Suara-suara itu tidak berhenti mengusik Nicole sejak ia sadar dari tidurnya. Ia merasa ada banyak orang yang sedang berbicara di dalam kamar sempit itu sebelum Kickstart My Heart milik Möntley Crüe mengusir semuanya dalam sekejap. Nicole mengutuk lagu band favorit kakeknya yang diputar setiap pagi itu.
"Matikan itu atau kuhancurkan seluruh kasetmu, Peter!" Nicole bergegas keluar dan mengecek kotak pos hanya untuk mendapati tak ada surat dari Berkeley maupun harvard yang bisa membawanya melarikan diri dari Indiana yang membosankan.
Hanya ada secarik kertas berisi sebaris kalimat. Ia sudah mati, Nicole.
"Itu surat cinta, ya?"
Nicole segera menyembunyikan pesan itu di dalam sakunya. "Bukan," jawabnya. "Bukan apa-apa." Nicole tahu ia tak pandai menyembunyikan sesuatu dengan baik, ia bahkan belum sempat memproses arti kalimatnya.
"Serius?" Budi mengangkat alisnya tak percaya.
"Lupakan. Kenapa kau sudah bangun?" Nicole masih ingat, Budi baru pindah ke rumah seberang jalan sepuluh tahun yang lalu. Bukan waktu yang sebentar untuk mengingat kebiasaan tetangganya.
Budi tak menjawab, ia menyodorkan halaman depan koran dengan tajuk berita bercetak tebal. "Lihat mahakarya kita." Nicole melotot lebar, ia bingung harus bereaksi seperti apa. Ini bukan hal yang ia inginkan.
"Aku setuju mengikutimu bukan untuk membuat kebakaran sebesar ini." Wajah Nicole sudah memerah. Kebakaran yang baru saja mereka sebabkan bukan sesuatu yang kecil, itu sudah menghanguskan sebuah lahan kosong yang cukup besar. Sebelumnya mereka hanya membakar tempat-tempat kecil seperti bangunan tua atau tempat pembuangan sampah.
Budi tersenyum miring. "Ayolah, kau tidak seru." Ia mengambil kembali koran di tangan Nicole. Budi melihat sekitar dengan hati-hati sebelum mencondongkan badannya dan berbisik tepat di telinga Nicole. "Semua orang ke gereja pagi ini, bagaimana menurutmu?"
Nicole buru-buru mendorong Budi menjauh. "Aku mau ke gereja."
"Kau kan ateis."
"Aku panteis."
"Sejak kapan?"
"Baru saja, " kata Nicole sebelum berbalik dan masuk ke rumah. Ia tahu budi akan mengajaknya melakukan pembakaran lagi. Biasanya mereka akan melakukannya saat orang-orang sedang berkumpul di suatu tempat. Kouts hanya kota kecil, semua orang akan beraktivitas di satu tempat.
Suara roda skate board yang bergerak memudar dari pendengarannya. Budi sudah pergi. Nicole masih ingat pertama kali ia memergoki Budi adalah saat membakar mobil kepala sekolah pada musim dingin tahun lalu. Nicole takut sekaligus kecewa pada Budi. Ia kira budi akan berbeda dari cowok-cowok lain di sekolah yang kadang-kadang kurang bermoral. Sejak hari itu berita-berita pembakaran mulai terasa masuk akal baginya. Sebelumnya, Nicole tidak terlalu peduli sampai ia melihat sendiri pelakunya. Dan Budi tak pernah meninggalkan jejak.
Kecanggunggan di antara mereka hanya berlangsung sebentar sampai Nicole menabrak pohon saat menyetir sambil mabuk, Budi mengancam akan melaporkannya. Gadis itu menurut dan setuju membantu budi melakukan pembakaran. Reputasinya tak boleh kacau sebelum meninggalkan Indiana.
Nicole agak menyesal, karena Budi jadi makin seenaknya mengacaukan jadwal Nicole. Ia bisa muncul di mana saja secara tiba-tiba seperti sihir. "Rumah ini punya pintu, buat apa kau memanjat ke kamarku?"
Budi tersenyum. "Supaya dramatis," jawabnya saat sudah menginjakkan kaki di dalam kamar Nicole. Bajunya masih sama seperti tadi pagi, hanya saja ia tak membawa masuk skate boardnya yang patah.
"Kenapa bisa patah lagi?" Tanya Nicole khawatir. Budi terkekeh agak dipaksakan. "Aku jatuh."
"Jatuh macam apa sampai papanmu rusak begitu?" Budi tak menjawab, udara di kamar Nicole terasa semakin tipis saat gadis itu berjalan mendekat dan menyentuh wajah Budi. "Ini kenapa? Kau memar."
Budi segera menyingkirkan tangan Nicole dari wajahnya. "Kau menekannya, sakit tahu."
Nicole menghela napas. "Maaf. Jadi, kau kenapa? Siapa yang memukulmu?"
Budi menggeleng kuat. "Tidak ada yang memukulku, aku hanya terjatuh. Sungguh."
Ini bukan pertama kalinya Nicole melihat ada memar di wajah budi. Seingatnya itu sudah ada saat mereka masih kelas 1 SMA. Nicole tidak mungkin bisa mengabaikannya lagi. "Jujur padaku, apa yang sebenarnya terjadi? Kau jadi pendiam sejak kelas 1. Apa ada yang mengganggumu?"
"Tidak ada apa-apa, Nicole."
Nicole menendang kaki budi sebelum berjalan menjauh dan menempel ke dinding. Ia kesal. Mengapa dari sekian banyak orang yang dikenalnya ia hanya terus memikirkan keadaan Budi seakan ia adalah ibu yang melahirkannya.
"Kau kesal ya?" Budi berdiri dan mendekati Nicole yang lagi-lagi mendorongnya menjauh. "Siapa yang tidak kesal kalau temanmu tak mau menceritakan apa-apa padamu?" Nicole memalingkan wajah, tak mau menatap Budi.
Budi tersenyum tipis. "Aku akan menceritakannya padamu malam ini. Setelah pembakaran terakhir kita."
Nicole percaya pada Budi, tetapi ia tak yakin cowok itu percaya padanya. Budi sudah merencanakan pembakaran terakhirnya, hanya saja Nicole tak pernah diberitahu kalau lokasinya adalah sekolah mereka.
"Kau gila?"
"Aku sudah menyebar minyaknya, sebaiknya cepat kalau kau tak mau tertangkap." Budi pergi meninggalkan Nicole begitu saja dengan alat pembakarnya. Ia berusaha menahan isakan di balik helm hitam anti api. Nicole benar-benar bingung dengan alur pemikiran Budi. Dalam hatinya ia sungguh ingin tahu apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan Budi. Kenapa sulit sekali bagi budi untuk memberitahunya seakan mereka tak pernah berteman.
Budi kembali beberapa saat kemudian hanya untuk menemukan Nicole duduk sambil menangis. "Kenapa kau masih di sini?"
Nicole menatapnya dengan mata sembap. "Budi, apa kau tak percaya padaku?" Budi mengerutkan kening bingung. "Apa kau sebegitu tidakpercayanya sampai tidak mau menceritakan apapun padaku? Apa kita benar-benar berteman? Atau hanya aku yang menganggapmu temanku?"
"Justru aku sangat percaya padamu, Nicole."
"Lalu kenapa kau tak mau mengatakan sesuatu? Pernahkah kau berpikir betapa betapa khawatirnya diriku melihatmu selalu memar?"
Budi mengusap wajahnya tak sabar. "Jika aku jujur padamu apakah kau masih mau berteman denganku?"
Nicole menganga tak menyangka. "Kau pikir kita baru berteman sehari? Aku bahkan sudah pernah melihatmu telanjang."
Budi belum sempat menanggapi saat langit-langit di tempat itu mulai retak. "Kita bahas lagi nanti, kau pulanglah dulu. Akan kubereskan ini." Peralatan Budi masih di dalam, ia berniat mengambilnya. Nicole bergeming, mematapnya penuh sangsi. "Aku janji, Nicole," lanjut Budi.
Untuk pertama kalinya, Nicole pulang sendirian dari lokasi pembakaran karena Budi terus mendorongnya agar cepat pergi.
***
Nicole bangun dari tidurnya akibat suara berisik di dalam kamar dan musik keras yang diputar kakeknya. Nicole mengecek kotak pos, tak ada apa-apa kecuali kertas berisi barisan kalimat. Ia sudah mati, Nicole.
"Itu surat cinta, ya?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro