Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 6 Ujian Hidup


Ayat demi ayat dilantunkan Alya dengan bacaan tartil. Al Qur'an dipegang, tetapi matanya terpejam. Selepas salat Asar, Alya memuroja'ah hafalannya dimulai dari awal juz tiga.
Selang lima belas menit kemudian, Alya membaca ayat terakhir Surat Al Baqoroh. "Laa yukallifullahu nafsan illaa wus'ahaa lahaa maa kasabat wa'alaihaa maktasabat."

Alya mengangkat kedua tangannya, saat membaca "Robbanaa laa tuaakhidznaa innasiinaa aw akhto'naa, Robbanaa walaa tahmil 'alainaa ishron kamaa hamaltahuu 'alalladziina min qoblinaa. Robbanaa walaa tuhammilnaa maa laa thooqota lanaa bih. Wa'fu 'annaa waghfirlanaa warhamnaa. Anta mawlaanaa fanshurnaa 'alalqowmil kaafiriin. Aamiin."

Setelah mengucapkan Shadaqallahul'Azim. Alya membuka Al Qur'an, lalu membaca terjemahan akhir surat Al Baqoroh ayat 286 itu "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau Bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau Bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau Pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir."

Usai membaca, kepala Alya mendongak, matanya menerawang, pikiran pun kembali mengingat apa yang pernah dikatakan Alif saat di taman. Potongan ayat yang beberapa hari lalu Alif bacakan untuknya. Laa yukallifullahu nafsan illaa wus 'ahaa. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Jadi, patah hati yang kita alami ini, merupakan ujian yang pasti bisa kita lewati. Yakinlah, siput, karena kita masih punya Allah sebagai tempat meminta pertolongan.

"Makasih, Lif. Udah mau berbagi nasihat denganku. Setidaknya, beban patah hatiku kali ini tidak aku alami sendiri. Semoga kita bisa sama-sama melewati ini, ya," ucap Alya lirih, lalu diikuti helaan napas kelegaan.

Alya pun bangkit, meletakkan Al Qur'an lalu meletakkan mukena yang telah dilipat rapi ke kotak lemari khusus.

Waktu maghrib setengah jam lagi. Alya keluar kamar dan langsung menangkap wangi bumbu masakan yang begitu menusuk indra pembau, membuat perut Alya mendemo minta jatah.

"Hmmm wanginya enak banget, Mi. Bikin perut Alya langsung laper, nih. Pasti masak makanan kesukaan Alya, kan, Mi?"

Fathimah menoleh lalu tersenyum, "Kamu, nih ya. Hafal betul masakan rendang yang dibikin Ummi."

"Hehe iya, dong. Namanya juga kesukaan." Melihat beberapa menu makanan tertata di meja samping kompor, Alya kembali bertanya, "Tumben Ummi masak menu macam-macam gini? Ada acara apa, Mi?"

"Rumah kita bakal kedatangan tamu malam ini. Sengaja, sih, Ummi undang mereka untuk membahas sesuatu."

Fathimah menjawab pertanyaan putri sulungnya, sembari mematikan kompor. "Tolong ambilin mangkuk putih ya, Sayang!"

Alya berjalan beberapa langkah, lalu mengambil mangkuk di lemari penyimpanan peralatan makan.
"Siapa tamunya, Mi?" tanya Alya yang masih penasaran seraya menyerahkan mangkuk itu.

"Ada lah, Al. Nanti kamu bakal tahu sendiri, kok." Fathimah mencolek hidung putrinya sembari senyum-senyum jail.

"Ish, jadi Ummi sekarang main rahasia-rahasiaan nih sama Alya?"
"Sekali-kali nggak apa-apa, kan?" Fathimah menoleh sebentar, tersenyum puas seraya mengerlingkan satu matanya.

"Hmmm, iya-iya, deh. Alya turutin apa maunya Ummi kali ini. Yang penting Ummi bahagia. Puas, kan udah sukses bikin Alya gemas karena penasaran?" Alya menyedekapkan kedua tangannya, tampak pura-pura kesal.

"Hehehe, udah-udah bantuin Ummi, yuk! Angkutin piringnya ke meja makan."

Alya menuruti perintah sang Ummi. Membantu menata dengan rapi makanan-makanan yang telah siap untuk disajikan. Setelahnya ia menuju tempat cuci piring, membersihkan peralatan masak yang sudah digunakan sang ummi.

Peran mentari kini telah digantikan sang dewi malam. Langit malam ini tampak begitu indah, terhiasi oleh bintang-bintang. Usai salat Isya' berjama'ah, setelah zikir dan doa. Serta tidak lupa membaca surat Al Mulk, barulah Fathimah bersama kedua putrinya beranjak dari ruang musala yang terletak di samping kamar mandi.

"Lekas siap-siap ya, Nak. Kita sambut tamu setelah ini." Fathimah mengingatkan putrinya, sebelum Alya berbelok ke kamar.

"Alya nggak ikutan boleh nggak, Mi? Alya masih ada hal yang harus dilakukan di kamar." Alya sengaja ingin menghindar, masih enggan bertemu dengan siapa pun. Luka hatinya masih belum sembuh betul.

"Mau nonton film lagi? Udah, pokoknya nggak boleh ada penolakan. Kamu harus temuin tamu Ummi malam ini, ya."

"Memangnya tamunya sepenting apa, sih, Mi?"

"Bukan tamunya yang penting, tapi mempererat silaturahminya yang penting. Lagian kamu kenal baik kok sama dia. Pasti kamu seneng kalau tahu siapa yang datang."

"Makanya, Ummi kasih tahu dulu dong siapa tamunya."

"Sudah, gih. Cepetan siap-siap. Kebanyakan ngobrol, entar malah keburu tamunya datang." Fathimah langsung berlalu dari hadapan Alya. Tidak pedulikan putrinya yang hendak protes lagi.

Selang lima belas menit, ketukan pintu terdengar di kamar Alya. Gadis itu sengaja tidak buru-buru keluar kamar karena memang enggan menyambut tamu yang menurutnya tidak jelas siapa.

"Al, Alya."

Alya yang mendengar suara umminya memanggil, seketika menghela napas cukup panjang. Membuang rasa berat di hati, menggantinya dengan kerelaan hanya agar umminya tidak bersedih hati jika dirinya terus memaksa menolak.

"Kok belum keluar kamar? Sudah siap kan, Sayang?" Fathimah langsung melempar pertanyaan begitu Alya membuka pintu. Alya mengangguk, bibirnya dipaksa untuk bisa tersenyum.

"Ya udah yuk! Mereka sudah datang dan sekarang sudah di ruang makan."

"Langsung makan aja, Mi?"

"Iya, Al. Dari tadi kamu kan nggak langsung nemuin mereka saat datang."
Keduanya berjalan beriringan.

"Udah datang dari tadi, Mi?"

Fathimah mengangguk lalu menjawab, "Sekitar sepuluh menit yang lalu."

Saat akan tiba di ruang makan, hati Alya yang sejak tadi sedikit berdebar dan penasaran, seketika menghela napas jengah. Ealah ... ternyata tamunya si tegak lurus bersama bundanya, batin Alya.

Setibanya di dekat tempat duduk bundanya Alif, Alya menghampiri lalu mencium punggung tangan beliau.

"Sudah dari tadi, Tan? Maaf Alya masih ada kesibukan sedikit tadi," ucap Alya dengan sopan, diikuti seulas senyum yang ia persembahkan kepada Husna--bundanya Alif--dan juga kepada Alif sebagai tanda sapaan.

Acara makan malam bersama pun dimulai hanya berempat, karena Azizah sudah tidur terlebih dahulu setelah salat Isya tadi. Memang begitulah adik Alya itu, selalu tidur di awal malam, karena memang seharian sibuk dengan menuntut ilmu pagi dan siang. Kemudian sore harinya belajar di TPA.

Sepuluh menit berlalu, tidak ada suara obrolan yang tercipta, sampai pada akhirnya empat orang itu menghabiskan makanannya masing-masing.

"Masakan Mbak Imah memang luar biasa enak. Sampai-sampai aku nggak sungkan buat nambah, hehe."

"Alhamdulillah Mbak Husna kalau suka. Nak Alif gimana?"

"Alhamdulillah juga suka kok, Tan. Enak banget, apalagi rendangnya. Mantap, pedesnya pas selera Alif."

"Alhamdulillah kesukaan Nak Alif masih sama ya berarti dengan Alya. Apa ini pertanda, ya?"

Alya dan Alif langsung menoleh ke arah Fathimah, menunggu apa yang akan diucapkan oleh wanita yang berkerudung navy itu.

.
.
.
.
.
Bersambung


Novelnya masih OPEN PO ya.
Yuk langsung pesan aja yang penasaran dengan kisah Alif dan Alya sampai tamat.

Di sini aku up utuh sampai part 10 ya insya Allah. Selebihnya spoilernya aja 🙏😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro