Different
Di panggung tempat para petinggi desa dan orang-orang penting lainnya, Samuel tengah berbincang-bincang dengan kepala desa.
"Sam, pertandingan berikutnya akan mempertemukan kedua putra Jolyon. Nah, katakan padaku. Menurutmu, mana yang akan menang?" tanya kepala desa sambil meminum anggur. Samuel menghabiskan roti yang tengah dikunyahnya dulu, lalu melihat ke arah arena dimana kedua bersaudara telah berdiri.
"Anthony." Jawabnya tanpa ragu. Alis kepala desa naik sedikit, penasaran atas jawaban Samuel. "Ho, mengapa begitu?"
"William masih hijau dan tidak cocok untuk pertarungan seperti ini. Kulihat ia masih belum sepenuhnya menguasai teknik bertarung. Tidak bisa kusalahkan juga karena ia anak Jolyon, yang merupakan seorang petani. Setidaknya ia rajin menggarap ladang pemberian anda, kepala desa. Saya mengucapkan terima kasih atas kemurahan hati anda." Samuel memberikan penjelasannya dan menundukkan kepalanya. Kepala desa hanya mengangkat tangannya seolah-olah mengatakan itu bukan masalah.
"Aku hanya ingin meringankan beban keduanya. Bagaimanapun juga, sawah merupakan sumber penghasilan bagi desa Myur. Dengan memberikannya pada mereka menurutku adalah hal yang pantas, dan dari situ kita juga mendapatkan hasil panen yang melimpah. Bukankah begitu bagus?"
"Hahaha. Anda benar." Keduanya lalu melanjutkan pembicaraan menuju topik yang berbeda.
---
Seluruh perhatian arena tertuju pada kedua kontestan yang siap dengan senjata serta perlengkapan mereka masing-masing. Anthony dengan pedang 2 tangannya melawan William dengan pedang dan perisai. Keduanya tidak melepaskan pandangan dari satu sama lain. Menunggu sinyal pertarungan dimulai. Debu beterbangan oleh angin kencang yang berhembus. Teriakan wasit menandakan awal pertarungan membuat seluruh arena bersorak semangat. Kedua pemuda yatim piatu yang dikenal oleh warga desa. Yang satu mahir bermain senjata, yang satunya pandai mengasah otaknya sambil membajak sawah.
Anthony memegang pedangnya di posisi samping, bersiap melancarkan sabetan samping atau ke atas. William sudah menduga kakaknya akan memusatkan tenaganya dalam satu serangan telak yang bisa meruntuhkan pertahanannya. Ia mengincar saat Anthony terbuka lebar setelah melakukan serangan. Mungkin butuh beberapa kali tusukan untuk menjatuhkan kakaknya, tetapi ia yakin cara ini pasti bisa.
Keduanya berputar-putar menunggu celah, memastikan langkah pertama mereka menjadi kunci kemenangan. Tiba-tiba, Anthony berhenti berputar lalu menurunkan pedangnya. William tanpa sadar melemahkan pertahanannya. Anthony tidak membuang waktu lagi untuk mengangkat pedangnya.
"HAAAH!!" Sabetan bertubi-tubi dengan kekuatan penuh menghujani perisai William. Ia berlindung di bawahnya namun dampak hantamannya tetap sampai hingga mendorongnya mundur. Setelah beberapa kali, Anthony menjatuhkan 1 sabetan terakhir yang menghancurkan perisai milik William seketika.
"Agh!"
"Berdiri Will! Pedangmu masih ada, ini belum selesai!" Seru Anthony sambil bersiap melakukan serangan berikutnya. William tampak terguncang. Pertama kalinya ia melihat Anthony seperti itu. Berbeda saat latihan. Kali ini ia benar-benar tidak menahan diri. William bangkit dengan menggunakan pedangnya untuk menopang.
"Hyah! Hah! Uagh!" "Gh! Hait! Saah!" Keduanya mengadu pedang mereka. Awalnya terlihat kalau William yang menyerang. Sayangnya, sabetan terakhirnya meleset dan Anthony mengayunkan pedangnya telak mengenai William.
"UAAH!" William terhempas dengan keras hingga beberapa meter. Dia tergeletak tak berdaya. Melihat hal itu, penonton menjadi senyap. Mereka tidak menduga Anthony tidak menahan diri bahkan kepada adiknya sendiri. Ekspresi mereka berubah pucat melihat Anthony bersiap menyerang lagi. Samuel segera melompat masuk ke arena dan meminta wasit menghentikan pertandingan.
"Paman Sam! Apa yang paman lakukan?" protes Anthony namun raut wajah Sam membuatnya bungkam.
"Keterlaluan! Ini bukan perang Anthony! Itu adikmu! Jelas kalau dia sudah tak mungkin melanjutkan pertarungan! Kau lanjutkan lebih dari ini dia bisa terluka parah!"
"Aku berjanji padanya untuk tidak menahan diri! Paman jangan menghentikanku!"
"Jangan membuatku melakukan hal yang akan kau sesali nanti, bocah. Sudah, istirahat saja untuk semifinal. Biar aku yang menemani William."
Setelah keduanya beradu mulut, Anthony meninggalkan arena. Tak ada tepuk tangan maupun pujian. Anthony merasa kesal. Hatinya sakit. Kepalanya tertunduk hingga ia menghilang ke dalam ruang ganti.
---
"...ugh."
"Ah, kamu sudah bangun."
"Clau...dia?"
"Sebentar, jangan bergerak dulu! Berbaring saja, ya?"
"Ya.." William akhirnya sadar. Claudia menemaninya karena Sienna harus bertanding di semifinal. Keduanya ikut menjaga William setelah Samuel dan panitia membawanya untuk diobati. Rusuknya patah dan sementara ia harus berbaring dulu.
"Apa pertandingan masih berlangsung?" tanyanya pada Claudia sambil meringis. Claudia berdiri untuk melihat dari jendela dan memastikan siapa yang bertanding.
"Pertandingan semifinal sudah selesai. Kakakmu menang melawan Sienna. Sienna jadi panas melihatmu pingsan dan serangannya berantakan. Kakakmu cukup membuatnya pingsan dengan memukul tengkuknya. Jangan khawatir. Ia baik-baik saja. Lihat." Tunjuknya pada Sienna yang tertidur lelap di ranjang seberang. William tersenyum kecil. Lega karena kakaknya masih menunjukkan belas kasihan pada wanita.
"Masih ada yang sakit?" tanya Claudia cemas. William menggeleng.
"Hanya rusukku saja. Sisanya tidak apa-apa. Memalukan sekali ya tadi. Aku benar-benar bukan tandingan kakak."
"Kupikir tidak! Kau berjuang keras dan mencoba membalas! Menurutku, itu merupakan tindakan yang berani." Claudia memprotes perkataan William dengan pipi memerah.
"Begitu ya? Terima kasih sudah mencoba menghiburku. Aku tidak apa-apa."
"...aku serius kok," bisik Claudia sambil menggembungkan pipinya.
"Ya?"
"Ah! Bukan apa-apa!"
Hari itu, Anthony berhasil menjadi juara turnamen. Ia mampu mengungguli lawannya di final walaupun lawannya bukan orang sembarangan. Meskipun begitu, hatinya masih dilanda perasaan bersalah karena melukai adiknya. Ia mempertanyakan apakah menjadi kuat berarti melupakan alasan menjadi kuat itu sendiri. Ia memutuskan segera menghampiri William di tenda pengobatan. Setelah menghirup napas dalam-dalam, ia memasuki tenda.
"Oh...kak Anthony." Claudia maupun Anthony sama-sama kaget melihat satu sama lain.
"Halo...um terima kasih sudah merawat adikku. Maaf jadi merepotkanmu."
"A...anu...itu bukan masalah! Lagipula, Sienna juga ada di sini. Aku harus menunggunya juga."
"Benar juga, apa dia masih belum siuman?"
"Belum. Tetapi, ia paling hanya tidur." Jawab Claudia santai seolah Sienna sudah terbiasa dalam kondisi ini.
"Hahaha." Anthony melihat Sienna yang terlelap. Wajahnya tenang dan damai. Ia tidak bisa menahan diri untuk tertawa kecil.
"Bisa terlihat imut juga ya ternyata.." Ia kemudian menghampiri adiknya.
"Kakak. Bagaimana?"
"Aku menang. Lawanku di final memberikan yang terbaik, tetapi itu belum cukup untuk mengalahkanku." Dengan wajah lelah, Anthony menanggapi pertanyaan adiknya. William tersenyum senang.
"Selamat ya kak! Maaf, aku tidak bisa berada di sana untuk memberi selamat duluan."
"Ya...soal tadi maaf ya."
"Tidak. Kakak tidak salah."
Kedua bersaudara hanya bisa terdiam. Keduanya merasa kesal akan diri masing-masing. William merasa ia lemah. Ia merasa jauh sekali dari kakaknya dalam kekuatan. Anthony merasa kalau dia terlalu terobsesi ingin menjadi kuat, hingga ia lupa alasan mengapa ia ingin menjadi kuat. Dalam hatinya, keduanya bersumpah untuk menjadikan turnamen kali ini sebagai pelajaran dalam menghadapi kehidupan mereka ke depannya.
"Will, sepertinya kali ini kamu tidak usah ikut ke festival. Istirahat saja, nanti kucarikan suvenir buat kamu."
"Haha, daripada itu, apa kakak mau kencan dengan Sienna?" canda William.
"A-aku tidak mengerti maksudmu..."
Semenjak saat itu, keempatnya berteman dekat dan saling membantu dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Dan seperti hal-hal indah yang lain, semua itu akan berakhir.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro