Bab 8. Tidak menyerah
Aduh Mbak, takut ...," bisik Almira yang sudah berdiri di depan kamar Alvin. Sementara di tangan gadis itu, bernaung nampan berisi nasi beserta lauk dan minumannya.
"Dia, kan, Mas kamu. Nggak papa." Adinda yang memiliki ide ini berusaha membuat Almira semangat. Padahal dirinya sendiri juga sebenarnya takut. Bisa ia bayangkan reaksi yang akan Alvin berikan nanti. Sepertinya laki-laki itu akan marah, dan itu sebabnya ia mengajak Almira.
"Ih, tapi aku beneran takut. Mbak aja!" Almira menyorongkan nampan di tangannya pada Adinda. Mereka memang baru saja saling mengenal, tetapi satu sama lain sudah tidak lagi memiliki rasa sungkan.
Adinda menggeleng dengan ringisan ngeri. "Kalau sama kamu marahnya pasti nggak yang gimana-gimana. Secara kamu, kan, adiknya." Itu kenapa Adinda merasa Almira bisa ia andalkan untuk membantunya menjalankan rencana ini. Jika dirinya sendiri yang mendekat, sudah pasti Alvin akan sangat murka.
"Sama aja kali, Mbak," desah Almira dengan wajah memelas.
"Nggak bakalan sama." Adinda memutar pelan tubuh Almira, lalu mendorongnya ke arah pintu. Namun, belum sampai tangan itu mengetuk pintu orang yang sejak tadi mereka takutkan muncul begitu saja.
Alvin mengernyit bingung, sementara kedua wanita di depannya malah melebarkan mata seolah Alvin adalah hantu yang muncul tiba-tiba.
"Ngapain?" tanya laki-laki itu dengan tatapan tanpa senyum seperti biasa. Apalagi saat netra hitam itu menangkap keberadaan Adinda yang berdiri tepat di belakang adiknya. Tatapan datar itu berubah menjadi penuh kebencian.
"Mas kan tadi belum makan."Almira segera menunjukkan nampan yang ia bawa. "Yang satu buat Mbak Sofia," jelas gadis itu saat Alvin mengernyitkan dahi. Karena memang di nampan tersebut terdapat dua jenis makanan yang berbeda.
"Emm, aku, boleh nengokin Mbak Sofi?" tanya Almira hati-hati. Bahkan gadis itu sampai berkeringat dingin. Hubungannya dengan Alvin memang sudah merenggang semenjak hari naas itu terjadi. Hari di mana Alvin dan Sofia mengalami kecelakaan, dan menyisakan banyak masalah dikemudian harinya. Terutama sikap Alvin yang berubah menjadi pemarah dan begitu sulit untuk menunjukkan sebuah senyum.
"Untuk apa?" tanya Alvin bukan kepada Almira. Mata itu menatap sengit Adinda yang tampak terkejut.
"Saya tahu ini rencana kamu. Dan saya nggak suka semua ini. Saya sudah berkali-kali mengingatkan kamu untuk enggak berbuat sesuatu yang sia-sia."
Adinda sudah memprediksi hal semacam ini akan terjadi. Dan sebenarnya, tadi dia sudah menyiapkan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan Alvin. Namun, entah mengapa bibirnya terasa kelu dan segala susunan kalimat itu menghilang dari kepalanya. Aura dingin Alvin memang sedahsyat itu.
"Mas ...," tegus Almira dengan suara lirih. "Niat Mbak Dinda itu baik loh."
Alvin mendengkus sinis, mengabaikan Almira yang mulai pegal dengan nampan di tangannya. "Menurut kamu, apa yang baik dari seorang wanita yang menginginkan menjadi istri kedua?" Kali ini tatapan Alvin memang tidak mengarah pada Adinda, tetapi tetap saja wanita itu bisa merasakan ketajaman di setiap kata yang laki-laki itu ucapkan.
"Dia bahkan nggak punya hati. Mau menggeser posisi lawannya di saat kondisinya tidak berdaya."
"Tapi Mbak Dinda cuman lagi mau bantuin, Mas!" Lama-lama Almira geram juga mendengar ocehan Alvin.
"Mudah saja, kalau dia memang mau membantu, tinggal pergi dari rumah ini. Dan jangan pernah lagi berniat untuk menjadi perusak rumah tangga orang!" Setelah mengatakan itu, Alvin menutup pintu serta menguncinya.
"Udah, kita stop dulu sampai di sini!" ujar Adinda sembari mencekal lengan Almira saat gadis itu seperti ingin menggedor pintu kamar di depan mereka.
"Mbak bisa sabar ngadepin orang kayak gitu?" tanya Almira mulai sangsi jika Adinda akan bertahan lama.
"Kamu sendiri yang bilang, kan, kalau sebenarnya Mas Alvin itu orangnya baik?" Almira mengangguk lesu mendengar pertanyaan itu.
"Kalau begitu, pasti ada kemungkinan untuk Mas Alvin kembali ke masa itu."
Almira menghela napas pasrah. Meskipun sebenarnya keyakinan yang ia punya sudah terkikis, tetapi Almira tetap mengangguk pelan.
*
Adinda kembali menjalankan rencananya saat pagi menjelang. Ia tidak akan melibatkan siapa pun karena semua berjalan sama saja. Jika ia tangani sendiri mungkin hasilnya akan sesuai seperti yang ia inginkan. Meskipun presentasenya juga tidak meyakinkan sama sekali.
"Mau apa lagi si kamu?" sengit Alvin saat membuka pintu kamar dan Adinda sudah berdiri di sana.
"Saya cuma mau diberi kesempatan untuk membantu merawat Mbak Sofia."
Alvin berdecap kesal. "Bantuan apa yang kamu maksud? Dan kenapa bisa begitu kekeh mau bantuin istri saya? Apa ada nilai besar yang ibu saya tawarkan buat kamu?!"
Adinda menggelang cepat. "Saya sudah bilang jika saya memiliki hutang budi terhadap ibu, dan saya nggak bisa melupakannya begitu saja. Maka dengan ini saya membayarnya."
"Dengan menyakiti hati Sofia? Itu kamu anggap sebagai cara melunasi hutang budi?" ujar Alvin cepat dengan senyuman sinis.
"Tentu saja bukan!" bantah Adinda tegas. "Kalau bukan saya, pasti akan ada orang lain yang mengisi posisi saya, bukan?"
Alvin tidak menjawab karena memang faktanya seperti itu. Ibunya pasti akan terus mendesaknya menikah hingga ia menuruti permintaan wanita yang melahirkannya itu. Dan sekarang, Adindalah yang berhasil menempati posisi ini.
"Saya akui saya menerima tawaran ini karena tergiur dengan uang yang ibu berikan," aku Adinda tanpa mau membeberkan fakta uang itu ia pergunakan untuk apa.
"Dan bukankah kehadiran saya sekarang ini, secara nggak langsung sudah menyelamatkan Mas Alvin dari perjodohan nggak selesai yang ibu buat?" sambung Adinda sebelum Alvin sempat merepon.
Alvin terdiam karena memang secara tidak langsung fakta yang terlihat seperti itu. Mungkin sampai sekarang ia akan terus disodorkan dengan berbagai bentuk macam wanita jika Adinda tidak ada di sini. Dan Alvin akui, jika sosok Adinda sedikit berbeda dengan yang lainnya.
"Dengan kata lain, bukankah pernikahan ini menguntungkan satu sama lain?" Adinda terus berceloteh saat melihat Alvin seperti menyetujui kata-katanya.
"Saya janji nggak akan pernah menggantikan posisi Mbak Sofia, apalagi sampai menyakiti hatinya." Adinda menunjukkan senyuman lembut.
"Jangan coba-coba membual di hadapan saya. Kamu pikir, dengan semua kalimat itu saya lantas akan menerima keberadaan kamu?" ujar Alvin dingin sembari berjalan ke luar.
"Saya nggak akan termakan rayuan licik wanita penggoda." Adinda hanya bisa memejamkan mata saat mendengar kalimat kejam itu. Namun, tentu saja ia tidak akan menyerah sampai di sini. Ia masih memiliki waktu untuk mencari ide lain.
*
"Mama?" sapa Alvin agak terkejut dengan keberadaan ibu mertuanya di ruang tamu. Ini adalah hari pertama ibu Sofia datang setelah hari pernikahan yang tidak ia inginkan terjadi.
"Vin, baru pulang kamu?" tanya wanita itu selepas Alvin mencium punggung tangannya dengan sopan.
"Iya, lagi banyak kerjaan." Alvin duduk sembari melongok ke dalam. "Ibu ke mana?"
"Lagi ke luar sebentar sama Mira, katanya ada yang mau dibeli," jawab wanita dengan potongan rambut sepundak itu sembari tersenyum lembut.
"Loh, jadi Mama ditinggal sendiri? Udah lama?"
"Enggak sendiri, kan ada—" Wanita itu menoleh ke arah dapur tepat saat Adinda datang sembari memegang nampan dengan dua cangkir berisi teh.
"Diminum dulu, Tante," kata Adinda ramah seraya meletakkan satu cangkir di depan ibu Sofia, dan satu lagi di depan Alvin.
"Pakai repot-repot kamu, Nak."
"Nggak pa-pa Tante, cuman teh," jawab Adinda sembari duduk di bangku single antara Alvin dan ibu Sofia.
"Mama kamu pinter nyariin istri, Vin. Udah baik, cantik, ramah pula," puji ibu Sofia yang langsung membuat pipi Adinda merona malu. Meskipun ia tahu ada tatapan sinis yang kini melesat ke arahnya dari sisi kiri.
"Sofia pasti seneng kalau ada temen ngobrol. Kamu sudah ketemu sama Sofia?"
Adinda sontak mengangkat kepala, tetapi ia bingung harus menjawab apa.
"Alvin nggak bolehin dia ketemu Sofia," jawab Alvin tanpa ragu. Dan tidak peduli dengan kesiap yang ibu mertuanya tunjukkan.
"Alvin nggak mau Sofia tersakiti dengan mempertemukan mereka," ujar laki-laki itu kembali melesatkan tatapan sinis pada Adinda yang lebih memilih menunduk.
"Gimana kamu bisa tahu kalau Sofia bakalan tersakiti?" tanya ibu Sofia tegas, tetapi dengan senyuman lembut. Sementara Alvin mengenyit tidak percaya mendengar penuturan itu.
"Beri kesempatan mereka untuk bertemu, maka kamu akan tahu apa yang terjadi."
"Ma!" Alvin semakin menunjukkan raut aneh, aneh karena ibu mertuanya seperti tengah bersekongkol. Bagaimana bisa wanita yang telah melahirkan Sofia bersikap seperti ini?
"Mama yakin dengan yang Mama katakan?"
Wanita itu mengangguk yakin, "Sangat yakin."
"Tapi—"
"Apa perlu Mama bicara dengan Sofia?" potong wanita itu cepat dengan nada menantang.
Alvin mulai kebingungan karena kondisi yang ada membuat ia terjepit dan serba salah.
"Mama rasa memang harusnya seperti itu." Ibu Sofia tampak bangkit, lalu menarik lembut lengan Adinda untuk mengikutinya. "Mama akan perkenalkan mereka kalau kamu nggak mau."
Alvin ingin mencegah, tetapi ia tidak memiliki daya. Maka ia memilih untuk duduk diam di tempatnya. Tentu saja dirinya tidak akan tega melihat tatapan terluka yang mungkin saja Sofia tunjukkan saat melihat wajah madunya.
*
"Mulai besok biarkan Adinda yang membantu kamu untuk mengurus Sofia." Kalimat yang ibu Sofia berikan sebelum wanita itu pamit dan memberi isyarat pada Adinda jika rencana mereka berhasil.
"Lagipula, apa kamu nggak merasa khawatir kalau dia nggak ada yang jaga? Daripada kamu harus bolak balik kantor, bukannya lebih baik kamu nanyain kondisi Sofia melalui Adinda saja?"
Alvin tidak bisa berkutik, dan memilih untuk tidak menjawab. Ia kesal dengan persetujuan yang kini muncul di kepalanya.
"Vin, Adinda adalah wanita baik. Kamu harus percaya sama dia."
Alvin hanya mengangguk kecil, lalu selanjutnya mengantar mertuanya itu sampai ke mobil yang sudah siap untuk mengantarnya pergi.
"Jangan merasa menang dulu, saya tahu ini semua adalah rencana kamu," ujar Alvin pada Adinda saat mobil yang membawa ibu mertuanya sudah menghilang.
"Oke, kalau kamu sangat penasaran, saya akan beri kamu kesempatan untuk merawat Sofia. Tapi ingat, jangan merencanakan hal yang akan membuat saya semakin membenci kamu."
Adinda hanya bisa mengangguk dengan senyumam tipis saat mendengar semua kalimat itu. Meski persetujuan yang Alvin berikan masih dipenuhi oleh kecurigaan, tetapi setidaknya ia sudah melalui satu step untuk maju ke tantangan selanjutnya.
***
IG - dunia.aya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro