Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Day 2- Tentang Jodoh

Raut kecewa masih tampak jelas di wajah Alya, ketika sosok Rama tak terlihat lagi. Ia pun kini hanya bisa menghela napas cukup dalam. Ingin mendamaikan kecamuk hatinya dengan banyak rasa tak nyaman dan tanda tanya dalam pikirannya akibat sikap aneh laki-laki itu.

"Hmmm, sebenarnya Bang Rama kenapa, sih? Buru-buru amat pulangnya. Ini lagi, apaan isinya ya?" Alya membolak-balik amplop yang berada di tangannya.

Baru saja Ayla berniat membuka amplop itu. Tiba-tiba bunyi nada dering ponselnya terdengar. Gegas ia ambil benda pipih itu, sontak bibirnya mengulum senyum setelah mengetahui siapa yang menelepon. "Iya, Bang?"

"Kamu buka amplop itu di rumah ya. Jangan di taman."

"Memangnya kenapa, Bang?" Alya ingin menolak karena tak sabar ingin mengetahui amplop itu. Namun, apalah daya. Ia tidak berani memrotes perintah Rama secara terang-terangan.

"Awan mendung kembali menyelimuti langit, jangan sampai kamu kehujanan."

Senyum semakin merekah di bibir Alya. Gadis itu sangat bahagia dengan perhatian Rama. Iiih, Bang Rama. Gimana aku nggak cinta coba. Kamu seperhatian ini sama aku. Rangkaian kata-kata kamu sungguh indah didengar, Bang, batin Alya

"Dik."
Alya terkesiap, segera sadar dari kesibukan pikirannya sendiri.

"Eh, iya-iya. Abang hati-hati ya di jalan. Jangan hilang kabar lagi pokoknya."

“Kamu hati-hati juga. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam warohmatullah wabarokatuh.”

---***---

Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit, motor Alya telah memasuki pelataran rumah.  Dipojok depan  rumah berukuran 4 x 4 meter itu, ia memarkirkan motornya. Setelah mengkunci ganda motor, Alya melewati beberapa tanaman yang berjajar rapi untuk sampai di undakan teras.

“Assalamualaikum.”

Melihat pintu yang terbuka, membuat Alya langsung masuk.
“Waalaikumsalam, Mbak Alya udah pulang nih, Mi.”Mendengar suara cetar membahana Azizah, Alya langsung menoleh dan langsung menghampiri bocah berusia 6 tahun itu.

“Makan apa, Dek? Mbak minta, ya." Tanpa menunggu persetujuan Azizah, Alya langsung mencomot pisang goreng di piring dekat adiknya itu.

"Iiih, jangan dihabisin dong, Mbak Al. Sana ambil sendiri ke Ummi." Pisang goreng yang sudah hampir masuk ke mulut Alya, berhasil dirampas oleh Azizah.

Alya mengerucutkan bibirnya, dengan muka melas bercampur kesal menatap sang adik. "Ish, tega bener kamu, Dik. Okelah, mbak akan ambil sendiri ke dapur. Tapi awas lo ya. Jangan minta sesuatu yang mbak beli tadi."

"Emang mbak Alya beli apa?" tanya Azizah setelah menelan kunyahan yang sengaja ia percepat.

"Ada, deh. Pokoknya ini enaaak banget. Manis, rasa cokelat. Hmmm." Alya langsung bangkit dan bergegas ke belakang tak pedulikan Azizah yang menjerit memanggilnya. "Mbak Alya nakal, Ummi!"

"Assalamualaikum, Ummi," ucap Alya setibanya di dapur.

Fathimah--Umminya Alya--menoleh, menjawab salam putri sulungnya itu lalu mempersembahkan senyum terindahnya.

"Alhamdulillah sudah pulang kamu, Nak." Fathimah mengusap lengan kanan Alya setelah putrinya itu mencium punggung tangannya.

"Iya, Mi. Belum selesai goreng pisangnya, Mi? Mau Alya bantu?"
"Enggak usah, Sayang. Tinggal goreng ini aja, kok. Sebentar lagi Ummi akan antar ke Bu Husna."

"Emm, emang pesan berapa, Mi? Kok kayaknya banyak." Alya mendapati beberapa kotak telah terisi pisang gores krispi buatan sang ummi.

"Alhamdulillah lumayan, Al. Bu Husna pesan 50.000. Katanya ada keluarga besarnya yang bakal datang berkunjung."

"Alhamdulillah ya, Mi. Atau nanti Alya aja yang antar, ya."

Fathimah menggeleng. "Enggak usah, Nak. Udah sana kamu mandi aja dulu, nanti temenin adik kamu ngerjain PR, ya."

"Iya, iya, Mi. Ya udah, Alya ke kamar dulu, ya, Mi." Alya pun segera berlalu, setelah mendapat anggukan sang ummi.

Setibanya di kamar, ia hendak mengambil ponselnya yang berada di tas. Saat itulah ia melihat amplop pemberian Rama. "Oh iya, aku penasaran banget dengan isi amplop ini. Kira-kira isinya apa, ya?"

Alya pun mengurungkan niatnya yang akan mandi. Rasa penasaran, membuat ia tak sabar untuk segera tahu apa amplop itu. Hadiahkah atau sebuah kejutan dari apa?

"Emm, masak iya, sih ini surat pengajuan lamaran? Ah, emang kalau mau ngelamar aku seperti ngelamar kerjaan?" Alya terus menggerutu sampai akhirnya, ia berhasil membuka dan melihat isi amplop yang isi beberapa lembar kertas itu.

Perlahan tapi pasti, gerak tangan Alya mengambil kertas itu. Alisnya sontak tertaut, saat melihat kertas yang agak tebal berbentuk amplop undangan berwarna hijau botol bermotif pita keemasan. "Undangan?" gumam Alya, penasaran.

Di bagian depan amplop terdapat dua huruf dengan bentuk tulisan indah R dan S. "Er?" ucap Alya sangat lirih, diiringi debar hatinya karena feeling-nya mulai tidak enak.

Alya meneruskan aksinya, membuka amplop itu lalu mengeluarkan isinya dengan rasa penasaran yang semakin menggebu.

Damn, hatinya seakan tertusuk sembilu. Desiran dahsyat yang membuat aliran darahnya seakan memanas ia rasakan. Air matanya begitu cepat menggenang di pelupuk mata dan tidak bisa lagi dicegah untuk mengalir beberapa tetes.

"Sa-sarah? Enggak, enggak. Nggak mungkin Bang Rama menikah dengan Sarah. Ini pasti Bang Rama pasti hanya ngeprank aku. Atau Rama ini bukan Bang Ramanya aku." Alya buru-buru menghapus air matanya, lalu mengambil ponsel yang tergeletak di sampingnya dan bergegas mendial nomor laki-laki itu. Nada panggilan terhubung, tetapi tak kunjung terjawab hingga nada terhubung itu berakhir.

Alya tak menyerah terus menelepon Rama dengab hati yang sangat berharap jika apa yang ia lihat ini hanyalah canda, bukan fakta. Sampai beberapa menit berlalu, entah sudah berapa kali Alya mendial nomor itu, tetap saja tak ada jawaban. "Aaarrrgh."

Alya membanting ponselnya ke kasur. Kecewa, kesal, sakit, dan perih seakab menjadi satu dalam hatinya.

Melihat sebuah kertas terlipat rapi tergeletak di pangkuannya. Buru-buru Alya ambil, lalu membuka lipatan itu. Gadis itu menatap ukiran pena yang ia yakini itu adalah tulisan tangan Rama. Ia baca rangkaian kalimat yang panjang itu perlahan.

Assalamualaikum, Dik Alya.
Sebelumnya, aku mohon beribu-ribu maaf kepadamu, Dik. Maaf, jika telah membuat mata indahmu mengeluarkan air mata. Maaf, jika telah membuatmu kecewa, marah dan sakit hati. Maafin Abang yang tidak bisa menepati janji untuk menyatukan cinta kita menuju ikatan halal. Maaf, jika Abang pada akhirnya memilih keputusan yang sudah membuatmu bersedih.

Maaf ya, Dik, jika ketidak berdayaan Abang, membuat Abang menerima perjodohan ini. Ini adalah permintaan guru yang sangat Abang takzimkan, Dik. Abang tidak bisa menolaknya. Namun, dibalik persetujuan Abang dalam perjodohan ini. Ada sebuah hal fatal yang tidak memungkinkan kita bersatu. Maaf, untuk hal ini Abang tidak bisa cerita di surat ini. Intinya, kita harus berusaha melupakan rasa yang telah terlanjur terpatri di hati kita masing-masing. Kita harus bisa move on.

Perlu kamu tahu, Dik. Saat menulis rangkaian kalimat ini. Sungguh perih hati Abang. Dada rasanya nyesek banget. Tapi mau bagaimana lagi. Inilah takdir yang harus kita terima. Cinta tak harus memiliki, karena Allah telah memilihkan jodoh yang terbaik buat kita.

"Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan- perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan- perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga)." (QS An-Nur:26)

Kamu pasti pernah baca ayat ini, kan? Apalah yang bisa dilakukan manusia, jika Allah telah mempersiapkan dan menakdirkan kita dengan pasangan yang Allah tetapkan sebelum kita lahir ke dunia ini. Pasanganmu memang bukan Abang, tetapi Abang yakin, kamu adalah wanita yang baik, pasti akan mendapatkan jodoh yang baik pula. Malah, bisa jadi laki-laki itu lebih baik dari Abang.

Sekali lagi maafin Abang ya, Dik. Abang doain, semoga kebahagiaan akan selalu menyertaimu setelah ini.

Wassalamualaikum wr. Wb

Alya meremas kertas itu setelah membacanya sampai tuntas. Air mata yang sejak tadi mengalir tak ia hiraukan. Hatinya seakan tercabik-cabik saat membaca kalimat demi kalimat tulisan Rama. "Ini bukan prank, ini kenyataan," batin Alya lalu menghamburkan tubuhnya ke kasur lalu menjerit saat wajahnya tertutup bantal. Aaaaaa!"

.
.
.
.
.
Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro