Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Sakit

Motor yang membawaku pulang dari kampus baru saja memasuki halaman rumah. Matahari telah condong ke arah barat, menggurat bayangan setinggi aslinya. Namun siang yang begitu terik masih menyisakan panas nan menyengat. Sengatan panas hari ini bahkan terasa melebihi panasnya sengatan cinta di hati ini. Oke, skip!

Kulepas helm yang memberati kepala, mengusap peluh yang merembes di sesela ciput rajut warna hitam. Rasanya ingin berendam di bak mandi, tapi nggak mungkin, yang ada malah disuruh ibu sekalian nguras. Terima kasih banyak deh.

Kakiku baru saja menginjak lantai kamar ketika adzan asar terdengar. Namun kali ini, yang tertangkap di telingaku bukan suara yang selalu membuat hatiku bergetar.

"Kok bukan Mas Anas sih yang adzan? Apa mungkin dia masih ngajar di luar? Eh, tapi apa peduliku. Harusnya aku malah seneng, makin jarang denger suaranya, makin cepet hilang bayangan beserta pesonanya kan ya?!"

Iyain aja lah biar cepet!

Segera kutaruh ransel dan kawan-kawannya, lalu memutuskan untuk sekalian mandi sebelum salat asar.

Selepas salat asar, seperti biasa ibu duduk di ruang keluarga sembari mengudap hasil olahan dapur kami. Aku menaruh badan di sebelah ibu, mencomot sebuah misro yang masih hangat. Hmm, meskipun sederhana, masakan ibu selalu lezat.

"Ki, minggu depan masmu pulang lho."

"Beneran, Bu?! Alhamdulillah. Kalo gitu Ki mau ingetin titipan Ki dari sekarang ah. Awas aja kalo sampe Mas Harits lupa."

"Emang nitip apa?"

"Buanyak lah, Bu. Kan Mas Harits udah gak balik sana lagi, jadi harus diperas habis-habisan buat oleh-olehin adek kesayangan."

"Halah, dasar kamu tuh ya." Ibu tertawa, menoyor kepalaku dengan sayang.

Kukeluarkan gawai dari kantong piyama. Dan seperti biasa, sebelum melaksanakan niat awal selalu nyangkut dulu baca pesan-pesan masuk. Kadang malah jadi lupa sama niat awalnya. Kalian juga gitu nggak sih?

Sebuah pesan seakan bermagnet, menarikku untuk membacanya terlebih dahulu. Pesan dari satu kontak bernama Mas Anas Marbot.

"Duh, ngelupain kok begini beratnya ya. Tau gitu kan dari dulu nggak usah pake jatuh hati segala. Ribet gini!"

[Assalamualaikum, Azki.
Kamu msh marah? Maaf ya]

[Waalaikumussalam. Marah? Memangnya apa hak saya buat marah?]

Ssstt, sejak kejadian waktu piknik itu, aku memang menjaga jarak dengan Mas Anas. Bicara hanya seperlunya, pesan-pesan darinya pun hampir tak pernah kubalas.

Ini sudah hari ke tujuh aku menjauh. Bukan, bukan marah sih, aku hanya takut terjerumus lebih dalam lagi pada perasaan yang tak seharusnya kupelihara. Aku sudah janji pada diriku sendiri untuk mencoba melupakannya. Takut juga dengan dosa, kalau sampai aku mencintai makhluk melebihi cintaku pada-Nya.

Selain itu, aku nggak mau dianggap mengganggu hubungan orang lain.

[Alhamdulillah kl kamu nggak marah. Aku sm dia nggak ada apa2 kok, Ki. Jd jgn merasa gak enak, dsb. Biasa aja. Ya?!"]

[Aku tu nggak nyaman ngajar bareng tp kamunya diem aja. Cm ngomong pas ada anak2]

[Dan aku minta maaf lagi. Nanti mlm aku ijin gak bs ngajar anak2. Kali ini bener2 nggak bisa dinego ky kmrn, Ki. Kamu yg handle semuanya bisa kan?]

[Memangnya mau ada acara apa kok gak bs ngajar dan gak bs dinego?]

[Sakit, Ki. Demam. Suaraku ngilang, jd nggak memungkinkan utk ngajar]

[Sakit? Sejak kpn?]

[Iya, Ki. Dr semalem]

Ya Allah, dia sakit. Pantesan semalam suaranya agak beda. Terus kalau dia sendirian di masjid, siapa yang ngurusin ya? Ada yang tau nggak ya kalo dia sakit? Trus gimana makannya? Udah minum obat apa belum ya? Mendadak otakku dipenuhi kekhawatiran tentang keadaan Mas Anas.

"Ya Allah, baru begini langsung ikut kuatir. Lupa sama niat menjauhi. Astaghfirullah. Dilema banget."

Aku memang lemah pada penderitaan orang lain. Nggak tegaan. Apalagi pada orang yang aku kenal. Nah ini, bukan cuma kenal, tapi sudah menghuni sebagian ruang hati, walaupun cuma kusimpan sendiri.

"Kenapa, Ki? Kok mendadak diem," tanya ibu.

"Duh, perubahan gelagatku ketauan ibu nih."

"Eh, eng-enggak. Nggak ada apa-apa kok, Bu." Gugup.

"Tapi mukamu itu semacam bilang kalo kamu nggak baik-baik saja."

"Ya salam, emang mukaku seberubah apa sih, kok gampang banget ditebak."

"Emm, anu, Bu. Eh, itu. Mas Anas, Bu. Ijin nggak bisa ngajar. Sakit."

"Loh, sakit apa?"

"Demam katanya, Bu."

"Emm, kalo sakit gitu ada yang ngurusin nggak ya, Bu? Secara kan sendirian di masjid." Aku bertanya, sambil pura-pura sibuk dengan gawaiku. Padahal takut ibu menemukan keresahan di wajahku.

"Wah, ibu kurang tau kalo itu. Ya udah sana, bikinin apa kek yang ada di kulkas, mumpung masih jam segini. Kasian kalo nggak sempet nyari makan."

Aku melihat waktu di gawaiku, 16.12.

"Iya, Bu." Dengan sok cool aku berdiri dan menuju dapur. Padahal rasanya ingin cepat-cepat kabur. Alhamdulillah, ibu seperti tau apa yang ada di benakku.

[Mas udah makan? Udah minum obat?]

[Udah kok. Alhamdulillah]

[Bukan ind*m*e kan?]

[Tau aja kamu, Ki *emoji tertawa]

"Ya Allah, lagi sakit cuma makan mi instan. Aduh, aku harus gimana ya Allah?"

Secepatnya kubuka kulkas, melihat apa saja yang tersedia di sana. Beruntung, ibu selalu punya persediaan sayur mayur dan bahan-bahan makanan. Kulihat ada jagung dan udang yang cukup melimpah. Kuputuskan untuk membuat nasi goreng telur dan udang. Juga sup jagung untuk menghangatkan. Biasanya kalau ada yang demam di rumah, ibu suka membuatkan sup. Sup apa saja.

17.21, masih ada sisa waktu sebelum maghrib. Aku menyeduh teh panas dan menaruhnya dalam termos kecil.

"Han, ke masjid sekarang yuk."

"Tumben, Tante. Kan belum adzan."

"Mas Anas sakit, nanti kamu anter ini ke tempat Mas Anas ya. Bilang, dari nenek."

"Loh, kan Tante yang bikin, kok bilangnya dari nenek. Bohong dosa lho."

"Ih, enggak bohong kok. Itu tadi Tante disuruh bikin sama nenek." Dasar Hanafi, selalu saja ada ngeyelnya kalo sama tantenya ini.

Aku menunggu Hanafi di teras masjid. Sudah kupesan pula padanya untuk memegang tangan Mas Anas, memastikan masih demam apa sudah mereda. Sudah kucoba menahan diri, tapi aku nggak bisa untuk nggak mengkhawatirkannya.

Tak berapa lama, Hanafi muncul dari sudut tempat kamar Mas Anas berada.

"Udah, Han? Gimana Mas Anas, masih demam kah?"

"Iya, Tante. Tadi waktu salim tangannya panas banget. Trus nggak bisa ngomong juga, suaranya ilang."

"Ya Allah, tolong sembuhkan dia."

"Makasih ya, Han. Udah sana kalo mau wudhu."

Kuketikkan sebuah pesan untuk Mas Anas.

[Mas, dimakan ya. Dari ibu. Kl blm laper bgt makan supnya dl aja. Kl perlu obat kasih tau ya, nanti Ki bantu carikan. Atau mau ke dokter?]

[Ya Allah, Azki. Terima kasih banyak ya. Jd ngerepotin kamu. Banyak-banyakin maafnya buat aku ya, Ki]

[Oh ya, salam utk Bu Wahid. Terima kasih sdh ngajarin anak gadisnya jd pintar masak]

Aku tersipu, sekaligus curiga. Hanafi tadi bilang apa ya?

"Han, kamu tadi bilang apa sama Mas Anas?" Kelar berwudhu, kucegat keponakanku.

"Aku tadi nggak bilang apa-apa sih, Tante. Cuma bilang kalo semua ini Tante yang bikin, tapi sama Tante suruh bilang kalo yang nyuruh nenek."

Ya salam. Ini bocah jujurnya kelewatan, menghancurkan reputasi ini sih. Duh, malunya. Ketahuan deh kalau aku mengkhawatirkannya.

***

Rampung salat isya, aku segera pulang. Alhamdulillah, meski mengajar sendiri aku bisa menghandle anak-anak dengan baik sehingga mereka semua bisa dapat giliran mengaji. Aku mulai terbiasa menghadapi mereka, belajar dari melihat Mas Anas selama ini.

Malam belum menua, namun rumah sudah sepi. Kebiasaan di rumah ini memang jam setengah sembilan malam sudah pada masuk kamar, tapi tidak untukku malam ini. Aku kepikiran Mas Anas. Lagi!

Gimana kalau malam ini dia lapar, atau demam lagi, padahal nggak ada yang menemani. Aku nggak mungkin dong menemani. Ngimpi! Mentok-mentoknya yang bisa kulakukan paling ngirimin makanan atau minuman hangat. Jadi kuputuskan untuk sekali lagi membuatkan sesuatu untuknya, seadanya bahan saja.

"Ya Allah, maafkan aku kalo lagi-lagi belum mampu untuk benar-benar menjauh darinya. Jika boleh memohon, tolong jangan dicatat sebagai dosa, tapi jadikan sebagai pahala dari menolong orang lain yang sedang kesusahan.

"Dan maafkan aku sekali lagi ya Rabbi, jika terlalu banyak permintaan aneh yang kusampaikan. Sungguh, aku hanya manusia biasa, yang meski telah berusaha semampu yang kulakukan, tapi masih saja terjatuh dalam dosa dan kesalahan."

Kuselipkan doa di sesela kesibukanku di dapur.

Kugiling roti tawar, lalu kubelah diagonal. Kuisi dengan tumisan kornet, keju, bawang bombay, garam dan merica. Lalu kucelup di kocokan telur dan tepung roti sebelum kemudian menggorengnya.

Selanjutnya kubuat susu jahe panas. Kata ibu setiap kali kami demam, minum susu jahe panas bisa menghangatkan badan dan memicu keringat keluar. Dengan begitu, demam bisa lebih cepat mereda.

Tepat pukul sembilan semua beres. Aku keluar menuju pos satpam. Sebuah nampan berisi segelas susu jahe dan dua buah roti goreng di tangan kananku, sedang tangan kiri membawa tas kain berisi termos dan wadah bekal.

"Pak Dar, ini buat nemenin jaga malam ya. Emm, sama ini, ibu minta tolong anterin ini ke Mas Anas."

"Waduh, makasih banget, Mbak Azki. Iya, Mas Anas lagi sakit. Kasian sendirian."

"Iya, Pak. Kayanya kemarin pas ngajar suaranya udah nggak enak gitu, Pak. "

"Kecapean itu, Mbak. Kan kemarin Mas Anas sempat pulkam, naik motor. Padahal berangkat malem habis beres urusan masjid. Besok sorenya udah sampe sini lagi."

Mendadak ingatanku terseret pada kejadian kemarin siang. Mas Anas meminta izin padaku untuk nggak ngajar, tapi aku ngeyel memintanya untuk tetap ngajar.

"Apa mungkin waktu itu sebenarnya dia belum mau pulang ke sini ya? Berarti dia sakit gara-gara aku dong."

Aku makin khawatir. Merasa berdosa.

"Eh, i-iya, Pak. S-saya yang terima kasih banyak malah. Mari, Pak. Sudah malam soalnya."

"Oh iya, Mbak...."

"Gimana, Pak?"

"Emm, ini beneran dari Bu Wahid? Atau dari..., Mbak Azki?" tanya Pak Dar datar.

Aku salah tingkah, tak kujawab pertanyaannya. Cuma melempar seulas senyum dan buru-buru masuk rumah.

Mungkinkah pak satpam satu ini sudah ketularan virus rese dari Hanafi?!

***

Hampir jam sepuluh malam, aku bersiap untuk tidur setelah nyuci piring dan membereskan dapur. Kantuk mulai menyerang dari segala penjuru mata angin. Tapi terpaksa harus tertunda ketika gawaiku bergetar memanggil-manggil. Cukup melirik saja, menangkap notifikasi 'tiga pesan dari Mas Anas Marbot' yang seakan melambai meminta dibaca segera.

[Azki, aku nggak tau hrs gmn berterimakasih sm kamu]

[Alhamdulillah, hbs minum susu jahenya demamku mulai mereda. Udah keringetan ky hbs marathon]

Aku tersenyum sendiri membacanya.

[Pokoknya yg byk maafnya buat aku ya, Ki]

[Alhamdulillah. Istirahat yg byk ya, Mas. Syafakallah]

Aku kembali merasa sangat berdosa. Kenapa jadi kembali berkhalwat lewat media.

[Semoga kelak kamu bs setiap hari bikinin susu jahe buat aku gini ya, Ki]

Tanganku mendadak gemetaran membaca chat terakhir Mas Anas, sebelum akhirnya dia menarik kembali pesan itu alias 'menghapus untuk semua'.

"Apa maksudnya? Mungkinkah dia...."

"Udah, Ki. Nggak usah mikir kejauhan! Chatnya udah dia tarik lagi juga."

Tapi terlambat! Kantuk yang tadi menyapa pun terlanjur menghilang entah ke mana. Mungkin terbawa serta bersama pesan yang ditarik lagi oleh pengirimnya.

***

Eh, gimana nih? Ceritanya makin nggak jelas ya? Haha.. Mohon maaf lahir batin jika demikian adanya.

Sampai jumpa di part selanjutnya. Insya Allah kita ikut jemput kakaknya Azki di bandara ya.

Jangan lupa vote dan komennya, biar makin semangat nulisnya.

*kata Azki, "dih, penulisnya fakir vote dan komen", hahaha.

Mampir juga di tulisan saya yang lain ya. Ada "Pengantin Dodol" dengan Ahim dan Sarah yang kebanyakan berantemnya daripada mesranya. Ada juga "Kutunggu Kau di Dzulhulaifah" yang settingnya haramain alias dua tanah suci, Mekah dan Madinah.

Oke, terima kasih banyak, teman-teman semua

❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro