💖3💖
"Pukul sepuluh? Apa nggak lebih baik nanti sore saja Dik? Aku terlajur ada janji sama teman," ujar Azzam saat Maryam pamit hendak memeriksakan kandungannya.
"Gak papa aku pergi sendiri Mas, Mas nggak harus ngantar, lagian nanti aku juga mau beli sesuatu untuk keperluan rumah, kayaknya sudah ada beberapa yang habis, lagian jam segitu loh jam kerja, nggak baik juga Mas meninggalkan kerjaan," sahut Maryam yang memang sudah terbiasa mandiri dan tidak selalu tergantung pada Azzam yang sibuk. Tapi ia melihat wajah suaminya yang khawatir menatapnya.
"Aku ingin seperti yang kapan itu mengantarmu ke dokter kandungan, di sana aku lihat lebih banyak yang diantar suaminya, kamu pergi sendiri kok aku jadi ... "
"Nggak papa, bulan depan kan masih bisa sama Mas."
Maryam berusaha membuat suaminya yakin bahwa ia baik-baik saja. Setelah Azzam berangkat Maryam segera menuju dapur memberitahu Bi Siti apa saja yang harus dimasak hari ini.
Saat akan berangkat ponselnya berbunyi, ia lihat ternyata dari kakaknya Zulaikha.
Assalamualaikum
Wa alaikum salaaam Kak, tumben nelepon
May bisa ke rumah nggak
Aku mau ke dokter kandungan hari ini Kak
Ya nantilah pulangnya mampir, ada sesuatu yang mau aku kasih ke kamu, ini ada titipan dari ibu, aku pingin dendeng bikinan ibu, biasaaa bumil perut buncit mau lahiran makin pingin ini itu
Iyah nanti Mau mampir ke kakak
Aku tunggu loh
Iyaaa setelah dari supermaket ya kak, nanti aku sholat Dzuhur di kakak aja
Loh katanya mau ke dokter kandungan
Iyaaa tapi kan ada kebutuhan rumah yang habis
Iya dah aku tunggu pokonya dah ya assalamualaikum
Wa alaikum salaaam
Maryam memasukkan ponsel ke dalam tasnya dan berangkat menuju mobil yang sudah terparkir di depan, sopir pribadi telah menunggunya sejak tadi.
.
.
.
Azzam baru saja selesai membahas perluasan kerja sama dengan sahabatnya saat berkuliah di Aussie dulu, sempat berbincang lama hingga akhirnya sepakat melakukan kerja sama yang menguntungkan kedua belah pihak, setelahnya mereka berbincang akrab mengenang masa-masa mereka saat masih berkuliah, hingga akhirnya sahabat Azzam dan sekretarisnya pamit.
Azzam memberikan semua dokumen penting pada sekretarisnya. Saat Azzam dan sekretarisnya hendak bangkit untuk kembali ke kantor, Azzam melihat kelebat Isya lagi.
"Fen, kamu kembali ke kantor duluan ya, aku ada perlu sama teman aku yang lain lagi."
"Tapi Bapak bagaimana nanti pulangnya?" tanya Feni, sekretaris Azzam yang masih sibuk memasukkan dokumen ke dalam tas dokumen.
"Gampanglah, nanti aku telepon sopir perusahaan."
Azzam mempercepat langkahnya, membiarkan Feni melongo dan berpikir ada apa dengan bosnya.
Benar dugaan Azzam, ternyata memang Isya, ia terlihat berbicara dengan seseorang di area restoran hotel tempat Azzam bertemu dengan sahabatnya itu.
.
.
.
Isya terlonjak kaget saat hendak pulang ia merasakan lengannya dipegang seseorang dan saat menoleh ia semakin kaget karena ternyata Azzam yang masih saja memegang lengannya, segera Isya tarik lengannya dan berusaha bersikap wajar. Bagaimana pun ia sudah menikah dan tak seharusnya ada laki-laki lain yang menjamah bagian dari tubuhnya.
"Eh Mas Azzam, mana May?"
"May? Maksudmu?"
"Ya istri Maslah, kan panggilannya di rumah May, masa Mas nggak tahu."
"Oh Dik Maryam, ya tidak bersama aku lah kan aku tadi bertemu sahabat di sini, yah biasalah mengembangkan sayap," ujar Azzam dengan tatapan tak lepas dari wajah lembut di depannya.
"Cha kita minum atau makan yuk bentar, bentaaar aja Cha, kita kan lama nggak ketemu."
Isya menghela napas, ia merasa tak enak menolak ajakan Azzam laki-laki yang sempat menjadi teman ngobrol terbaik dan Isya saat itu merasakan mempunyai teman yang sangat nyaman, seolah bisa menghilangkan keterpurukan setelah ia terusir dari rumah sepupunya dulu.
"Iya ngga papa ayo, tapi jangan di sini, kita ngobrol di sebelah saja, kan ada supermaket, ini di sebelah."
Azzam merasakan hatinya mengembang saat Isya menerima ajakannya, paling tidak ia bisa mengenang kembali bagaimana ia berusaha mendapatkan Isya meski akhirnya ia harus sakit karena penolakan.
.
.
.
Maryam masuk ke gerai yang menyediakan kebutuhan rumah tangga di sebuah supermarket yang terbiasa ia datangi bersama Azzam untuk berbelanja apa saja. Selama berbelanja kebutuhan rumah tangga ingatannya kembali pada apa yang ia alami di dokter kandungan tadi, ia sempat berbincang lama dengan seorang wanita yang entah mengapa tiba-tiba menangis saat Maryam basa-basi mengajaknya berbicara karena sama-sama datang sendiri. Wanita berperut buncit itu bercerita jika ia memutuskan berpisah dengan suaminya karena suaminya ketahuan mempunyai wanita lain.
Tanpa sadar Maryam mengelus perutnya, berharap apa yang terjadi pada wanita itu tidak terjadi pada dirinya. Ia ingin anaknya kelak lahir dalam keluarga lengkap, tak terbayangkan jika ia harus melahirkan tanpa suaminya di sisinya .
Selesai membeli apa yang ia perlukan, Maryam menuju kasir. Saat antri untuk membayar ia melihat seperti seseorang seperti suaminya, Maryam memicingkan matanya dan tak salah lagi itu Azzam suaminya yang sedang duduk dengan seorang wanita, namun Maryam masih tak yakin dengan apa yang ia lihat. Sedang siapa wanitanya juga tidak jelas karena tertutup oleh pengunjung lain yang ada di gerai makanan Italia siap saji itu.
Selesai membayar di kasir, Maryam mencoba semakin dekat, dan ternyata benar suaminya. Maryam menjaga agar ia tak terlihat, dan tanpa terasa air matanya menetes saat melihat binar bahagia di mata suaminya yang tak pernah Maryam temukan binar itu jika menatapnya, di depan suaminya ada wanita yang selama ini seolah menjadi mimpi buruknya, Isya duduk di sana, dengan wajah lembutnya hanya menggeleng sambil sesekali tersenyum. Maryam yakin tidak mungkin suaminya membohonginya, alasan suaminya tidak bisa mengantarnya ke dokter kandungan karena ia terlanjur ada janji dengan temannya, apakah yang dimaksud teman oleh suaminya adalah Isya? Entahlah, Maryam tak berani menerka-nerka.
Maryam menghapus air matanya, berusaha menguatkan hatinya dan mencoba menenangkan serta meyakinkan diri bahwa pertemuan suaminya dan Isya hanya kebetulan saja, tidak direncanakan.
.
.
.
Selama perjalanan menuju rumah kakaknya, air mata Maryam kembali mengalir, ia hanya berpikir, apa ini akan selama menjadi duri dalam rumah tangganya. Rasanya ia terlalu kekanakan jika bertanya mengapa suaminya bertemu dengan Isya tadi.
Maryam hanya ingin suaminya, sendiri yang jujur mengatakan padanya, apa saja yang hari ini ia lakukan. Maryam tak ingin ia yang mengorek semuanya, seolah ia istri yang curiga terhadap apa yang suaminya lakukan.
.
.
.
"Mana cincin dariku Cha, mengapa tidak kau pakai?" tanya Azzam dan Isya menggeleng.
"Aku sudah punya suami Mas, aku berniat mengembalikan cincin itu pada Mas, sangat tidak adil bagi Mas Emir saat aku sudah menjadi istrinya masih saja menyimpan kenangan dengan laki-laki lain."
Azzam merasakan dadanya sakit seketika, ia merasa bahwa Isya tidak merasakan apapun padanya, hingga memakai pemberiannya pun ia tak mau.
"Tak adakah kenangan indah tentang kita yang ingin kau simpan Cha?" tanya Azzam setengah memelas menatap wajah lembut di depannya. Sekali lagi Isya menggeleng sambil tersenyum.
"Saat kita sudah punya pasangan, istri atau suami, akan lebih baik semua kenangan dengan siapapun, entah itu kenangan manis atau bahkan pahit lebih baik kita singkirkan Mas, jika itu tetap kita simpan, suatu saat akan jadi Boomerang bagi rumah tangga kita, menikah kan tidak hanya untuk satu dua hari Mas, jadi kita harus meyakinkan diri kita, bahwa pasangan yang ada di sisi kita adalah anugerah terbaik dari Allah, buat apa kita masih mengingat hal tak penting dalam hidup kita."
"Jadi aku tak penting bagimu Cha?"
"Bukankah kita memang tak memiliki hubungan apapun? Lalu mengapa aku harus menempatkan Mas pada posisi penting? Aku berniat mengembalikan cincin Mas, hanya sayangnya belum aku bawa, aku tak ingin menyakiti Mas Emir dengan menyimpan cincin dari Mas."
Sekali lagi Azzam merasakan hatinya yang remuk tak berbentuk.
💖💖💖
10 Agustus 2020 (05.31)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro