Bab.1a
Hujan turun deras mengguyur tanah dan bangunan. Diselingi oleh angin yang bertiup kencang, membuat malam makin terasa dingin membekukan tulang. Di jalanan, kendaraan yang berlalu lalang memercikan air ke sudut-sudut trotoar dan membasahi warung-warung pinggir jalan dengan air kotor yang berasal dari kubangan. Sebuah apartemen berdiri megah di antara rumah-rumah penduduk, air hujan seakan sedang mencuci temboknya.
Dara Ayu menatap suasana malam di depannya dengan perasaan menyesal karena tidak membawa payung. Padahal, apartemenya berada tepat di depan mata. Ia mendesah kesal dengan sebatang rokok terselip di bibir yang terpoles lipstik merah. Matanya menerawang pada lampu-lampu yang menyala redup di antara curah hujan, dengan aroma tanah basah bercampur bau apak dari ruko tempatnya bernaung terasa menyengat.
Ia mengutuk dalam hati, karena tidak menolak saat sahabatnya menurunkan di pinggir jalan. Dengan alasan ada masalah penting, Melinda tidak mau repot-repot menurunkannya di lobi. Ia setuju tanpa banyak kata, tidak menyangka akan turun hujan. Kini, ia terjebak sendirian di depan sebuah ruko yang sudah tutup.
Sebuah angkot berhenti di depan ruko. Lalu, turun seorang laki-laki tanpa payung. Laki-laki itu menutupi kepala dengan tangan dan berlari ke samping Dara Ayu. Keduanya tidak bicara, sementara Dara Ayu hanya melirik sambil mengisap rokoknya, sang laki-laki yang ternyata masih muda sibuk mengelap rambut dan badannya yang basah.
Mereka berdiri berdampingan dan saling berdiam diri cukup lama. Mendadak terdengar gemuruh petir dan kilat menyambar ke arah mereka. Tanpa diduga, pemuda di sampingnya berjengit kaget dan memeluk pundaknya.
“Takut petir, Boy?” tegur Dara Ayu pelan.
Teguran Dara Ayu membuat laki-laki muda itu secara otomatis melepaskan peganganya dan bergumam lirih. “Maaf.”
“Santai aja, banyak kok orang takut petir.”
Dara Ayu melirik pemuda di sampingnya yang berdiri kaku menatap jalan raya.
“Kamu tinggal di apartemen itu juga?” tanyanya basa-basi.
“Iya.”
“Kamu bisa lari ke sana biar lebih cepat sampai. Aku nggak mungkin karena pakai sepatu hak tinggi.”
Seakan ingin menegaskan perkataan Dara Ayu, pemuda itu melirik kakinya. Tanpa bercakap-cakap, keduanya berdiri berdampingan dengan gemuruh hujan menyelimuti mereka. Aroma tembakau menguar di udara bersamaan dengan setiap isapan rokok Dara Ayu. Tiba-tiba, guruh kembali terdengar, kali ini lebih keras dan memekakkan telinga dengan kilat menyambar di dinding ruko. Dara Ayu hampir kehilangan keseimbangan saat laki-laki muda di sampingnya memeluk pundaknya tanpa permisi. Sementara bunyi alarm mobil kini bersahut-sahutan dari tempat parkir apartemen.
“Mau sampai kapan kamu meluk aku?” tanya Dara Ayu selang beberapa saat berlalu.
“Maaf.” Laki-laki itu melepaskan pegangannya dengan malu.
“Belum lebaran, jangan minta maaf terus.” Dara Ayu merogoh tas dan mengeluarkan beberapa lembar tisu. “Ini, kamu lap wajahmu. Basah begitu, entah karena hujan atau karena keringat dingin ketakutan.”
Laki-laki itu menerima tisu yang diulurkan tanpa kata. Dara Ayu mematikan rokok dan membuang putung rokok di tempat sampah depan ruko. Ia mengelap jas dan roknya yang basah dengan tisu lalu berbalik menghadapi pemuda di sampingnya.
Ditaksir, usia laki-laki muda di depannya menginjak angka dua puluh tahunan. Dilihat dari penampilannya dengan kemeja lengan pendek dan tas ransel di belakang punggung, sepertinya dia mahasiswa.
“Kamu kuliah?” tanyanya memastikan.
“Iy-ya, Kak.” Laki-laki itu menjawab gugup.
“Nggak pernah ngomong sama cewek sebelumnya?”
“Hah?”
“Gugup begitu?”
Laki-laki itu membuka mulut lalu mengatupkannya kembali. “Aku hanya gugup karena petir,” ucapnya lemah.
“Ooh, jadi bukan karena berdekatan denganku?” Entah dapat pikiran dari mana dan seakan ingin menguji dirinya sendiri juga laki-laki muda di hadapannya, Dara Ayu melangkah maju.
“Ma-mau apa, Kak?” tanya pemuda itu saat Dara Ayu memepetnya ke dinding.
“Nggak ada apa-apa, iseng aja. Kamu bilang bukan gugup karena aku tapi kok kelihatan takut?”
“Itu karena, aku--,”
“Siapa namamu?”
“Aku?” Pemuda itu menunjuk dirinya sendiri.
“Iya, kamu. Siapa namamu?”
“Reza Hengkara.”
Dara Ayu mengulurkan tangannya. “Ayo, kenalan. Kita sesama penghuni apartemen itu. Kenalkan aku Dara Ayu,. Hai, Reza.”
Terlihat kikuk, Reza menyambut tangan Dara Ayu dan menggenggam sejenak. Keduanya berdiri berhadapan dengan senyum simpul tak lepas dari mulut Dara Ayu. Ia merasa jika laki-laki muda di hadapannya terlihat menarik dan imut. Dengan rambut hitam berponi yang menutupi jidat,tahi lalat di hidung mancungnya, Reza memang tampan.
“Kamu menggemaskan,” puji Dara Ayu.
“Apa?”
Telunjuk Dara Ayu mengelus pelan dagu Reza dan berucap pelan. “Kamu menggemaskan untuk dicium.”
Tawa kecil keluar dari mulut Dara Ayu saat melihat Reza terperangah kaget. Ia membalikkan tubuh dan mengamati hujan yang mula reda. Menghitung jarak antara ruko tempatnya bernaung dan apartemen, akan lumayan basah jika ia memaksa untuk menerobos hujan sekarang. Namun, ia enggan menunggu lebih lama.
Ia menoleh ke aras Reza. “Reza, ayo kita jalan.”
“Sekarang?” tanya Reza tidak yakin.
“Iya, sekarang! Mau sampai kapan kamu di sini?”
Reza terlihat bimbang, antara mengikuti saran Dara Ayu yang artinya menerobos gerimis atau tetap menunggu entah sampai kapan. Saat ia sedang menimbang pilihan, tangan wanita di depannya terulur dan meraih jemarinya.
“Kebanyakan mikir kamu! Ayo jalan! Keburu ada petir lagi!”
Akhirnya, dengan tangan mereka saling bergandengan, keduanya melangkah cepat menyeberangi jalan dan melintasi parkiran apartemen. Dalam hati Reza mengaggumi kemampuan Dara Ayu dalam berjalan. Meski memakai sepatu hak tinggi, tapi langkah wanita itu terhitung cepat.
Tiba di lobi, mereka disambut seorang security yang menunjuk keset untuk mengelap kaki. Setelah memastikan tidak ada kotoran di sepatu, keduanya melangkah beriringan menuju lift. Dara Ayu menatap heran saat Reza tidak memencet tombol lift.
“Kamu tinggal di gedung ini juga?”
“Iya,”
“Lantai berapa?”
“Sepuluh.”
“What, kita berada di lantai yang sama. Unit nomor berapa kamu?”
“10D.”
“Wow,” ucap Dara Ayu takjub. “kita berjodoh sepertinya. Aku di unit 10E. Kamu baru pindah? Setahuku unit itu kosong beberapa bulan ini.”
“Iya, baru seminggu.”
“Sendiri atau sama keluarga?”
Reza tidak menjawab, dalam lift dengan lampu yang menyorot terang, diam-diam ia mengamati penampilan Dara Ayu. Ia menebak, umur wanita itu mendekati 30 tahun. Wajah mungil dengan riasan yang cukup tebal dan bibir yang dipoles lipstik merah menyala. Rambut wanita itu kecoklatan dan tergerai hingga ke punggung. Memakai jas dan rok pendek warna hitam. Kancing jas terbuka di bagian atas dan menampakkan belahan dada yang menggoda. Seketika, ia memalingkan wajah. Merasa malu karena sudah mengamati diam-diam.
“Sudah selesai?” tanya Dara Ayu lembut.
“Apanya?”
“Memandangiku. Bukannya dari tadi kamu menatapku nggak kedip?”
Reza ternganga, belum sempat ia menjawab Dara Ayu merengsek maju dan memepetnya ke dinding lift. “Jadi, bagian mana dari tubuhku yang menarik minatmu, Boy?”
Aroma parfum menguar dari tubuh Dara Ayu. Reza menelan ludah saat tubuh lembut wanita itu menempel pada tubuhnya. Perasaan aneh menyelimutinya dan ia mengepalkan tangan, untuk menahan diri.
Dara Ayu tersenyum dan menepuk pelan pipinya. “Kenapa pucat begitu? Kamu tegang karena aku?” Tanpa diduga wanita itu membelai lembut bibirnya. “Baru juga begini, Boy. Gimana kalau lihat yang lain. Iih, kamu memang menggemaskan.”
Saat pintu lift berdentang terbuka, Reza merasakan kelegaan luar biasa. Ia melangkah menyusuri lorong dengan Dara Ayu berada di depannya. Mereka berhenti di depan unit masing-masing yang ternyata bersebelahan.
“Aku masuk dulu, Reza. Muach!” Melemparkan ciuman jarak jauh, Dara Ayu menghilang ke balik pintu. Meninggalkan Reza yang tertegun di depan pintunya. Ia merasa hari ini sungguh aneh, dengan wanita yang tak kalah aneh yang menjadi tetangganya.
**
Akan tersedia di play store Minggu depan ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro