Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Jurit Malam by Catsummoner


Gedung sekolah lama itu angker. Setidaknya begitulah kata orang-orang. Lalu karena ide seseorang, 5 orang sudah berkumpul di halaman belakang sekolah dasar yang memang tak seberapa jauh dari tempat mereka menginap selama karyawisata.

"Udah pada bawa semua, kan?" Thomas yang paling besar di antara mereka bertanya sambil mengacungkan senter sakunya.

"Menurutku, sebaiknya kita kembali ke penginapan sekarang, sebelum para guru sadar." Alex membetulkan kacamata yang nyaris tertutup rambut lurusnya. Walau sudah diikat rapi di tengkuk, masih ada sebagian yang menutupi sisi wajah.

"Ih, nggak seru! Kita udah susah payah sampai di sini!"

"Betul! Betul!"

Protes dua orang gadis, walau mereka kelihatan saling berpegangan tangan dan beberapa kali melirik was-was pada gedung tua yang akan mereka masuki.

"Kau juga setuju, kan?"

Pertanyaan dari salah seorang gadis itu membuat yang diajak bicara terlonjak.

"Oh, eh ... Umm. I-iya. Seru. Asyik." Pemuda itu mengacungkan jempol.

Alex menghela napas. Dilihat dari kadar kepucatannya—warna sawo matang di wajah itu sampai nyaris mengarah ke kelabu, hampir pasti pemuda yang terakhir itu tidak ingin berada di situ. Begitu juga dengan dirinya.

Dia sendiri berada di situ, karena Thomas nekad datang. Mereka sekelompok dan sekamar di acara karyawisata. Apabila guru sampai tahu si Bongsor itu tak ada di kamar, Alex bakal kena semprot juga. Karena itu dia terus-menerus berusaha membujuk Thomas untuk membatalkan niatnya menjelajah gedung tua di hadapan mereka.

Sedangkan dua gadis yang mengitari teman bongsornya seperti pemandu sorak pribadi itu anggota fans club Tomas. Mereka mengekor si Bongsor ke mana-mana sejak karyawisata dimulai. Memanfaatkan kesempatan di saat saingan mereka, sesama anggota fans club, tak ada.

"Gedung tua bukan tempat yang bisa didatangi hanya dengan berbekal senter, Thomas. Kita tak tahu apakah strukturnya masih aman. Mungkin juga ada orang berbahaya yang bersembunyi di sana," Alex kembali mencoba meyakinkan teman bongsornya untuk kembali.

"Karena itu, kita ke sana untuk periksa!" Bukannya takut, pemuda bongsor itu malah semakin antusias.

"Jangan khawatir, kalau ada apa-apa biar aku yang maju!" Thomas menambahkan sambil berpose flexing otot lengannya yang tidak terlihat—karena dia mengenakan sweater hoodie.

Alex baru akan membujuk pemuda yang ketakutan di sebelahnya untuk ikut meyakinkan yang lain, tetapi pandangan mata yang lurus pada salah seorang dari cheerleader, membuatnya mengurungkan niat. Alasan pemuda itu ikut pastilah gadis yang dipandanginya itu.

"Oke. Kita sepakat, ya! Yuk, berangkaaat!"

Thomas dengan riang menuju pintu ganda gedung sekolah tua, diikuti duo cheerleader dan seorang pemuda yang terus-menerus melihat sekeliling dengan was-was. Gagang pintu dari tembaga yang sudah menghijau karena teroksidasi ditarik, decit dan derit memilukan yang entah dari bagian mana pintu tua itu merintih panjang, menggema pada dinding-dinding lorong yang gelap dan suram.

Cukup untuk membuat rombongan riang mereka terdiam.

"Wah, ternyata tidak terkunci!" komentar Tomas, disambut helaan napas lega dan komentar bernada senada dari duo cheerleader.

Alex menghela napas juga dengan alasan yang berbeda. Harapannya: petualangan nekad Thomas batal karena pintu masuk terkunci, pupus. Ogah-ogahan, diikuti juga rombongan teman-temannya yang sudah masuk lebih dulu itu.

Setidaknya kalau ada apa-apa dia bisa segera berlari keluar untuk minta bantuan orang dewasa.

Lantai papan yang sudah tua berdecit setiap kali mereka melangkah. Lumayan membuat riuh suasana, andai saja decitnya tak memantul di dinding-dinding lorong dan tidak diikuti derit lirih dari berbagai penjuru yang mereka tak tahu pasti asalnya. Lampu penerangan di luar hanya mencapai beberapa meter dekat jendela. Mereka hanya bisa mengandalkan senter saku masing-masing untuk melihat pijakan.

"Suara apa itu?!" cicit salah seorang cheerleader, sambil mencengkeram lengan rekannya.

"Jangan bikin takut, Millie ... Aku tak dengar apa-apa!"

Thomas menghentikan langkah. Ikut memasang telinga. Samar mereka mendengar suara sesuatu menggelinding ringan. Berdesir lalu menghantam sesuatu yang keras.

Para gadis terkesiap, bergegas merapatkan diri di belakang punggung Thomas. Sementara pemuda bongsor itu melirik pada teman sekamarnya, seperti meminta kepastian bahwa apa yang mereka dengar itu sama. Alex hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.

"A-a-anu ... Mending kita balik aja, deh," gagap pemuda yang terakhir. Lirih. Posturnya yang nyaris setara dengan badan bongsor Thomas terlihat menciut. Sebelah tangannya diusap-usap ke lengan satunya dengan gelisah. "Tempatnya berdebu. Lembab juga."

"Aku setuju dengannya, Thomas."

Pemuda bongsor yang masih digandoli duo pemandu sorak mendengkus kecewa.

"Tapi kita sudah sampai di sini. Lagian kamu, tuh siapa, sih?" tunjuk Thomas pada sosok di sebelah Alex. "Kenapa ikut-ikutan ke sini. Padahal, kan yang kuundang Jurit Malam cuma teman-teman sekelas?"

"Eh, a-aku Budi. Dari kelas sebelah."

Alis Thomas naik dengan sangsi. Kalau memang ada murid bernama Budi dari kelas sebelah, pastilah di luar lingkungan pertemanannya.

"Apa betul dia dari kelasmu, Millie?" tanya si Bongsor memastikan.

"Nggak tahuuu ... Nggak kenal!"

"E-eeeh??? Jahat! Millie, kenapa kamu bilang gitu?!"

Thomas baru akan menghardik pemuda yang mengaku bernama Budi ketika Alex mengacungkan telunjuknya lalu mendesis tajam. Seketika mereka semua kembali terdiam.

"Ada yang datang," bisik pemuda berkacamata itu. Membuat Thomas buru-buru menurunkan sorot cahaya senternya, diikuti yang lain.

Diarahkan oleh Alex, mereka semua memasuki salah satu ruangan yang pintunya tak tertutup. Menempelkan punggung ke dinding sambil mendengarkan dengan seksama.

Langkah-langkah beberapa orang, diiringi decit riuh papan lantai. Kemudian desir benda menggelinding yang sama kembali terdengar. Semakin lama semakin jelas.

Mata Thomas membulat. Dia mengenali suara itu.

Suara benda menggelinding yang terbentur sesuatu, lagi-lagi terdengar lebih jelas. Dan kali ini ditambah sesuatu yang berat terjatuh berdebam, diikuti derai tawa bersahut-sahutan.

"Bodoh, kau!"

"Siapa suruh meluncur di lorong bobrok. Papannya saja banyak yang ngacung-ngacung di ujung!"

"Ya, gimana. Tadi baru gelinding bentar di bangsal, kalian ngajak udahan. Kayak baru nyelupin kaki di kolam, udah diajak mentas waktu berenang."

Tawa riuh kembali terdengar. Bahkan Budi harus susah payah menahan diri untuk tidak ikut tertawa.

"Salahkan si Budi. Dia nggak datang-datang. Awas saja, nanti kukasih lintah di lokernya, pulang karyawisata nanti."

Mereka yang sedang bersembunyi melirik pada ekspresi campuran kesal, jijik, dan takut pemilik nama.

"Aku tak akan meminjamkan skateboard pada mereka lagi," rutuknya pelan setelah memastikan suara-suara di lorong sudah tak terdengar lagi.

Thomas menghela napas panjang. Dia sudah tak berselera melanjutkan Jurit Malam lagi. Ajakannya untuk kembali langsung disetujui semua.

"Di mana kau simpan skateboard-mu?" tanya Alex ketika mereka semua berjalan kembali ke penginapan.

"Ketinggalan waktu buru-buru ikut kalian," cengir Budi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro