kami mohon izin untuk tahu, apa sebenarnya yang membuat Mbak Azki yakin dan bersedia menerima Anas. Bukan apa-apa nggih, tapi kita sama-sama tahu kalau anak saya Anas cuma seorang... marbot.
"Sekali lagi mohon maaf nggih, Bu Wahid, Nak Harits. Sekali lagi bukan apa-apa, kami hanya salut dan bersyukur, karena ada yang mau menerima Anas dengan tulus, tanpa melihat latar belakang atau pekerjaannya."
"Allahu akbar. Pertanyaan macam mana pula ini?!"
"Betul, Pak. Ndak apa-apa. Insya Allah saya mewakili Dik Azki dengan senang hati akan menjawabnya. Jujur saja, kami sekeluarga juga cukup terkejut dengan jawaban Dik Azki ketika kami tanya tentang hal yang sama."
"Waduh, Mas Harits mau nyeritain jawabanku yang mana nih? Ya Allah, acara lamaran tuh ternyata gak cuma bikin deg-degan karena happy ya, tapi juga karena hal-hal kaya gini. Duh Gusti."
"Mohon maaf, Bapak Abdul Aziz dan keluarga. Sungguh kami sama sekali tidak memandang sebelah mata pada pekerjaan Dik Anas sekarang ini, karena ketika saya banyak ngobrol dan diskusi dengannya saya merasa meskipun seorang marbot, Dik Anas ini bukan seperti anak muda kebanyakan.
"Namun kami tetap meminta pendapat Dik Azki tentang bagaimana dengan pekerjaan Dik Anas. Dan Dik Azki menyampaikan bahwa baginya menikah bukan hanya tentang penghasilan atau prestise pekerjaan yang jadi pertimbangan utama. Tetapi kesholehan dan ketaqwaan yang nantinya diharapkan membawa ketenangan dan keberkahan dalam berkeluarga. Dik Azki sendiri menilai Dik Anas sebagai orang yang memiliki kesholehan dan ketaqwaan tersebut, ditambah dengan ilmu agama yang mumpuni.
"Hanya saja ada dua hal yang diminta Dik Azki. Saya rasa ini perlu juga kami sampaikan di sini karena akan berkaitan dengan dua keluarga nggih. Yang pertama, Dik Azki minta kami untuk tetap membiayai kuliahnya sampai selesai, dengan pertimbangan tidak ingin merepotkan Dik Anas di biaya kuliah Dik Azki.
"Kemudian yang kedua, dia minta untuk diijinkan tinggal sama ibu dulu, paling lama sampai kuliahnya selesai. Karena ingin belajar masak lebih banyak lagi, supaya punya skill khusus seandainya nanti dibutuhkan. Ya kalaupun tidak, minimal bisa dipakai untuk nyenengkan suami dan anak-anaknya nggih." Mas Harits tersenyum.
Aku menahan napas sepanjang Mas Harits bicara. Khawatir keluarga Mas Anas berubah pikiran. Dengan takut-takut aku melirik sekeliling, mataku berhenti pada ibu Mas Anas. Beliau menggigit bibirnya yang bergetar, matanya berkaca-kaca, tangan kirinya menggenggam erat tangan Mas Anas.
"Demikian, Pak Abdul Aziz dan keluarga. Sekali lagi, kami sendiri jujur saja cukup terkejut dengan pemikiran Dik Azki, karena selama ini Dik Azki itu bagi kami masih kekanak-kanakan. Maklum ya, Pak, Bu, anak bungsu dan jarang keluar rumah, anaknya polos dan lugu. Kalau nanti sudah jadi bagian dari keluarga Bapak, tolong dijewer saja kalau kambuh kekanakannya." Mas Harits menutup penjelasannya dengan canda. Suasana yang semula haru berganti menjadi tawa. Tetapi tidak dengan ibu Mas Anas, beliau malah sibuk menghapus air mata.
"Ya Allah, kenapa ibunya Mas Anas malah nangis? Apa jangan-jangan aku nggak memenuhi syarat jadi mantunya ya? Mas Harits sih, pake bilang segala kalo aku kekanakan. Kan menjatuhkan nama baikku. Gimana kalo ibunya nggak jadi nerima aku sebagai menantu. Hiks, semoga nggak demikian ya Allah."
***
Haduh, baru separuh part udah panjang gini. Maafkan daku yak, kalo udah ngetik rasanya semua pengen dituangin. Emangnya air?!
Maafkan juga ya kalo bagian lamarannya kurang pas, udah lupa gimana lamaran, udah belasan taun lalu soalnya. Hahaha..
Satu fakta sudah terbuka nih. Jadi ternyata begitu ya pemikiran Azki sehingga dia mau nerima Anas. Yaaa lumayan lah ya buat anak polos macam dia.
Nah, fakta tentang Anas belum terungkap nih. Baru nama aslinya aja. Siapa hayo nama aslinya Anas tadiii?
Trus kenapa yak ibunya Anas malah nangis. Eh, apa jangan-jangan si Anas CEO yang menyamar?
Eaaa... Terekdungcess.
Oke deh,
Sampai jumpa di part selanjutnya.
❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro