Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Mas Harits Pulang

Malam ini Mas Harits akan kembali menginjakkan kaki di tanah air. Ya, Mas Harits, kakak semata wayangku sekaligus papanya Hanafi.

Kami sekeluarga berencana untuk menjemputnya di airport. Pesawat dijadwalkan landing pukul 20.20, dan kami sepakat untuk berangkat seusai salat maghrib.

Kuambil gawaiku, bermaksud meminta izin pada Mas Anas untuk tak mengajar malam ini.

[Assalamualaikum.
Mas, mhn maaf, nanti mlm sy ijin gak ngajar ya. Mau jemput papanya Hanafi. Syukron]

Berjam-jam pesanku tak juga berbalas bahkan hingga asar telah beranjak. Menjelang jam lima barulah balasan dari Mas Anas kuterima.

[Waalaikumussalam.
Maaf, Ki. Gmn kl kamu ngajar dulu? Insya Allah hbs ngajar aku anter nyusul ke bandara]

[Maaf, baru balas, td ada acara]

[Knp? Kan Mas bisa sendiri? Kmrn jg sy ngajar sendiri. Ini jg muridnya kan gak ada 1, Hanafi]

[Gpp, Ki. Kamu ngajar dl ya?]

[Enggak]

Tak ada balasan. Tapi lima menit kemudian,

"Assalamualaikum."

"Lah, kok kaya suara Mas Anas yak?!"

"Waalaikumussalam. Eh, nak Anas. Gimana? Monggo masuk dulu." Terdengar suara ibu. Aku tak keluar, hanya menguping dari balik pintu. Sekali lagi aku bersyukur, kamarku terletak berhadapan dengan ruang tamu.

"Kata Mbak Azki papanya Hanafi mau pulang ya, Bu?"

"Iya, betul. Nanti habis maghrib mau berangkat ke bandara. Azki sudah ijin kan?" suara ibu terdengar bangga dan bahagia.

"Betul, Bu. Sebetulnya saya ke sini juga karena itu. Kalo boleh saya mau minta ijin supaya Mbak Azki bisa ngajar dulu. Nanti sehabis ngajar insya Allah saya antar nyusul ke bandara."

"Dih apa sih maksudnya, rese banget maksa-maksa."

"Oh gitu ya. Ya kalo saya sih nggak apa-apa, gimana Azkinya aja. Soalnya dia nggak pernah keluar berdua sama anak laki-laki selain kakaknya. Apalagi malam-malam. Takutnya dia nggak nyaman." Ibu menjelaskan, lantas memanggilku.

"Ini lho Ki, nak Anas minta kamu ngajar dulu, nanti habis isya diantar ke bandara." Baru juga sampai di depan pintu, ibu sudah menyambutku dengan permintaan Mas Anas.

"Lho, tapi kan bukan mahr...,"

"Mbak Azki bisa kan ya?" sela Mas Anas sebelum aku selesai bicara. Dia memasang wajah memohon. Aku menghela napas.

"Dih, maunya apa sih?"

"Emm, ya udah. Tapi jangan boncengan naik motor ya, naik taksi online aja." Aku menyerah melihat mukanya yang memelas.

"Alhamdulillah. Terima kasih banyak ya, Ki. Eh, Mbak Azki." Ibu mengernyit, memandang kami bergantian. Aku pura-pura tak melihat. Mas Anas menahan tawa, lalu segera berpamitan.

"Marbot satu ini makin gak jelas deh!"

Segera kuketikkan pesan begitu aku masuk ke kamar.

[Apa sih maksudnya? Kmrn aku ngajar sendiri jg oke aja. Manja!]

[*emoji senyum* Maaf, Ki. Gak tau knp, tp feelingku mengatakan kamu hrs ngajar malam ini. Untung Bu Wahid ksh ijin. Alhamdulillah]

[Iya, tp sebenernya hatiku gak ksh ijin. Ini terpaksa!]

[Iya, maaf. Kuusahakan nggak telat smp bandara. Maaf ya]

Tak kujawab. Kezel!

***

Lepas maghrib aku hanya bisa memandang Innova hitam keluar dari carport rumah, sebelum melanjutkan kegiatanku mengajar anak-anak mengaji.

Baru berjalan sekira sepuluh menit, mendadak mbak lulusan Mesir tergopoh-gopoh dengan wajah panik dan mata berair. Dia menangis, menyela Mas Anas yang sedang mengajar ngaji. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak mendengar. Melihat mereka saja aku enggan.

"Ki, maaf banget ya. Pokoknya aku minta maaf banget. Pak Sukri kecelakaan." Mas Anas menghampiriku dan menyampaikan sebuah kabar.

"Innalillahi! Keadaannya gimana? Semoga gak parah ya."

"Kurang tau, Ki. Tapi sekarang di rumah sakit. Aku diminta tolong nganter ke sana soalnya istri dan anaknya pada panik, takut malah ada apa-apa di jalan. Aku nggak bisa nolak, Ki, kasian.

"Mungkin ini bagian dari feelingku sore tadi, minta agar kamu tetap ngajar. Titip anak-anak ya, Ki. Aku mohon pengertianmu. Tolong yang banyak maafnya buat aku, Ki. Kuusahain kalo udah beres langsung ke sini buat nganterin kamu ke bandara."

"Nggak usah," sahutku ketus.

"Hebat, feelingnya buat masjid dan anak-anak kuat. Eh, tapi bodo amat. Tetep aja aku yang jadi korban di sini."

"Yaelah hati, masih sempetnya ngelihat dia dari sudut pandang berbeda."

Mas Anas menunjukkan rasa bersalah yang sangat. Aku tahu itu bukan dibuat-buat. Aku pun tahu ini darurat. Walau demikian, tetap saja ada yang perih di hatiku, seperti disayat-sayat.

"Ki, maafin aku ya." Tak kugubris. Aku terlanjur sakit hati. Sudah dibela-belain nggak ikut ke airport bareng ibu, malah ditinggal pula sama orang yang tadi memohon-mohon aku untuk ngajar dulu, dan menjanjikan untuk mengantarku menyusul ke bandara. Huh!

Satu-satunya hal yang kusyukuri adalah anak-anak jadi tetap bisa mengaji hingga usai seperti biasanya. Dia yang feeling, aku yang executing. But it's okey, Alhamdulillah 'ala kulli hal.

Usai berjamaah salat isya, aku bergegas pulang. Mengorder ojek online sambil bersiap. Agak deg-degan juga sih karena ini pertama kalinya naik ojek online, sendirian, malam-malam pula.

Kusambar mini sling bag untuk menaruh HP dan dompet. Tak lupa kukenakan jaket. Pak ojek datang tepat saat aku selesai mengunci pintu rumah. Kami segera meluncur menuju bandara. Berharap bagasi Mas Harits keluar agak lama biar aku masih sempat menyambutnya saat keluar dari pintu kedatangan.

Keberuntungan masih berpihak padaku. Aku bahkan masih sempat menjelaskan kenapa datang sendirian. Juga makan chiffon cake pandan bikinan ibu sebelum Mas Harits keluar tepat di jam sembilan.

"PAPA!" teriak Hanafi nggak nyantai. Tapi aku salut, dia bisa menemukan papanya diantara sekian banyak manusia. Padahal sudah lebih tiga tahun mereka hanya berjumpa via suara, kaya RAN gitu lah! Eh, ya via video call juga sih. Dan foto.

Hanafi berlari, menyambut sosok yang sudah pasti dirindukannya. Kami semua menyusul, satu per satu memeluk Mas Harits dengan bahagia.

Tapi tunggu. Kenapa Mas Harits tersenyum ke arah belakang kami? Kami kan cuma bertiga.

Aku menoleh ke belakang, seseorang tersenyum ke arahku, lalu menyalami Mas Harits dan dengan sopan. Entah sudah sejak kapan dia berada di sana.

"Mas Anas!" teriak Hanafi melihat siapa yang bersalaman dengan papanya. Dia berlari ke arah Mas Anas. Aku melengos, memasang tampang sinis.

"Kamu pacaran ya, Ki?" bisik Mas Harits padaku.

"Ssstt, nanti kujelasin di rumah," bisik Mbak Nina mendengar pertanyaan sang suami. Kok ya dengar lho.

Mas Anas mengambil alih mendorong troli bermuatan koper-koper Mas Harits. Ia juga meminta kontak mobil dari Mbak Nina. Aku tetap cuek, menoleh padanya pun tidak. Males!

Tapi tidak dengan yang lain, mereka menyambut Mas Anas dengan sangat baik. Pun di mobil, Mas Harits memangku Hanafi duduk di depan, bersebelahan dengan Mas Anas yang memegang kemudi. Berdua ngobrol akrab banget. Nggak terlihat seperti baru kenal beberapa menit lalu. Huh! Aku makin sebal. Memilih meringkuk di baris paling belakang bersama bawaan Mas Harits dari Inggris.

Ditambah lagi begitu sampai di rumah, bagaikan seorang ratu ibu bertitah, "Bikin susu jahe ya, Ki. Masmu pasti seneng tuh sampe rumah disambut wedang favoritnya."

"Saya juga seneng kok, Bu," sahut Mas Anas sambil membawa masuk bawaan Mas Harits. Aku meliriknya, masih dengan sinis. Pokoknya malam ini aku benci banget sama dia.

"Nggak ada yang nanyak!" gerutuku pelan.

"Tuh, susu jahemu banyak penggemarnya kan," kata ibu. Yang lain tertawa. Nggak pada lihat apa ada princess yang manyun begini?!

"Mas Harits mau istirahat kali, Bu. Enggak sempet minum apalah apalah. Udah ditungguin Mbak Nina juga," elakku.

"Siapa bilang, aku masih pengen ngobrol-ngobrol dulu kok sama semuanya. Kangen. Kamu jangan balik dulu ya, Nas," ujar Mas Harits mematahkan pendapatku.

"Ebusetdah, udah akrab bener manggil Nas Nes Nas Nes."

"Alamat ini sih, bisa sampe malem si marbot malesin nongkrong di sini."

"Dia tuh dari tadi ninggalin mesjid. Belum bersih-bersih, belum gulungin karpet, matiin lampu, nutup pager."

"Kok kamu apal sih sama kerjaannya Anas," goda Mbak Nina. Lagi-lagi yang lain menyambut dengan tawa.

"Hih, kakak ipar nih nyebelin juga ya! Kenapa sih serumah ini pada nggak sayang sama aku. Perasan dibully mulu."

"Embuh lah!" Aku sampai lupa dengan sopan santun.

Kutinggalkan ruang tamu menuju ke dapur, mencuci tangan dan tanpa bicara apa-apa lagi kubuat apa yang diperintahkan ibu. Setelah selesai langsung kubawa ke ruang tamu.

"Sini dulu lah, Ki. Aku kangen banget sama kamu." Mas Harits menarik tanganku.

"Enggak ah, ngantuk!" sahutku, seraya menarik kembali tanganku.

Aku kembali ke belakang, mencuci tangan, kaki, muka, tak lupa wudhu. Lalu masuk ke kamar dan mengunci pintu. Tanpa pamit tentu.

"Waduh, gara-gara saya, Mbak Azki jadi marah. Maaf ya, Bu Wahid, Mas Harits. Saya tak pamit saja, betul juga kata Mbak Azki, kerjaan di masjid belum selesai." Terdengar Mas Anas memohon diri. Tapi aku tak peduli.

"Nanti dulu lah, Nas. Gak usah dimasukin hati, dia sih emang gitu, suka ngambek. Aku malah seneng, dia ngambek. Yang paling aku kangenin dari Azki tu ya ngambeknya itu. Kalo nggak gara-gara kamu apa aku bisa langsung dapet moment begini."

"Asem banget lah ini. Semua seolah tak berpihak padaku. Apa aku kualat sama Pak Sukri gara-gara rada nggak rela Mas Anas harus nganterin keluarganya dan mengacaukan semua janjinya."

"Mas Harits juga, nggak berubah. Dia memang paling bisa bikin orang terhindar dari perasaan berdosa. Harusnya sih biarin aja si marbot itu pulang ke habitatnya sana di masjid. Eh, Astaghfirullah."

Ah entahlah, aku tak mau lagi memikirkan kejadian malam ini. Juga tak ingin tahu apapun yang mereka obrolkan di luar sana. Mending nyusul Hanafi. Tidur.

***

03.17 waktu yang tertera di layar gawaiku. Sekian banyak pesan terbaca di notifikasi. Masih sedikit mengantuk, kubuka sekejap, diantara sekian banyak kutemukan tujuh pesan dari Mas Anas. But sorry, nggak sedikit pun terbersit niat untuk membukanya.

Aku menggeliat sebentar, sebelum kemudian membaca doa, "Alhamdulillahilladzi ahyana ba'dama amatana wailaihin nusyur."

Setelahnya, yang terlintas di benakku adalah, "Ya Allah, siapa yang semalem nyuci piring, udah kutinggal tidur duluan."

Bangkit dan beranjak segera dari rebahku dengan satu tujuan. Dapur. Tapi aku lega, sampai di sana ternyata semua sudah bersih dan rapi. Mungkin Mbak Nina yang mengambil alih tugasku semalam. Maka aku segera menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan ambil wudhu.

Kulaksanakan salat lail, hanya dua rakaat. Kusambung menderaskan doa di sepertiga malam yang tersisa. Kemudian membaca Al Quran sesudahnya, sembari menunggu adzan subuh berkumandang.

"Tante, mau ke masjid nggak?" panggil Hanafi sesaat setelah adzan terdengar.

"Enggak," teriakku dari dalam kamar. Disusul suara ketukan pintu.

"Enggak. Kan udah dibilang juga." Masih sambil teriak kubuka pintu, ternyata Mas Harits.

"Kenapa? Jangan ibadahmu yang lebih utama terganggu hanya gara-gara kemarahanmu pada makhluk-Nya. Ibadahmu karena siapa? Makhluk atau penciptanya?"

"Tapi kan perempuan lebih utama solat di rumah." Masih berusaha ngeles.

"Ada aku, Ki. Dan kita pergi berlima. Insya Allah berjamaah di masjid lebih baik. Yuk." Mas Harits menatapku lembut, mengusap ujung kepalaku dengan sayang. Semua mengingatkanku pada bapak. Caranya menatapku, mengusap kepalaku, dan wajah Mas Harits yang memang mirip dengan bapak.

"Bapak..., Ki kangen bapak." Mendadak mataku menghangat.

"Kamu kenapa, Ki? Kangen bapak?" Mas Harits masih sama seperti dulu, dia seakan selalu bisa menebak isi kepalaku.

Aku mengangguk, sebutir bening lolos dari netraku. Ia menarikku dalam pelukannya, dan aku menumpahkan tangisku di sana. Nyaman, senyaman pelukan bapak.

***

Hai hai, ketemu Anas Azki lagi.

Btw, saya kok nulis bagian terakhirnya jadi nangis sendiri yak. Hehe..

Memang ya, Bapak adalah cinta pertama utk anak perempuannya. Dan kakak laki-laki, mungkin cinta kedua. Yang walopun nyebelinnya setengah mati, tapi tetap saja menjadi salah satu yang paling kita cari.

Ah jadi mellow, teringat masa kecil saya. Kebetulan aja sama kaya Azki, cuma dua bersaudara, kakak satu laki-laki. Tapi saya gak pernah jatuh cinta sama marbot yak, meskipun seberang rumah bapak ibu juga mushola. Wkwkwk...

Kata Azki, "Dih, sempet-sempetnya curhat nih penulisnya."

Haha, si Azki mah tau aja.

Oke teman-teman, see you..

❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro