Satu
Judul: Bu, Maaf - Satu
Penulis: Jafreida
Publikasi: Juli 2017
Revisi: 16 Februari 2022
~
"Kamu udah sholat maghrib?" Tanya seorang perempuan setengah baya yang kini duduk disampingku.
Aku menggeleng tanpa berniat meliriknya. Sibuk menghabiskan makanan yang ada didepanku.
"Astaghfirullah.. Ayna, ini udah hampir isya. Dan kamu belum aja sholat? Ngapain aja kamu dari tadi di kamar?"
Aku mengangkat bahu tak acuh. Ini bukanlah pertama kalinya aku mendengar pertanyaan itu. Setiap hari, bahkan mungkin setiap saat.
Perempuan di sampingku mengelus dadanya. Mungkin dia mulai lelah memberiku pertanyaan itu setiap hari dan hanya dijawab dengan acuh olehku.
Ayolah ibu.. kalo cape, lebih baik menyerah saja. toh jawabanku selalu sama kan? Batinku.
"Ayna.." panggilnya lirih.
Oh Rupanya dia belum menyerah dengan sikapku. Aku menoleh menghadapnya tanpa menghentikan kegiatanku.
Dia menatapku sayu, lalu menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Dan aku hanya diam sambil menebak-nebak apa yang akan dia katakan. Dia pasti akan memulai ceramahnya malam ini. Jiwa muballighah sewaktu mudanya masih melekat hingga di usia tuanya sekarang.
"Menunda sholat itu tidak baik nak, kamu kan tahu orang yang melalaikan sholat itu akan celaka..."
Benar saja tebakanku. Dia memulai ceramahnya malam ini. Tanpa berniat mendengarkannya, aku beranjak menuju kamarku. Meninggalkan makanan yang masih seperempat piring itu. Dan ibu yang masih bicara.
"Ayna! Dengarkan ibu malam ini saja bisa tidak? Kalo malam ini kamu dengarkan ibu, ibu tidak akan mengulanginya besok malam dan seterusnya. Ibu janji!" Ibu setengah berteriak, tapi aku tidak menghiraukannya sama sekali.
Aku tetap berjalan kekamarku. Samar-samar kudengar suara isakan. Sepertinya dia menangis lagi. Dan aku tak peduli. Ini terlalu biasa bagiku.
Setibanya di kamar, aku mendapati hp-ku berkedip-kedip menandakan sebuah pesan masuk. Aku meraih benda pipih segi panjang itu lalu merebahkan tubuhku dikasur.
Aku tersenyum setelah membuka pesan singkat itu
Fian
Ay, besok pulang sekolah sibuk nggak?
Fian, dia adalah salah satu teman sekelasku. Diam-diam aku menyukainya. Tentu dengan semangat, jari-jariku bergerak membalas pesannya
Ayna
Nggak kok. Kenapa?
Tak lama, Fian membalas pesanku
Fian
Udah ngerjain tugas ibu Endang?
Ayna
Belum. Kamu?
Fian
Aku juga belum. Gimana kalo besok kita kerjain bareng?
Ayna
Ok. Besok ya?
Fian
Iya. Ntar pulang sekolah di perpustakaan, gimana?
Ayna
Okee
Fian
See you tomorrow:)
Ayna
See you :)
Hanya itu. Tapi mampu mengembalikan mood-ku yang nyaris buruk itu. Aku tersenyum mengingat wajahnya. Oh ayolah.. adakah orang yang tidak bahagia jika mendapat pesan dari orang yang dicintainya?
Apalagi dia jarang mengirim pesan padaku. Dan tadi dia mengajakku mengerjakan tugas bersama. Memang sih bukan untuk yang pertama kalinya. Tapi tetap saja walaupun itu terjadi setiap hari, aku tidak akan bosan bila bersama Fian.
...
Sepi. Itu yang aku rasakan sekarang. Sepertinya Fian tidak berniat membalas pesanku. Ya memangnya dia mau balas apa? Jelas-jelas, pesannya memang sudah berakhir. Padahal aku masih ingin mendapat balasan. mau kirim pesan duluan, tapi... ah sudahlah.
Kupandangi langit-langit kamarku. Disana hanya ada lampu bulat yang menerangi kamar ini. Aku merasa... bosan?
Dulu, tak ada kata bosan di saat-saat seperti ini. Ayahku selalu menjadi pengusir rasa bosan dihidupku. Dia selalu punya cara untuk membuatku senang. Ntah itu dengan mengajak main, belanja, atau sekedar melihat-lihat pasar malam.
Tapi itu dulu, sebelum ayah pergi untuk selamanya. Kini itu semua hanya sebagian kenangan masa laluku.
Tanpa kusadari, tetesan air bening meluncur ke pipiku dengan bebas. Aku menangis. Menangisi kepergian ayah yang telah lewat dua tahun lebih itu. Rasanya aku belum bisa melepas kepergian ayah sampai sekarang. Bagiku dia tak tergantikan oleh siapapun termasuk ibu.
Ah iya, mengingat ibu, aku rasa dia berubah sejak kepergian ayah. Dia jadi lebih sering berceramah sekarang. Ya memang sih wajar saja seorang ibu khawatir ketika anak satu-satunya sering telat pulang kerumah. Tapi aku merasa dia terlalu berlebihan. Jadi aku mengabaikannya. Lalu dia akan menangis. Sering sekali dia menangis karna aku, padahal aku sendiri tidak pernah menangisinya...
Saat ayah masih hidup, ibu tidak seperti ini. Dia sama seperti ibu yang lainnya. Dia tidak cengeng, aku pun bersikap biasa saja padanya. Tapi yang membuatku bersikap acuh padanya saat ini, mungkin karna dulu aku tidak begitu dekat dengan ibuku. Aku terlalu dekat dengan ayah sampai jauh sekali dengan ibuku.
Perlahan aku memejamkan mataku dan menutupi kedua telingaku dengan bantal guling. Agar suara isakan ibu yang semakin jelas itu luput dari pendengaranku..
Ibu masih menangis,
Dan aku tidak peduli.
◇◇◇◇◇◇
Pagi ini, ibu menjadikan aku badmood lagi. Aku kesal dengannya. Bagaimana tidak? Aku rasa dia dengan sengaja tidak membangunkanku.
Alhasil, aku terbangun pada pukul 06:03. itupun karna suara buku cetak biologi yang amat tebal jatuh dari atas kasurku. Aku kaget dan terbangun. Saat tanpa sengaja aku melirik jam weker diatas meja belajarku, sontak saja aku marah mengetahui ibu yang biasanya membangunkanku setelah sholat shubuhnya, tidak membangunkanku hari ini.
Aku membanting pintu kamarku. Berlari menuju ruang makan yang menyatu dengan dapur. Disana ibu sedang mengaduk nasi goreng yang belum matang dan masih diatas kompor yang menyala. Dia memegang dadanya sambil mengatur nafasnya. Dia kaget saat aku membanting pintu kamar tadi.
Aku langsung mengeluarkan kekesalanku padanya. Dia menatapku bingung seolah tidak tau dimana letak kesalahannya.
"Astaghfirullahal'adziim... maaf ibu lupa, sayang" katanya beralasan.
"Ah, ibu sengaja kan nggak bangunin Ayna?" balasku dengan marah.
"ibu beneran lupa bangunin kamu. Udah jangan marah lagi ya, sarapan dulu" Ibu membalikkan badannya dan mematikan kompor lalu memindahkan nasi goreng dari wajan ke piring.
"kok bisa ibu lupa? Itu kan hampir setiap hari ibu lakuin.." aku menghalangi jalannya menuju ruang makan.
"Tadi ibu bangun agak kesiangan, jadi ibu gak sempet bangunin kamu. Lagian ibu kan udah tua. Udah mulai pikun nak.." jawab ibu dengan tenang, tak terpancing oleh emosiku sama sekali.
"Aah.. aku gak peduli. Pokoknya kalo ini terjadi lagi, aku gak akan mau ngomong sama ibu lagi!".
Ibu terdiam mengamatiku. Lalu dia berkata "yaudah. Ibu janji ini gak akan terjadi lagi. Sekarang ayo sarapan dulu" dia hendak menarik lenganku ke meja makan. Tapi aku menepisnya.
"Gak!" Kataku sambil membentaknya dan berlalu begitu saja.
Tanpa meliriknya, aku tau raut wajahnya berubah seketika. Yang tadinya tenang dan berusaha ceria, menjadi sedih dan kecewa.
Dan lagi-lagi aku tidak peduli.
⏬⏬⏬⏬⏬⏬⏬⏬⏬⏬⏬⏬⏬⏬⏬
Haihai..
Ini cerita pertama yang aku publish. Jadi mohon maklumi jika ada kesalahan apapun yaa..
Aku butuh komentar kalian. Barangkali ada yang perlu aku perbaiki, jadi aku tunggu komentarnya ya🙏
Sekian.
Semoga kamu gak bosen deh bacanya yah..😊
~Jafreida
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro