Bab.3
Dara Ayu mengamati dalam keremangan pagi, sosok Reza yang terbujur di atas sofa. Tadi malam, ia agak kesulitan membawa pemuda itu pulang. Ia bahkan meminta bantuan petugas security apartemen untuk memapah pemuda itu hingga sampai di unit-nya. Membiarkan pemuda itu tertidur setelah muntah-muntah dan menenggak obat pereda sakit kepala.
Melangkah perlahan, ia mendekati sofa dan menatap dari dekat wajah Reza yang tampan. Ini pertama kalinya, ia membiarkan seorang laki-laki menginap. Sebelumnya, tidak ada yang pernah datang ke tempatnya selain Melinda. Ia sangat menjaga privacy-nya karena sangat takut akan mengalami banyak gangguan. Mendesah bingung, ia berjongkok di samping sofa dan mengamati wajah Reza lebih dekat.
Tangan Dara Ayu gatal untuk tidak menyentuh wajah pemuda yang pulas di depannya. Dengan penuh kelembutan, telunjuknya membelai kelopak mata yang tertutup, hidung yang mancung dan berakhir di bibir. Ingatannya seketika menyeruak, tentang ciuman mereka tadi malam. Seketika, rasa malu menghinggapinya. Ia masih tidak percaya, bisa berciuman dengan Reza dan mencumbu pemuda itu penuh gairah. Mengutuk diri sendiri, ia beranjak bangkit.
“Kak, aku di mana?”
Suara serak Reza terdengar lirih dalam keremangan. Dara Ayu tertegun lalu kembali berjongkok. “Kamu sudah bangun? Masih pusing?”
“Nggak terlalu.” Reza mengurut kening lalu bangkit dari sofa dan mengerjap untuk menyesuaikan pandangan dengan sekeliling. “Ini tempatmu?”
“Iya, semalam kamu mabuk. Karena aku nggak tega ninggalin kamu sendiri jadi aku bawa kemari.” Meninggalkan Reza sendiri, Dara Ayu melangkah ke dapur yang berada di bagian depan dekat pintu. “Aku buatin kamu sarapan. Kalau kamu kuat bangun sebaiknya ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi. Ada sikat yang masih baru aku taruh di atas westafel dan handuk kecil di sampingnya.”
Reza meregangkan tubuh, melangkah sempoyongan ke kamar mandi. Ia menemukan barang-barang yang disebutkan Dara Ayu dan setelah membersihkan diri, melangkah ke arah dapur. Di atas meja kecil telah tersedia kopi, telur mata sapi, dan aroma mentega menguar di udara. Sepertinya Dara Ayu sedang membuat roti panggang. Dugaannya benar, tak lama wanita itu datang dengan piring putih berisi setangkup roti bakar yang diolesi selai nanas.
“Makan yang banyak, lalu minum obat sakit kepala lagi kalau kamu masih pusing.”
Dara Ayu mengenyakkan diri di depan pemuda itu dan meneguk kopinya, mengamati wajah Reza yang terlihat sedikit lebih segar karena siraman air.
“Kamu kuliah di mana?”
“Universitas Jayanaya,” jawab Reza tanpa mendongak dari atas kopinya.
“Semester berapa?”
“Akhir, sedang skripsi dan ujian.”
“Wow, calon sarjana. Ambil jurusan apa?”
“Teknik kimia.”
“Keren. Kenapa ambil jurusan sulit begitu?”
Pertanyaan Dara Ayu yang bertubi-tubi mengusik Reza. Ia mengambil roti dan menggigitnya lalu menatap wanita cantik dalam balutan daster sederhana di depannya.
“Keluarga kami punya pabrik kaca. Dan, niatku kuliah teknik kimia, berharap bisa bekerja di sana. Itu saja.”
Dara Ayu mengangguk. “Cita-cita mulia, demi keluarga. Kebanyakan karena alasan ingin mandiri, banyak pemuda seumuran kamu tidak ingin terikat usaha keluarga.”
“Awalnya aku juga gitu. Malah cita-citaku ingin jadi pilot.”
“Trus? Orang tua nggak setuju?”
Reza menggeleng. “Bukan, ada alasan lain.”
“Oh, I see. Semoga kamu cepat jadi sarjana.”
“Makasih.”
Dara Ayu bangkit dari kursi, menuju westafel untuk mencuci gelas. Dari tempatnya duduk, Reza memperhatikan betapa wanita tubuh wanita itu terlihat sexy dalam balutan daster bunga-bunga. Kulitnya yang putih, dengan rambut yang digelung ke atas dan menampakkan tengkuk yang mulus, tanpa sadar Reza menelan ludah. Pikirannya tertuju pada peristiwa tadi malam, saat bibirnya menyentuh bibir Dara Ayu dan tangannya membelai tubuh wanita itu. Menahan kesal karena sudah punya pikiran yang tidak-tidak terhadap wanita berdaster di hadapnnya, Reza menandaskan kopinya.
Ia bangkit dari kursi dan membawa gelas ke westafel. Sedikit menahan diri, ia berdiri di belakang tubuh Dara Ayu. Aroma lembuat wanita itu menggelitik hidungnya.
“Kok bengong? Sini gelasnya!”
Ia maju selangkah dan meletakkan gelas dalam westafe lalu memberanikan diri memeluk tubuh Dara Ayu dari belakang.
“Hei, ada apa kamu?” tanya Dara Ayu kaget.
“Nggak ada, pingin meluk aja. Kakak terlihat enak untuk dipeluk,” ucapnya serak di telinga Dara Ayu.
“Mana ada alasan begitu,” kikik Dara Ayu. Namun, ia membiarkan tangan Reza melingkari tubuhnya. “Sana, pulang! Kamu harus kuliah.”
Reza bergeming, makin mempererat pelukannya. Ia meletakkan kepalanya ke bahu Dara Ayu dan seketika merasakan kenyamanan di sana.
“Kok makin manja?”
“Sebentar saja.”
Keduanya berdiri diam, entah untuk berapa lama dengan lengan Reza melingkari tubuh Dara Ayu. Pelukan Reza terasa nyaman di tubuhnya dan hangat napas pemuda itu menerpa telingannya. Ada sesuatu yang menggelitik di dasar hati dan ia mencoba mengabaikannya. Sampai akhirnya pemuda itu pamit pergi dan meninggalkan dirinya dalam situasi aneh yang membuatnya kebingungan.
Setelah peristiwa pagi itu, Dara Ayu tidak lagi menjumpai sosok Reza. Mereka tidak pernah bertemu sekali pun baik di lift maupun di lorong apartemen. Ia menduga pemuda itu sedang sibuk dengan skripsinya. Terkadang, terbersit dalam benaknya untuk menanyakan kabar Reza. Namun, ia ingat tidak punya nomor ponsel pemuda itu. Terpaksa, ia menahan keinginannya.
Suatu siang, Melinda datang ke kantornya dengan heboh. Wanita itu membawa sekotak kue yang baru saja dia beli dari sebuah toko milik artis. Dengan menggebu-gebu ia menerangkan kalau kue yang dia beli enak sekali.
“Isinya banyak dan coklatnya lumer di mulut. Kamu bawa pulang dua kotak ini.”
“Hei, jangan banyak-banyak. Siapa yang mau makan?”
“Aduh, simpan di kulkas. Makan pelan-pelan enak kok. Btw, tadi aku ketemu pengacara sebelah. Makin tampan aja dia. Kamu yakin nggak mau coba kencan sama dia?”
Dara Ayu yang sedang makan kue keju, menggeleng pelan. “Nggak minat! Aku menghargai dia sebagai teman dan hubungan kami memang hanya professional saja.”
“Nggak mau coba kencan?”
“No! Kalau aku kencan sama pengacara itu, seperti membuktikan omongan Aleta kalau aku tidur dengan laki-laki itu demi membayar jasanya di pengadilan.”
“What? Aleta bilang gitu?”
“Iya, itu salah satu alasan aku nggak mengencani pengacara itu.”
Melinda berdecak sambil menggeleng. “Sayang sekali. Padahal dia tampan dan mapan. Kapan lagi kamu dapat jodoh begitu?”
Dara Ayu tertawa lirih. “Hei, jangan bilang soal jodoh sama aku, seakan-akan aku perawan tua yang nggak laku!”
“Kamu laku tapi kamu pemilih!”
“Yah, kamu tahu alasannya kenapa aku pemilih,” sela Dara Ayu pelan. Kelebatan masa lalu yang menyakitkan berputar-putar di benaknya dan tanpa sadar membuatnya bergidik.
Melinda mengangguk penuh pengertian. “Memang, tapi sudah saatnya move on dan menatap masa depan. Mau sampai kapan berkubang pada rasa sakit?”
Dara Ayu mengangkat bahu.“Aku belum punya bayangan untuk itu. Lihat nanti.”
“Semoga cepat. Aku nggak mau kamu sendiri terus. Bukan karena takut nggak laku atau bagaimana tapi, alangkah lebih baik kalau kamu ada yang jagain.”
Sepeninggal sahabatnya, Dara Ayu termenung sendiri. Ingatan masa lalu memenuhi pikirannya. Sudah hampir sepuluh tahun berlalu tapi rasa sakitnya masih nyata. Ia memejam, meraba dada yang berdebar sakit. Tangisan kecewa, sakit hati, dan juga kehilangan kembali menyeruak memenuhi hati. Rasa rindu pada orang tua memenuhi relung sanubari dan ia tercabik pada penyesalan tak bertepi. Meski sering kali ia berandai-andai, seandainya bisa menghindari tentu tidak seperti ini. Namun, ibarat nasi sudah menjadi bubur, hal yang lalu tentu saja sudah terjadi. Kini tertinggal rasa sesal tak bertepi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro