Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Jebakan Betmen

Sejak Mas Harits pulang, ia dan Mas Anas jadi sering ngobrol. Di masjid, mereka berdua sering terlihat berdiskusi tentang Islam dengan serius. Kadang bertiga dengan Hanafi, yang memandang kedua pria dewasa itu dengan binar-binar keingintahuan sekaligus kekaguman.

Beberapa kali juga Mas Anas main ke rumah, dan kalau sudah begitu mereka bisa lupa waktu. Aku nggak pernah nimbrung sih, cuma kadang suka nguping kalau pas Mas Anas main ke rumah, mereka bicara tentang apa saja. Kalo istilah ibu ipoleksosbudhankam lah pokoknya. Kecuali gosip artis, paling banter ya ngegosipin aku.

Malam ini pun demikian. Mereka berdua asyik diskusi sambil main ular tangga. Serius! Sesepele itu sambilan mereka untuk topik yang terkadang berat di telinga. Telingaku tentu saja. Mungkin obrolan orang pintar memang terdengar berat untuk orang non pintar macam aku ini.

"Ki, udah tidur?" Mas Harits mengetuk pintu kamarku. Kupakai jilbab seadanya sebelum wajahku nongol di balik pintu.

"Belum. Mau disuruh apa?"

"Hehe, masih ada jajan apa ya, Ki?"

"Sebentar, Ki liat dulu." Aku keluar, melewati Mas Anas tanpa sedikit pun menoleh.

Tak berapa lama, aku muncul dari dapur membawa sepiring pisang dan singkong goreng panas bertabur keju plus pasta cokelat. Juga dua cangkir besar cokelat panas. Menaruhnya di meja dan bersiap pergi.

"Makasih ya, Ki. Maaf ngerepotin kamu."

"Nggak pa-pa kali, Mas, biasanya juga gimana. Basa-basi segala."

"Eh dasar bocah! Sini, Ki ikut ngobrol." Mas Harits menahanku. Matanya menatapku lembut, membuatku tak kuasa menolak permintaannya.

"Ki, kamu tau kan, sesama muslim nggak boleh diam-diaman lebih dari tiga hari?"

"Itu kalo sejenis, Mas. Kalo kami berlawanan jenis, malah nggak pa-pa kalo diem-dieman. Kalo ngobrol berdua-duaan baru nggak boleh." Sekuat tenaga kutahan diriku agar tak sewot.

"Kamu ya, selalu aja punya jawaban kalo dikasih tau." Diacaknya rambutku yang tertutup jilbab biru. Mas Anas senyum-senyum melihat kami.

"Bukan begitu. Kan memang nggak ada yang mau diomongin sama dia, jadi ya udah diem aja."

"Dia? Dia siapa?" Aku tak menjawab, hanya pipiku terasa menghangat. Aku menunduk. Malu.

"Mbak Azki, tolong maafin saya ya." Mas Anas turut bicara.

"Huh, sok santun amat. Biasanya juga Ka Ki Ka Ki!"

"Hemm."

"Dek, yang sopan to." Mas Harits mengingatkan.

"Nggak pa-pa, Mas. Memang saya pantes dicuekin sama Mbak Azki. Saya yang salah kok." Mata kami bersirobok, cepat-cepat kualihkan pandang ke arah lain.

"Duh gawat, kenapa pake deg-degan segala. Kan lagi benci sama dia."

"Syukur deh kalo nyadar," gerutuku.

"Azki, jangan gitu lah." Mas Harits mengingatkanku lagi.

"Ya udah deh, Mas. Ki mau nyelesein tugas," pamitku, dan segera masuk kamar tanpa menunggu kata setuju.

Tak lama kemudian Mas Anas pamit pulang. Tanpa diminta, aku keluar dari kamar. Membawa piranti makanan dan minuman dari ruang tamu ke dapur, mencucinya dan membersihkan dapur sebelum tidur.

"Belum tidur, Ki?" Usai mengunci pintu, Mas Harits menyusulku ke dapur.

"Udah. Ini nyuci piringnya ngelindur kok," sahutku asal. mas Harits tertawa. Lagian, udah tau pakai nanya.

"Eh Ki, menurutmu Anas tu orangnya gimana?" Menarik salah satu kursi, Mas Harits duduk di dekat synk tempatku mencuci piring.

"Emm, dia orangnya nyebelin. Malesin. Ngeselin," jawabku tanpa ragu.

"Masa sih? Malah menurutku dia tuh pintar. Wawasannya luas. Baik dan sopan juga. Teman ngobrol yang asik lah."

"Ya itu kan sama Mas Harits, mungkin karena sama-sama cowok. Kalo Ki sama dia jarang ngobrol. Paling urusan anak-anak ngaji aja. Selebihnya hampir nggak pernah."

"Tapi kayanya kalian akrab deh."

"Akrab dari Hongkong?!"

"Nah kamu aja udah berani ngambek segala sama dia. Biasanya kamu kan cuma ngambek sama orang-orang dekat aja."

"Eh, emm itu kan, emm anu itu b-bukan ngambek yang kaya gitu, bukan yang kaya sama Mas atau sama ibu gitu. Bukan."

"Tenang, Dek. Nggak usah gugup."

"Duh, sial. Pake gugup segala. Kan mencurigakan."

"Eng-enggak, siapa juga yang gugup." Aku mulai sewot.

"Trus ngambek yang kaya apa berarti?"

Ya salam, pertanyaan macam apa ini? Adakah pendapat ahli psikologi yang membagi ngambek menjadi beberapa kategori? Biar kupake buat jawab pertanyaan kakakku ini. Hadeh!

"Eh, emm s-sebenernya aku tuh nggak ngambek, Mas. Tapi marah. Aku tuh marah sama dia. Mas udah denger sendiri kan gimana ceritanya," rajukku. Tetap sambil melakukan aktivitas beres-beres dapur.

"Kenapa marah? Kan memang sudah seharusnya demikian, Ki. Dia laki-laki. Hidupnya di masjid. Sudah jadi tugasnya untuk melayani ummat yang membutuhkan bantuannya. Meskipun bukan masuk lingkup pekerjaannya, tapi itu bagian dari hablumminannas."

Hidih, emang aku apanya Mas Anas sampe harus diceramahin bab beginian segala cuma gara-gara nyuekin dia lama. Eh, nggak lama juga sih, baru masuk hari ketujuh. Itu pun nggak sepenuhnya diam-diaman, sesekali kami masih bicara kok kalau ngajar.

"Ya tapi kan dia yang minta Ki untuk ngajar dulu, nanti diantar nyusul ke bandara. Eh malah baru ngajar sebentar ditinggal, suruh lanjutin sendiri. Yang lebih nyebelin, akhirnya kan Ki harus ke bandara sendiri. Mana baru sekali itu naik ojek sendiri, malam-malam pula. Ki takut banget." Kerjaan kelar, aku duduk di salah satu kursi, menumpukan tangan di meja makan. Mas Harits menggeser kursinya mendekatiku.

"Yang udah ya udah nggak usah diperpanjang lagi. Banyak bersyukur, karena pada akhirnya semua toh aman-aman saja. Kamu bisa nyelesein ngajar dengan baik, kamu selamat sampai bandara, kamu nggak telat ketemu sama Mas. Itu kan yang penting? Malah Anas bela-belain nyusul ke bandara cuma demi menebus rasa bersalahnya sama kamu."

"Ki juga nggak nyuruh dia nyusul ke sana kok. Ngapain juga. Kan dia lagi sibuk ngurusin orang lain." Aku mulai sewot.

"Ngurusin siapa?"

"Ya ngurusin mbaknya yang minta tolong ke dia lah. Masa ngurusin aku. Yang bener aja."

"Emm, jadi bener ya kalo yang bikin kamu segitu marahnya sama Anas tuh karena kamu cemburu?"

"Astaga, fitnah macam apalagi sih ini?!"

"Apaan sih Mas Harits nih? Gak jelas deh. Udah ah, Ki mau tidur aja."

"Enggak! Kamu belum ngantuk, Dek." Aku terpaksa tetap stay di tempat semula.

"Kamu tau nggak, Ki, kamu itu udah dewasa. Udah waktunya berpikir lebih ke depan. Kamu kan nantinya nggak akan selamanya begini, ikut ibu terus. Apa-apa ibu. Dikit-dikit ngambek. Semaunya sendiri. Nggak gitu kan, Ki. Kamu perempuan, calon istri, calon ibu."

"Ya tapi aku kan cuma ngambek sama ibu, sama Mas, Mbak Nina. Udah."

"Sama Anas?"

"Apa sih, dia lagi!"

"Ki, Mas juga pernah muda. Pernah jatuh cinta. Pernah diam-diam menyimpan kekaguman pada lawan jenis. Itu normal. Cuma gimana kita mengelola perasaan, itu yang setiap orang berbeda-beda menyikapinya.

"Mas tau kok, adeknya Mas udah dewasa. Udah mulai kenal jatuh cinta. Dan kamu juga pintar, jatuh cintanya ke orang yang memang istimewa."

"Siapa juga yang jatuh cinta sama Mas Anas?! Mas nih dapet info dari mana sih? Gak ada yang valid!"

"Dapet info dari kamu sendiri. Gesturemu, ngambekmu, matamu, semua memberi tau. Ditambah kamu sendiri yang nyebut nama Anas barusan. Kan mas tadi cuma bilang kalo kamu pintar, karena jatuh cintanya ke orang yang istimewa. Tapi yang nyebut nama Anas kan kamu sendiri. Atau mungkin memang Anas itu istimewa di hati kamu?"

"Astaghfirullah, kok jadi aku sendiri yang kena."

"Ih, apa sih." Aku cemberut.

"Mas juga udah dengar tentang Anas kok, Ki. Dari ibu, Nina, Hanafi, juga Pak Dar. Dari mereka Mas tau kalo Anas itu bukan sekedar marbot. Dia boleh dibilang pejuang ummat. Katanya sejak dia di sini, masjid jadi makin rame. Dia yang menginisiasi belajar mengaji buat jamaah masjid, mengadakan majelis ilmu untuk bapak-ibu sepuh, menghidupkan remaja masjid meski bukan dia yang pegang langsung karena dia lebih fokus ke anak yang lebih kecil. Belum setahun dia di sini, masjid sudah jauh lebih hidup dan makmur.

"Salutnya lagi, dia nggak pernah menuntut banyak, cuma modal ikhlas aja. Berharap bisa memberi manfaat buat ummat. Mungkin Anas memang cuma seorang marbot, tapi kemampuannya jauh melebihi status pekerjaannya itu, Ki. Dan dia memberi jauh lebih banyak dari apa yang menjadi kewajibannya."

Aku mengangguk-angguk. Sungguh, aku juga baru tahu. Karena selama ini aku nggak pernah nanya yang macam-macam sama Mas Anas. Juga nggak pernah nyari tahu tentang Mas Anas ke orang lain. Gengsi dong!

"Emm, Ki. Kalo jadi istrinya Anas, kamu mau nggak?"

Jedhuaaarrrr!
Sungguh, kalimat terakhir Mas Harits membuat aku gemetaran. Berusaha menetralkan hati dan mencari jawaban yang nggak blunder. Tentu saja aku jarus tetap menjaga reputasi.

"Hahaha, impossible!" Akhirnya kalimat itulah yang keluar, ditambah tawa yang mungkin terdengar jelas dipaksakan. Sumbang.

"Apanya yang impossible?"

"Ya yang Mas bilang. Aku? Nikah sama dia? Nunggu Mbak Anggun jadi duta sampo lain dulu kalik." Aku tertawa lagi. Berharap tawaku tak terdengar seaneh tadi.

"Aku serius, Azki! Kok malah becanda sih."

"Becanda nenekmu! Hatiku tuh udah berantakan sejak tadi tau nggak sih, Mas?!"

"Ya habis, pertanyaannya enggak banget!" Masih mencoba menghibur diri. Padahal sejujurnya aku cuma takut sakit hati. Dia kan sudah punya calon istri, mimpi aja kalau sampai nikahnya sama Azki. Iya, aku! Impossible kan?!

"Nggak banget gimana? Kalian hampir tiap hari ketemu, bukan nggak mungkin ada tumbuh rasa-rasa yang sama kan."

"Rasa apaan? Jeruk? Apel? Jambu? Emangnya buavita?!"

"Ki, jangan becanda terus dong. Mas tuh serius."

"Iya, aku ngerti banget. Mas mana pernah nggak serius? Tidur aja kalo perlu sambil mikir."

"Emm, Ki tau diri aja lah, Mas. Siapa Azki siapa dia. Ki nggak pernah tau banyak tentang dia, malah baru tau dari Mas barusan. Ki cuma tau dia marbot, ngajar ngaji, pintar, jago banget berkisah ke anak-anak, suaranya kalo adzan ato ngaji bagus, kadang ngisi tausiyah juga, jadi ustadz gitu.

"Udah. Ki cuma tau sebatas itu aja. Dan itu udah cukup buat Ki untuk tau diri, Mas. Nggak ngarep yang macem-macem dari dia."

"Oke. Pernyataanmu barusan sudah menjawab semuanya."

"Menjawab apa lagi sih?" Aku bingung.

"Menjawab kalau kamu memang menyimpan perasaan sama Anas. Cuma nggak berani berharap lebih."

"Eh lho kok, gimana sih maksudnya? Apa Mas Harits sebenernya cuma mancing-mancing aku aja? Dan aku kemakan umpannya? Haduh Gusti, salah lagi deh aku."

"Eh, aku itu anu, eng-enggak kok. Enggak begitu." Lagi-lagi aku terpatah-patah, kentara sekali kalau aku sedang berusaha membantah.

"Sebenernya apa sih Ki yang masih mengganjal di hatimu? Apa karena status pekerjaannya?"

"Eh, eng-enggak gitu, Mas. Ki cuma...," suaraku makin menghilang, ditelan bulir bening yang mengalir di pipi kiri kanan. Aku sendiri nggak tahu kenapa.

"Lho lah, kok aku malah nangis sih?! Nggak bener nih. Sudahlah hati nggak bisa diajak kompromi, mata malah menjatuhkan air tanpa permisi. Astaghfirullah, aku kenapa sih ini?! Kok jadi nggak jelas gini"

"Kok malah nangis sih, Dek. Nggak pa-pa, nggak perlu malu sama Mas. Nggak ada ibu, Nina, Han. Cerita aja. Mas sebagai pengganti bapak, kalo memang sudah waktunya kamu menikah, Mas juga yang bertanggungjawab mencarikan kamu pendamping hidup yang terbaik." Tangan Mas Harits membelai lembut kepalaku.

"Enggak, Mas. Bukan dia juga kali. Ki sama dia kan kaya langit dan bumi. Nggak selevel. Nggak pantes. Yang ada nanti Ki cuma malu-maluin aja. Lagian Ki juga belum lulus kuliah, Mas."

"Mbakmu nikah sama Mas dulu apa udah lulus kuliah?"

"Tapi Mbak Nina kan orangnya pinter, gaul, anak orang kaya, mas juga udah kerja waktu nikah sama Mbak Nina. Beda banget sama Ki." Kuhapus pipi yang sedikit basah.

"Apa ini tentang pekerjaan?"

"Eh, b-bukan gitu juga m-maksud Ki. Tapi kalo Ki nikah, trus masih kuliah, nanti siapa yang biayain kuliah Ki? Ki kan nggak mau ngerepotin Mas Anas, tapi tanggung jawab ibu sama Ki juga udah lepas."

"Oh, jadi udah yakin ya mau nikahnya sama Anas?"

"Eh, aduh, gimana sih? Apa aku salah ngomong lagi? Udahlah, cukup sudah! Aku nggak mau lagi kena jebakan betmen Mas Harits untuk yang kesekian kali!"

"Eh, lho kok gitu, eng-enggak g-gitu juga Mas. Ki..., aduh gimana sih?" Aku garuk-garuk kepala. Tapi ini asli gatal sih, mungkin karena pake sampo dari duta yang lain. Duta sheila On 7. Halah, lagi serius juga!!

"Okey. Berarti yang masih mengganjal buat kamu ada dua ya. Satu, kamu merasa nggak selevel sama Anas karena menurutmu dia pintar banget dan kamu enggak bisa mengimbangi. Dua, kamu masih ragu dengan status pekerjaan Anas yang 'cuma' seorang marbot dan guru ngaji.
Ada lagi?"

"Sumpah! Ini ngobrol sama kakak kandung tapi berasa lagi ngobrol sama dosen pembimbing. Seriusnya minta ampun. Mimpi apa deh punya kakak macam begini."

"Entahlah, Mas. Ki nggak ngerti," ujarku lirih.

"Mas, udahan dulu ya ngobrolnya, Ki pusing."

"Iya udah, tidur dulu sana. Maafin Mas ya kalo ngobrolnya jadi berat. Besok kita cari solusi bareng-bareng buat yang dua tadi."

"Solusi? Yang dua tadi? Yang dua ap-apanya ya, Mas?" Aku mengernyit nggak paham. Sungguh aku merasa ogeb tak terkira.

"Itu, yang masih mengganjal di hatimu tadi, tentang kamu dan Anas."

"Subhanallah, pingsan boleh nggak sih?"

🍂🍂🍂

Hai hai, ketemu lagi sama Azki-Anas yang nggak pernah jelas.

Say me ya kalo ceritanya udah mulai gaje, ngelantur dan ngebosenin, biar segera dikelarin. Hehe...

Sempetin juga mampir ke tulisan saya yg lain:
🍂 Kutunggu Kau di Dzulhulaifah
🍂 Pengantin Dodol

See you all,
❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro