Bab 2b
“Kamu pasti kaget lihat aku nyaris baku hantam sama wanita itu!” ucap Dara Ayu sambil menari.
“Sedikit, apalagi kalian kayaknya saling kenal.”
“Memang, kami mitra dulu. Sampai akhirnya dia menggugatku karen ingin menguasai brand kami sepenuhnya. Serakah!”
“Kak, kamu nari apa lompat? Nanti jatuh,” tegur Reza kuatir.
Tanpa diduga, Dara Ayu yang merasa sedang bahagia, menarik lengan Reza mendekat dan mengalungkan tangannya di leher pemuda itu. Seulas senyum tercipta dari bibirnya yang basah.
“Hei, ayo menari. Kamu kaku amat jadi orang!”
“Nggak bisa, Kak.”
“Bisaaa, pasti bisa.”
Meski enggan, Reza membiarkan Dara Ayu membawanya berputar-putar. Tubuh mereka menempel satu sama lain. Saat ada tamu yang menari tanpa sengaja menyenggol Dara Ayu, dengan sigap ia memeluk dan melindungi wanita itu.
Tubuh-tubuh berkeringat, aroma parfum menguar di udara bercampur masakan dan wangi bunga dari buket-buket di sudut taman. Dengan tubuh menempel satu sama lain, memandang bibir basah Dara Ayu yang memikat, Reza menahan keinginan untuk mencium wanita itu. Entah kenapa, ia bisa punya pikiran aneh seperti itu.
Tanpa diduga Dara Ayu mendekatkan wajah padanya dan melayangkan satu kecupan yang singkat. “Dari tadi pingin kecup kamu, soalnya kamu menggemaskan,” ucap wanita itu sambil terkikik.
“Kak, i-itu apa?” tanya Reza gugup, sambil menjilat bibir bawahnya.
Tergugah dengan apa yang dilakukan Dara Ayu, Reza meraih belakang kepala wanita itu dan mengecup bibir merekah di depannya. Awalnya hanya kecupan biasa, tapi siapa sangka saat bibir bertautan, ia ingin mencicipi lebih.
“Hei, kamu mau berciuman?” tanya Dara Ayu di sela kecupan mereka.
“Bu-bukanya ini ciuman?” tanya Reza gugup. Ia melirik keadaan sekitar di mana banyak orang berkerumun. Namun, sepertinya tidak ada yang peduli dengan urusan mereka.
Dara Ayu tersenyum, jemarinya membelai bibir Reza dan berucap lembut. “Itu hanya kecupan, bukan ciuman. Ayo, sini kuajari cara berciuman.”
Ia melepaskan rangkulan pada lengan Reza dan menyeret pemuda itu menjauhi kerumunan. Mereka melangkah menuju pohon dan tanaman perdu di pinggir taman. Saat mencapai tempat yang agak sepi dengan penerangan minim, Dara Ayu menghimpit Reza ke tembok dan mengamati bagaimana pemuda itu terkesiap.
“Kenapa? Belum pernah digrepe-grepe cewek?” goda Dara Ayu dengan tangan menjelajah dada Reza.
“Su-sudah.” Reza menelan ludah.
“Begini juga sudah?” Dengan sengaja Dara Ayu menyapukan tangan di bagian bawah pusar pemuda itu dan sengaja membelai ringan di atas permukaan kainnya. “Ah, kamu tegang. Kenapa? Bergairah?”
Tidak ada jawaban dari Reza, ia mendekatkan mulutnya pada Dara Ayu dan kembali mengecup bibir wanita itu. Tindakannya membuat Dara Ayu terkikik.
“Sini, aku ajari berciuman.”
Dengan lembut, Dara Ayu mengusap bibir Reza dengan bibirnya. Lalu, menjulurkan lidah untuk membelai bagian dalam mulut, dan mengulum bibir pemuda itu dengan lembut. Tidak memberi kesempatan pada Reza untuk mengelak, ia mencium, mengulum, melumat dengan bertubi-tubi dan penuh gairah.
Reza mengerang dalam hati, merasakan sensasi lembut bibir Dara Ayu di mulutnya. Ia menikmati bagaimana lidah dan mulut wanita itu menggodanya. Tangannya terulur pada pinggul Dara Ayu, sedikit mengangkat tubuh wanita itu dan menempelkan pada tubuhnya.
Mereka bermesraan, dihujani musik yang mengalun keras. Tidak memedulikan gelak tawa dan percakapan sekitar, Reza memeluk erat tubuh Dara Ayu.
Malam makin memanas. Saat pembawa acara mengatakan ada beberapa selebrity yang hadir di acara pesta dan nama Rachelia disebut, serta merta Dara Ayu menghentikan ciumannya.
“Eh, aku nggak salah dengar. Ada nama Rachelia?”
Reza yang kebingungan karena masih diliputi hasrat, hanya mengangguk. “Iya, ada nama Rachelia. Kenapa?”
“Wah-wah, aku datang kemari buat cari dia. Reza, kamu tunggu di sini, ya? Aku cari Rachelia dulu.”
“Eh, tapi ….”
“Sebentar saja, nggak lama!”
Sosok Dara Ayu menghilang di kerumunan dan meninggalkan Reza sendirian serta kebingungan di tempatnya berdiri. Karena tidak tahu mau melakukan apa, ia melangkah ke arah meja prasmanan, berniat mengambil minum. Tepukan pelan di bahu membuatnya menoleh.
“Hei, Reza. Mau minum sesuatu?”
Aldo Taher mengulurkan gelas berisi cairan kemerahan dengan buat ceri tersemat di bibir gelas.
“Minuman apa ini?” tanya Reza curiga.
“Minuman segar. Pokoknya akan bikin kamu bahagia. Tenang saja, nggak beracun.”
“Tapi, aku belum pernah minum al--,”
“Aduh, pokoknya ini enak. Ayo, teguk!”
Sedikit memaksa, Aldo Taher mendorong gelas ke mulut Reza dan membuatnya terpaksa meneguk. Sensasi hangat ia rasakan di tenggorokan dan hampir ia muntahkan jika bukan Aldo Taher terus mendorong gelas dan membuatnya menandaskan minuman itu.
“Nah, gimana, enakkan?”
Reza tidak tahu minuman apa yang ia teguk, tapi ia merasakan tubuhnya menghangat.
“Satu lagi, ini coba. Beda dengan yang tadi.” Aldo Taher menyabet gelas dari seorang pramusaji dan menyorongkannya ke mulut Reza. “Ini lebih enak.”
Berusaha fokus, Reza menggeleng untuk menolak gelas kedua. “Nggak, udah, ya. Makasih.”
“Hei, jangan gitu. Ayolah, ini lebih enak dari yang tadi.”
Sama seperti gelas pertama, Aldo Taher setengah memaksa menuangkan cairan itu ke dalam mulut Reza. Lidahnya mencecap, dan merasakan memang berbeda dengan minuman yang pertama. Ada rasa sedikit manis di minuman kali ini serta beraroma tidak terlalu menyengat. Kali ini, ia menandaskan dengan lebih mudah.
“Nah, kaaan? Kubilang juga apa. Enak,’kan?” Aldo Taher tertawa melihatnya. “Aduh, kamu makin tampan saat mabuk begitu. Ngomong-ngomong, di mana kamu kenal Dara Ayu?”
Reza cegukan. “Ka-kami tetangga.”
“Oh, sudah lama kalian saling kenal?”
Reza menggeleng, ia berusaha berdiri tegak, sementara sekitarnya kini bergoyang tak menentu. Kepalanya sedikit pusing dan perutnya seperti bergolak tak karuan.
“Bagaimana, kita dansa?” bisik Aldo Taher cukup keras didengar di sela musik.
Merasa jijik dengan sentuhan laki-laki di depannya, Reza berusaha menepis kuat. “Pergi! Jangan sentuh aku!”
“Aku cuma ingin membuatmu—“
“Aldo, kamu apain Reza?”
Sosok Dara Ayu muncul dari kerumunan. Meraih tangan Aldo Taher yang hendak menyentuh wajah Reza dan mengibaskannya. “Jangan sentuh dia!”
“Cih, nggak asyik. Baru juga mau main-main.”
“Hei, dia milikku!” teriak Dara Ayu.
Ucapannya hanya direspon dengan gedikan bahu oleh Aldo Taher. Laki-laki itu menatapnya dengan pandangan yang sulit dimengerti.
Dengan menggerutu, Aldo Taher meninggalkan tempat mereka. Dara Ayu menoleh dan mengamati wajah Reza yang memerah. Pemuda itu terlihat limbung.
“Hei, kamu minum alkohol?” tanyanya kuatir sambil menepuk ringan pipi Reza.
“Nggak, cu-cuma mual.”
“Gawat. Tahan, jangan muntah di sini.”
Dara Ayu bertindak sigap, meraih tangan Reza dan membawanya ke pinggiran lalu mendorong kepala pemuda itu agar menunduk. “Ayo, muntah di sini aja.”
Tidak memedulikan tanaman dalam pot yang menjadi korban muntahan Reza, Dara Ayu membiarkan pemuda itu menumpahkan isi perutnya. Dalam hati ia mengutuk Aldo Taher yang telah membuat Reza mabuk dan merasa jika satu tanaman rusak adalah harga yang sepadan.
Selesai menguras isi perutnya, Reza membiarkan dirinya dibimbing menembus kerumunan. Kepalanya berputar tak karuan dan merasa jika tanah yang dipijaknya goyang. Pandangannya tidak fokus dan menatap sosok orang-orang serta lingkungan sekitar yang memburam. Ia terdiam, saat Dara Ayu mendudukannya di kursi mobil dan menyenderkan kepala begitu kendaraan melaju cepat di jalan raya.
“Hei, mana kunci kamarmu?” tanya Dara Ayu pada Reza yang bergelayut di bahunya. Mereka tiba di apartemen yang sepi dan hanya ada mereka di dalam lift. “Reza, fokus. Mana kuncimu.”
Namun, tidak ada tanggapan dari pemuda yang wajahnya memerah dan sepertinya tidak sanggup berdiri tegak. Dengan terpaksa, Dara Ayu membawa Reza ke unitnya. Membuka kunci dengan susah payah lalu memapah dan menidurkan pemuda itu di sofanya. Sebelum beranjak, ia mematikan lampu dan membiarkan Reza tertidur dalam gelap.
***
Sudah tersedia di google play store
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro