Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Pamit (1)

Malam ini Mas Anas terlihat berbeda. Entah apa, tapi sikapnya ke aku nggak seperti biasanya yang ramah dan masih mau tertawa meski aku cuekin. Apa mungkin dia membalasku yang masih menjaga jarak sama dia? Atau mungkin sudah jengah setiap hari meminta maaf padaku tapi aku tetap cuek saja? Atau mungkin..., dia sudah nggak peduli lagi sama aku?!

"Ya Allah, gimana kalo yang terjadi adalah kemungkinan yang ketiga? Aku nggak siap."

Emm, sejujurnya aku sudah menikmati kedekatan kami selama ini. Kedekatan yang nggak bisa dibilang dekat juga, karena ya cuma begitu-begitu saja. Tapi tetap saja aku merasa dekat, karena dengannya aku bisa marah, ngambek dan ngomong asal, walaupun seringnya cuma lewat media.

Ah, sungguh aku merasa sedih. Menyesal? Pasti lah! Kenapa juga sok jual mahal nggak mau memaafkan, padahal tinggal bilang iya apa susahnya. Padahal lagi, dia nggak bosan-bosannya minta maaf sekalipun aku nggak menggubrisnya. Tapi aku justru bergeming, karena sesungguhnya aku menikmati detik-detik dia meminta maaf ke aku. Rasanya gimana gitu, seperti ada seseorang yang begitu mengharapkan aku. Hedeh! Maklum, seumur hidup jomlo, nggak pernah ada yang beginiin. Hehe...

"Azki!" Kami baru selesai mengajar ketika suara Mas Anas terdengar menyebut namaku.

"Eh, i-iya gimana, Mas?" jawabku sopan.

"Nanti selesai beresin masjid, aku ke rumah ya."

"Oh, emm mau ada apa ya, Mas? Nyari Mas Harits?"

"Tumben, biasanya kalo janjian sama Mas Harits nggak pernah ngabar-ngabarin aku."

"Mau pamitan."

"Ehk, p-pa-pa--mit?" Serasa ada yang mencekik leherku.

"Iya, aku mau pamit sama Bu Wahid dan keluarga."

"Pamit? Berarti dia mau pergi dong? Astaghfirullah, apa semua ini gara-gara aku? Memangnya dia mau kemana? Berarti aku nggak akan bisa lihat Mas Anas lagi."

Sekuat tenaga kutahan hati yang sudah gerimis sedari mendengar kalimatnya tadi.

"M-memangnya Mas m-mau k-ke mana?" suaraku terdengar sangat lirih. Aku tak peduli kalau dia tahu aku sedih. Nyatanya aku memang sedih.

Mas Anas cuma mengulas senyum seraya menatapku. Aku menunduk tergesa, nggak pernah kuat menatap matanya.

"Ya Allah, sebentar lagi aku nggak akan bisa melihat mata itu lagi. Mata yang meneduhkan, meski seringkali pula menyebalkan."

"Emm, ini k-karena s-saya ya? M-maaf ya, Mas. Maafin saya." Kutelan saliva, sembari menahan genangan di mata.

"Emm, salah satunya ya." Dia masih tersenyum, aku menunduk gelisah. Mataku sudah basah.

"Astaghfirullah. Aku nggak salah dengar kan ya? Jadi benar ini karena aku juga."

"Oh, i-iya. K-kalo begitu m-maaf." Aku membalikkan badan dan melangkah pergi. Tak sanggup lebih lama lagi di sini.

"Mau ke mana, Ki?" Tak kujawab pertanyaannya.

Beruntung, mukena sudah di tangan, jadi aku bisa langsung pulang. Biarlah aku salat isya di rumah saja. Aku harus siap-siap, agar nanti waktu dia pamitan aku sudah jauh lebih kuat.

Di rumah aku segera melaksanakan salat. Dan sebelum yang lain pulang, aku diam-diam menyiapkan bahan-bahan untuk membuatkan minuman kesukaan Mas Anas. Bisa jadi ini kesempatanku yang terakhir kali.

"Assalamualaikum." Terdengar salam bersama pintu yang dibuka dari luar.

"Azki, bikinin susu jahe sama siapin jajanan ya. Nak Anas mau ke sini, katanya mau pamitan," perintah ibu padaku. Alhamdulillah, sesuai rencanaku.

"Iya, Bu." Hanya itu yang terucap dariku. Sebenarnya ingin bertanya lebih, tapi apa yang ada di hati dan pikiranku tak bisa keluar dalam bentuk kata.

20.12, seseorang mengucapkan salam. Suara itu, suara yang selalu menggetarkan hatiku, yang sebentar lagi nggak akan bisa kudengar lagi.

"Ya Allah, begini kah rasanya mau ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Eya walopun cuma kusimpen sendiri aja. Tapi kok tetep aja berat ya. Tau gini kan aku nggak usah jatuh cinta segala. Ighfirli ya Rabb."

"Tante, disuruh keluar, ada Mas Anas." Hanafi memanggilku. Nggak pakai lama, aku segera beranjak menuju ke ruang tamu.

"Sini, Ki, duduk dulu," tawar Mas Harits.

"Eng-enggak usah, Mas. Ki mau bikin minum dulu aja."

"Oh, ya udah nggak pa-pa, Mas. Kita tunggu saja sampe Mbak Azki selesai bikin minumnya," ujar Mas Anas, lagi-lagi melempar senyum ke arahku.

"Insya Allah Azki cuma sebentar kok, tinggal dikit aja, kan udah disiapin dari tadi," terang Ibu.

Sedetik kemudian, mereka pun terlibat percakapan ringan, sementara aku menyiapkan minuman dengan hati tak karuan.

Tak sampai lima menit, aku keluar dengan nampan di tangan yang gemetaran. Biasanya Mas Anas menahan tawa melihatku begini, tapi tidak kali ini. Kok aku malah sedih ya? Rasanya aku lebih rela ditertawakan olehnya daripada cuma dilihatin saja.

"Alhamdulillah. Terima kasih susu jahenya ya, Mbak Azki. Ini terenak di dunia. Kalo udah nggak di sini, udah pasti ini jadi salah satu yang saya kangenin. Tapi saya berharap masih bisa merasakannya setiap kali saya ingin." pujinya setelah mengosongkan separuh isi cangkir.

"Duh, sempet-sempetnya ngegombal. Nggak tau aja hatiku udah sekusut serbet yang biasa dipake ngelap ovennya ibu."

"Ehm, jadi begini Bu Wahid, Mas Harits, Mbak Nina...,"

"Lah, namaku nggak disebut cobaaa?!"

"Jadi ceritanya beberapa waktu lalu saya mendaftarkan diri di satu institusi, Alhamdulillah saya diterima. Dan karena tempatnya bukan di sekitar sini, maka saya terpaksa harus meninggalkan kehidupan saya di sini. Sebenarnya saya sudah merasa cocok tinggal di sini. Saya senang, karena semua warga dan terutama jamaah masjid baik sama saya. Saya sudah merasa seperti di rumah sendiri." Mas Anas tertawa kecil, begitu juga Ibu, Mas Harits dan Mbak Nina. Tapi tidak denganku, yang justru berkali menahan napas, juga menahan mata agar tetap bisa diajak kompromi

"Mungkin tinggal satu-dua bulan lagi saya di sini. Tapi saya belum menyampaikan juga ke pengurus masjid dan yang lainnya, Bu. Keluarga Bu Wahid yang pertama saya pamitin."

"Oh ya? Kenapa begitu?" tanya ibu.

"Emm, sebenarnya saya ke sini duluan karena saya bukan cuma mau pamitan, Bu. Ada tujuan lain yang ingin saya sampaikan."

"Oh ya? Apa itu, Nak Anas?" tanya ibu lagi, dahinya berkerut seolah ingin segera tahu.

Mas Anas mengambil napas, wajahnya berubah sedikit tegang, seperti hendak mengatakan sesuatu yang cukup serius.

"Ehm, saya mohon maaf sebelumnya jika apa yang akan saya sampaikan mungkin tidak berkenan di hati Bu Wahid dan keluarga. Saya, emm, jadi saya datang ke mari menemui Bu Wahid dan keluarga sebetulnya bermaksud untuk... melamar Mbak Azki, Bu, Mas, Mbak."

"Allahu akbar. Apa aku nggak salah dengar? Ini orang habis kesambet apa deh, becandanya keterlaluan banget!"

"Mas, kalo becanda jangan keterlaluan deh! Nggak baik mempermainkan hati orang!" sahutku spontan. Aku bahkan refleks berdiri, walau dengan badan gemetaran.

Sungguh, aku merasa tidak baik-baik saja. Antara berharap ini nyata, tapi juga mengantisipasi kalau ternyata Mas Anas cuma bercanda. Walaupun aku tahu, Mas Anas ini bukan model-model Baim Wong yang hobinya nge-prank. Lha siapa Baim Wong aja dia belum tentu kenal. Eh!

"Duh, trus aku kudu gimana?!"

***

Dhuaaarrrrr,
Kok malah tiba-tiba ngelamar sih. Apa jangan-jangan Anas cuma becanda yak? Nge-prank? Balas dendam sama Azki yang sok jual mahal.

Makanya, Ki, jadi orang tuh jangan sok-sokan. Mau ditinggal pergi panik, dilamar malah mere-mere. Gimana cobaaa?

Btw, sebenernya ini cuma mau satu part aja, ternyata kok mayan panjang, jadi dipecah aja deh jadi dua part. Mengantisipasi kejenuhan yang baca. Hehe..

Okey ,
Sampai jumpa di part selanjutnya.
Mau besok apa dua hari lagi nih updatenya? Haha, kek ada yg nunggu aja mbak'e

❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro