💖6💖
Malam hari setelah Azzam menjemput Maryam dari rumah orang tuanya karena Maryam sempat sulit diajak pulang, Azzam semakin melihat istrinya menjauh, seolah enggan melihat wajahnya.
Karena sudah tak tahan terlalu lama diacuhkan, Azzam menarik lengan istrinya, dan saat berbalik ia dekap Maryam yang ternyata menolak ia peluk, Maryam mendorong pelan dada Azzam.
"Ada apa? Katakan jika aku membuatmu kesal, apa karena tadi pagi ada Isya lalu kamu menimpakan kekesalan padaku? Jangan menerka-nerka dengan pradugamu, akan membuat kamu capek Dik," ujar Azzam yang melihat mata istrinya berkaca-kaca.
"Mas tidak akan merusak rumah tangga kita kan?"
"Astaghfirullah Dik, aku pernah gagal berumah tangga, masa aku mau mau gagal lagi?"
"Tapi sepertinya Mas ingin gagal lagi."
Wajah Azzam berubah datar saat Maryam mengatakan hal yang tak ia duga.
"Dari mana kamu menyimpulkan hal seperti itu, jangan menuduh tanpa bukti, aku suamimu, rasanya tidak wajar jika menuduh aku hanya berdasar pradugamu, jangan karena tadi ada Isya lalu semua seolah aku yang salah dan jadi sasaranmu, berulang aku katakan aku tak punya masa lalu dengannya tapi kau tetap menuduhku tanpa bukti dan alasan yang jelas."
"Oh jadi Mas menuduhku seolah-olah aku yang salah? Dengarkan Mas, sejak awal aku melihat Mas, aku sudah jatuh cinta, hingga aku tak peduli meski tahu mas mengejar-ngejar cinta Kak Isya yang tak pernah tergapai, aku langsung mengangguk saat Bapak mengatakan akan menjodohkan aku dengan Mas. Bahkan saat memulai perjalanan awal rumah tangga yang seolah tanpa rasa aku kuatkan, aku yang selalu memulai dalam hal apapun karena aku yakin rumah tangga kita akan semakin baik-baik saja jika aku mau berbakti, mengabdi dan menunjukkan perhatian yang besar pada Mas, tapi apa yang aku dapat, hanya kebohongan yang aku dapatkan, apa yang bisa aku katakan saat suamiku tak bisa mengantarkan aku ke dokter kandungan karena akan bertemu klien ternyata malah asik berdua dengan seseorang yang menjadi obsesinya di sebuah gerai siap saji, dengan tatapan memuja yang bahkan sampai saat ini aku tak pernah mendapatkan tatapan seperti itu?" Maryam terengah-engah, entah dari mana ia mendapatkan banyak amunisi kata-kata hingga meluncur begitu saja dengan cepat dan tanpa jeda.
Azzam kaget bukan main, ia tak mengira pertemuannya dengan Isya diketahui Maryam.
"Mengapa diam saja? Mas mau mengatakan aku mengada-ada? Menuduh tanpa bukti? Apa aku kurang mengabdi sebagai istri hingga Mas masih bertemu dengan wanita yang telah mempunyai suami?"
Maryam berjalan bergegas, meninggalkan Azzam yang masih terpaku di kamar mereka. Maryam menumpahkan tangisnya di kamar yang disediakan untuk kedua orang tuanya jika sewaktu-waktu mengunjunginya. Tak lama ia mendengar pintu diketuk berulang.
"Dik, buka pintunya, kita harus bicara, Dik, Dik Maryam dengarkan aku."
Maryam biarkan suaminya mengetuk berulang hingga akhirnya tak terdengar lagi. Maryam duduk dan mengusap air matanya, ia tak pernah mengira akan mengalami hal menyesakkan dalam rumah tangganya. Lalu perlahan ia menuju pintu, rasa haus memaksanya untuk ke luar dari kamar. Saat membuka pintu ternyata Azzam masih berdiri di sana dan Maryam melewati suaminya tanpa berbicara, bergegas ke ruang makan diikuti langkah suaminya.
"Dengarkan aku Dik, itu pertemuan tak sengaja, aku tak pernah merencanakan bertemu dengannya, terserah kau percaya atau tidak karena .... "
"Sayangnya aku tak percaya, maaf ini sudah sangat larut dan aku ingin tidur, jangan ganggu aku." Maryam meneguk segelas air dan membiarkan suaminya terpaku di ruang makan.
Pagi hari saat bangun untuk sholat Subuh, Azzam tak menemukan istrinya di mushola, tumben Maryam tak membangunkannya. Setelah sholat subuh Azzam kembali mencari istrinya yang ternyata menurut Bi Siti ada di taman belakang seperti sedang melepon seseorang.
"Ibu kayaknya nangis Pak, nggak tahu nelepon siapa," ujar Bu Siti, Azzam bergegas menuju taman belakang dan ia menemukan istrinya yang hanya menatap kolam dengan tatapan sedih.
"Dik, masuk yuk, di sini dingin, temani aku di dalam," pinta Azzam dan Maryam menoleh menatap suaminya dengan mata sembab.
"Mas masih butuh aku untuk menemani Mas?"
"Pasti, aku akan selalu membutuhkan kamu Dik, temani aku, mungkin aku memang salah, tapi jujur yang kamu katakan tadi malam salah Dik, aku tak sengaja bertemu dengannya, kamu bisa tanya sekretarisku apa yang aku kerjakan seharian hari itu."
"Aku nggak mau berpikir terlalu berat sampai mau nanya ke sana ke mari nggaklah, Mas jujur atau bohong kan baliknya ke Mas sendiri, hanya yang perlu Mas ingat, aku tak akan pernah mentolerir lagi jika suatu saat melihat Mas masih bersama wanita itu, apapun alasannya, aku nggak mau mas yang masih suami sahku bertemu sembunyi-sembunyi dengan kak Isya, aku nggak akan memaafkan Mas lagi, apapun alasannya."
Maryam melangkah pelan, Azzam mengikuti istrinya dari belakang sambil menghela napas.
.
.
.
"Haaai Assalamualaikum Kakak, ibu nggak kesulitan kan menjaga Kakak?" tanya Zu pada Hasanah, ibunda Zu dan Maryam, sementara anak pertama Zu tak lama digendong oleh Bapak Zu yang meronta-ronta ingin keluar dari ruang perawatan Zu.
"Wa alaikum salam, nggak lah, ibu sudah punya anak dua dan Maryam dulu aktivnya kayak anakmu ini, dah biasa, adikmu itu kenapa to Zu? Kemarin datang-datang langsung meluk Ibu, ya kagetlah Bapak dan ibumu ini, suaminya kayak merasa nggak enak, nggak biasanya Maryam nangis, kamu tahu kan bagaimana dia, dia anak yang kuat sejak kecil."
Zu menghela napas, ia bingung antara ingin menceritakan semuanya atau tidak, karena ia tak ingin orang tuanya menjadi terbebani.
"Katakan pada ibu Zu, ada apa dengan adikmu? Ibu harus tahu, dengan begitu ibu tahu nasehat apa yang akan ibu berikan pada adikmu, tadi pagi-pagi dia nelepon ibu lagi dan nangis lagi, ibu tanya kenapa nggak papa katanya, tapi nangis."
"May melihat suaminya dengan Isya di suatu tempat Bu, mereka hanya berdua, dan May mengira mereka sengaja bertemu, aku kan pernah bercerita pada Ibu jika dulu Kak Azzam sangat mencintai Isya tapi Isyanya nggak mau kalau nggak sama Mas Emir."
Hasanah menghela napas, ia tak mengira jika masalahnya menjadi sepelik itu, Hasanah bisa memahami perasaan anaknya, apalagi saat ini Maryam dalam kondisi hamil.
"Ibu nggak tahu Zu, harus bilang apa, Ibu tadi malam hanya menasehatinya agar bersabar dan selalu beristighfar agar hilang semua gundah di hatinya, hanya doa dan dzikir yang mampu menguatkan kita."
"May sudah berdoa dan berdzikir, Bu, tinggal menunggu kemauan Mas Azzam mau bersungguh-sungguh apa tidak dia ingin melanjutkan rumah tangga denganku, aku bukan orang yang mudah memaafkan, sekali lagi aku melihat dia dengan wanita itu, aku akan akhiri semuanya, meski nggak sengaja bertemu, harusnya nggak sampai duduk berdua dengan wanita yang telah bersuami, apalagi jelas-jelas itu wanita yang ia kejar-kejar sejak dulu."
"Astaghfirullah, Nak, jangan punya pikiran mengakhiri rumah tangga dengan mudah," sahut Hasanah kaget karena Maryam yang tiba-tiba saja muncul.
Zu dan Hasanah hanya bisa tertegun menatap Maryam yang telah berdiri di mulut pintu dengan membawa keranjang kecil yang berisi buah.
💖💖💖
14 Agustus 2020 (06.32)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro