
27
HIM, GUE LOLOS CASTING!!!
Claudia menunggu balasan pesan dari Ahimsa sampai ketiduran. Dua minggu setelah Idulfitri, pihak dari Flix Pictures menghubungi Claudia untuk memberitahukan kabar baik itu. Dan Ahimsa adalah orang pertama yang Claudia kabari.
Selamat! Semoga proses selanjutnya lancar.
Ahimsa baru membalas pesan itu besok paginya. Mengurangi kadar kebahagiaan kabar itu.
Claudia tak habis pikir, kenapa Ahimsa bersikap seperti itu lagi. Bahkan kali ini lebih parah. Hampir sebulan lamanya Ahimsa memperlakukan Claudia dengan dingin. Untungnya, Claudia punya kesibukan yang menyita waktunya setiap hari, sehingga dia tidak terlalu fokus pada kegalauannya tentang perubahan sikap Ahimsa.
Apa karena Ahimsa setahun lebih muda darinya, sehingga cowok itu masih labil? Claudia sempat berpikir begitu.
Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa dia akan tertarik pada cowok yang lebih muda darinya. Sejak dulu, Claudia memang cenderung menyukai cowok-cowok yang minimal berusia tiga tahun lebih tua darinya. Cinta pertamanya gagal karena cowok alumni yang hanya datang di saat latihan ekskul teater itu ternyata sudah punya pacar. Beberapa bulan kemudian, Claudia bertemu Banyu di toko buku, dan mereka langsung akrab. Pada perjumpaan ketiga mereka, Banyu menyatakan cinta, dan Claudia menerimanya tanpa pikir panjang.
Bagaimanapun, Banyu memenuhi kriteria cowok ideal bagi Claudia pada saat itu. Usianya empat tahun di atas Claudia, berwajah rupawan, dan orangnya baik serta menyenangkan. Terlebih lagi, dia mahasiswa Arsitektur tingkat tiga dengan latar belakang keluarga harmonis dan memiliki masa depan yang cemerlang. Setelah berpacaran pun, Banyu selalu bersikap baik dan menyenangkan. Perhatian dan pengertian. Dan orangtua Banyu tampak wellcome terhadap Claudia serta memberi restu pada hubungan mereka. Selama empat tahun mereka berpacaran, rasanya cukup adem-ayem. Nyaris sempurna. Pertengkaran-pertengkaran kecil bisa mereka hadapi bersama dengan baik. Satu-satunya kesalahan Banyu yang Claudia tahu hanyalah berselingkuh.
Claudia memang tidak punya banyak pengalaman berhubungan dengan cowok. Banyu adalah pacar pertamanya sejak dia duduk di bangku kelas sebelas. Dan sejak itu, Claudia tidak pernah melirik atau dekat dengan cowok lain. Lima bulan setelah putus, Claudia bertemu Ahimsa. Caranya berkenalan dengan Ahimsa mengingatkan Claudia pada saat dirinya berkenalan dengan Banyu. Namun setelah berbincang dan bertemu dalam kesempatan-kesempatan berikutnya, Claudia merasakan banyak perbedaan signifikan di antara kedua cowok itu.
Ahimsa selalu menjadi pendengar yang baik dan menenangkan saat Claudia curhat kepadanya, sedangkan Banyu seringnya lebih banyak mengomentari alih-alih mendengarkan. Ahimsa tak pernah mengkahimi Claudia, kecuali untuk urusan memilih film yang akan dibintanginya, sedangkan Banyu terkadang suka menghakimi dengan dalih menasihati. Ahimsa mendukung karier Claudia bukan sebatas di mulut saja, dia benar-benar paham dengan apa yang dibicarakannya, sehingga dia bisa bertindak dengan tepat, sedangkan Banyu mendukung karier Claudia sebatas kata-kata dan perhatian. Ahimsa suka menonton semua genre film dan tidak pernah meremehkan film Indonesia, sedangkan Banyu hanya suka menonton film laga dan komedi, serta tidak suka menonton film Indonesia. Ahimsa menonton semua film yang dibintangi Claudia, sedangkan Banyu tidak pernah menontonnya satu judul pun.
Namun memang tidak ada manusia yang sempurna. Di balik segala kelebihan Ahimsa, Claudia menganggap Ahimsa masih labil. Hanya karena hal sepele saja, Ahimsa ngambek dan menghindarinya.
Apakah kali ini Ahimsa ngambek karena hal sepele juga? Atau ada sebab lain yang jauh lebih beralasan? Atau mungkin Ahimsa sedang sakit?
*
"Sori ya, kalau gue tiba-tiba datang di situasi kayak gini," ungkap Claudia kepada Ahimsa. Siang itu, dia benar-benar datang ke rumah Ahimsa. Untungnya, Ahimsa tengah berada di rumah dan tidak serta-merta mengusirnya. "Gue khawatir lo kenapa-kenapa tapi nggak mau kasih tau gue."
"Gue baik-baik aja, kok. Tadi pagi abis sepedaan lumayan jauh. Terus barusan gue lagi tidur siang waktu lo datang. Jadi, gue masih harus ngumpulin nyawa dulu," papar Ahimsa dari balik masker hitamnya. Dia duduk sekitar satu meter di samping Claudia, di teras depan rumahnya.
"Syukurlah kalau lo baik-baik aja." Claudia menghela napas lega. "Berarti... lo emang udah males berkomunikasi sama gue, ya? Udah nggak mau keep in touch lagi."
Ahimsa terdiam. Membuat Claudia berpikir yang dikatakannya benar.
"Mungkin gue udah ngelakuin kesalahan tapi lo nggak mau bilang, kayak yang pernah terjadi sebelumnya."
Masih terdiam, Ahimsa malah bermain-main dengan ponselnya. Tidak hanya membuat Claudia berpikir semua yang dikatakan dan dipikirkannya tentang Ahimsa benar, tapi juga membuatnya kesal.
"Him, lo sadar nggak sih, sikap lo tiba-tiba berubah, dan selama sebulan ini lo cuekin gue tanpa alasan yang jelas?" Nada suara Claudia meninggi. "Jangan bikin gue menyesal karena udah datang ke sini tanpa dapet jawaban apa-apa dari lo!"
"Pertama, di bagian mana gue cuekin lo? Gue selalu bales chat dari lo, kan?!" kata Ahimsa sambil menatap layar ponselnya. "Kedua, nggak ada yang maksa lo buat datang ke sini. Jadi, kalau lo nggak dapet jawaban yang lo inginkan, itu bukan salah gue."
"Ya, lo emang nggak pernah salah, Him. Yang selalu salah itu gue," sindir Claudia. "Lo mengira Banyu pacar gue, terus lo ngambek, ngehindar, dan nyuekin gue karena lo pikir gue cuma manfaatin lo dan jadiin lo pelarian, atau bahkan mungkin lo nuduh gue jadiin lo selingkuhan kayak kejadian buruk lo di masa lalu. Dan itu salah gue. Bukan salah lo dengan asumsi-asumsi lo itu."
Ahimsa terdiam lagi.
"Dan sekarang, entah asumsi apa lagi yang ada di pikiran lo sampai-sampai lo memperlakukan gue lebih buruk daripada sebelumnya." Claudia menatap Ahimsa dalam-dalam. "Jangan kayak anak kecil, Him! Kalau ada masalah tuh ya diomongin, bukannya didiemin. Dicari solusinya, bukannya dihindarin."
"Lo emang selalu nganggap gue anak kecil. Apa pun yang gue katakan dan lakukan, nggak bakal pernah bisa memuaskan keinginan lo." Ahimsa balas menatap Claudia dalam-dalam. "Udahlah, Di, jangan berharap apa-apa dari gue. Gue bukan elo yang suka ngasih harapan-harapan palsu ke orang lain."
"Harapan palsu? Maksud lo?"
"Kalau sejak awal lo nganggap gue cuma anak kecil, kenapa lo bersikap seakan-akan kita setara, temenan, sahabatan, bahkan lo pegang tangan gue di bioskop seolah-olah kita... pacaran?! Lo godain gue, bikin jantung gue deg-degan dan berbunga-bunga, ngasih gue harapan, terus tiba-tiba lo ngilang, nggak ngehubungin gue, tau-tau muncul lagi, godain gue lagi, bikin jantung gue deg-degan dan berbunga-bunga lagi, ngasih gue harapan lagi... dan setelah semua pola itu berulang, lo tetep nganggap gue anak kecil?!"
"Oke, denger baik-baik, ya. Pertama, gue nggak pernah nganggap lo anak kecil. Gue justru nganggap lo orang yang dewasa, lugas, dan bijaksana. Gara-gara omongan lo waktu pertama kali kita ketemu, gue mulai sadar bahwa gue harus lebih kerja keras lagi buat mempertahankan eksistensi sebagai aktris. Gue nggak boleh cuma ngandelin Om Hengki. Gue harus lebih proaktif dan membuka wawasan gue seluas-luasnya tentang dunia perfilman supaya gue nggak salah pilih film lagi. Kesadaran-kesadaran itu nggak bakalan gue dapetin dari sosok yang cuma gue anggap anak kecil.
"Oh, mungkin lo tersinggung karena tadi gue ngatain lo kayak anak kecil. Ya memang sikap lo dalam sebulan ini kayak anak kecil, Him. Cuma anak kecil yang suka ngambekan, ngehindar, dan ngejauh setiap kali ada masalah.
"Kedua, gue nggak pernah ngasih lo harapan palsu. Kejadian di bioskop waktu itu bener-bener spontanitas. Sesuatu yang terjadi secara alami ketika lo duduk dengan seseorang yang bikin lo nyaman dan happy.
"Dan ketiga, gue nggak ngerti kenapa lo bisa nuduh gue godain lo, terus apa tadi? Tiba-tiba ngilang, nggak ngasih kabar, tau-tau muncul lagi? Astaga... gue nggak pernah ngerasa dan berniat ngelakuin hal itu sama lo, Him. Kalau lo bilang tiba-tiba gue ngilang, nggak ngasih lo kabar, ya itu karena gue emang bener-bener sibuk sama kerjaan, bukan karena gue mempermainkan perasaan lo. Gue nggak serendah itu."
Claudia meraih segelas air mineral yang dibawakan Ahimsa beberapa saat setelah dia datang, lalu meneguknya hingga nyaris tandas. Kerongkongannya terasa kering dan panas.
"Gue udah datang ke sini, udah ngomong dan ngejelasin sepanjang-lebar ini, tapi lo masih belum kasih gue alasan kenapa lo ngambek dan nyuekin gue selama sebulan ini," lanjut Claudia. "Please, jawab, Him. Gue nggak tenang kalau lo terus-terusan memperlakukan gue kayak gini."
Menghela napas, Ahimsa lalu berkata, "Kita ini cuma temenan, tapi kenapa marahannya kayak orang pacaran?"
Serta-merta Claudia tersenyum, namun hatinya getir. Benar juga, pikirnya. "Gimana mau pacaran, nembak gue aja lo nggak pernah?! Kebanyakan mikir, kebanyakan agenda."
"Sori. Mungkin gue memang... nggak layak buat lo, Di. Buat ngungkapin perasaan aja, gue nggak tau gimana caranya. Nunggu momen yang tepat menurut gue, tapi ternyata nggak cukup tepat menurut alam semesta." Ahimsa menunduk saat Claudia menatapnya. "Ya, lo bener. Gue emang kayak anak kecil. Bahkan mungkin sebenernya gue emang bocah yang sedang berpura-pura jadi orang dewasa."
"Him, sebenernya apa yang terjadi? Kenapa lo jadi kayak gini?" desak Claudia. Dia merasa Ahimsa yang sedang duduk di sampingnya itu bukan Ahimsa Wiraguna yang dia kenal.
"Sori kalau selama sebulan ini, gue bikin lo ngerasa nggak nyaman. Seharusnya lo fokus sama kerjaan lo, bukannya malah mikirin yang nggak penting dan nggak jelas gini." Suara Ahimsa terdengar datar, tetapi agak bergetar. Matanya lurus ke depan dengan tatapan menerawang. Seandainya dia tidak memakai masker, ekspresi wajahnya akan terlihat lebih jelas. "Untuk itu, mari kita akhiri semuanya sampai di sini. Biar lo nggak lebih terganggu lagi, biar lo nggak lebih terluka lagi."
"Apa, Him? Gue bener-bener nggak paham maksud lo."
"Kata-kata gue cukup jelas, Claudia. Mulai sekarang, kita balik lagi kayak kita beberapa bulan yang lalu. Gue yang cuma seorang mahasiswa dengan hobi nonton dan nge-review film, yang punya aktris idola baru di dunia perfilman Indonesia bernama Claudia Amanda. Elo yang seorang aktris dengan kemampuan akting yang bagus, layak ada di film-film box office, dan menang penghargaan-penghargaan bergengsi. Hubungan kita nggak lebih dari fans dan idola. Interaksi kita sebatas gue nonton dan nge-review film-film lo. Dan lo akan kembali pada kesibukan lo sebagai selebrtias yang gue yakin karier lo akan semakin bersinar setelah ini."
"Lo nggak berhak memutuskan sesuatu secara sepihak tanpa alasan yang bisa gue terima. Gue nggak mau kayak gitu, Him. Gue mau kita tetep kayak beberapa bulan yang lalu ketika kita saling peduli dan perhatian. Lo yang selalu ngewanti-wanti supaya gue lebih selektif dalam memilih tawaran film, lo yang selalu nyaranin gue ikut casting di filmnya Joko Anwar, lo yang selalu nawarin anter-jemput gue, lo yang selalu ada di saat gue butuh bahkan ketika gue belum sempet bilang kalau gue butuh bantuan seseorang, lo yang selalu siap bantuin gue tanpa pamrih, lo yang selalu ada...." Claudia tak bisa melanjutkan kata-katanya karena hampir menangis.
"Tapi pada akhirnya gue sadar bahwa gue nggak bisa melakukan sesuatu yang lebih besar dari itu, dan gue selalu menghindar setiap kali dihadapkan pada permasalahan yang gue nggak tau gimana cara ngadepinnya." Ahimsa menatap Claudia. "Terus lo bakal ngerasa terganggu dengan sikap gue yang terkesan cuek dan ngehindarin lo, dan kita bakal ribut kayak gini terus padahal sebenernya kita cukup saling mengabaikan satu sama lain, karena kita bukan siapa-siapa. Jadi, daripada buang-buang waktu dan tenaga untuk hal-hal yang terus berulang kayak gini, lebih baik kita udahan sampai sini. Oke?"
Claudia menggeleng. "Bilang aja lo cuma cari-cari alasan buat menjauh, kan?! Gue baru tau, ternyata lo nggak sejujur dan sebijaksana yang gue kira."
"Kalau gitu, sekarang lo udah punya alasan buat pulang." Ahimsa bangkit dari kursinya. "Mau gue temenin sampai taksi online lo datang atau gimana?"
"Nggak usah repot-repot. Lo masuk aja, lanjutin tidur siang lo. Biar pertumbuhan otak sama hati lo seimbang." Claudia mengeluarkan ponsel dan memesan taksi online.
Tanpa menunggu lebih lama, Ahimsa pun lekas masuk dan meninggalkan Claudia di teras depan rumahnya, tanpa sepatah kata.
Perasaan Claudia campur aduk tak keruan. Kesal, marah, sedih, dan entah perasaan apa lagi. Alih-alih jawaban yang melegakan, dia malah mendapatkan keputusan sepihak yang menghancurkan hatinya.
Bagaimanapun, cowok itu terlalu manis dan kenangan di antara mereka terlalu indah untuk dilupakan. Dalam perjalan pulang, lamunan Claudia melayang ke saat-saat pertama kali dia bertemu Ahimsa di toko buku, berbincang di depan kasir, lanjut nongkrong di kafe. Lalu mereka kembali bertemu saat Claudia melakukan kunjungan ke bioskop, mendengarkan kesan-kesan Ahimsa setelah menonton film yang dibintangi Claudia sebanyak dua kali, tersanjung karena pujian Ahimsa....
Claudia juga masih ingat ketika Ahimsa pingsan karena terlalu mengkhawatirkannya saat kabar penangkapan Om Hengki mulai tersiar di semua media. Ahimsa yang selalu berusaha membantu Claudia dengan segala cara yang dia bisa. Ahimsa yang datang di saat Claudia sedang kebingungan mencari kendaraan usai pulang syuting iklan pada suatu malam. Ahimsa yang muncul ketika Claudia sedang dirundung kesedihan setelah meeting dengan direktur utama stasiun TV swasta.... Dan masih banyak kenangan lainnya yang tersimpan rapi dalam memori Claudia. Kenangan yang membuat perpisahan ini terasa menyakitkan.
Dan yang lebih menyakitkannya lagi, perpisahan itu harus dia lalui tanpa ucapan selamat tinggal.
Hujan tidak turun di langit Jakarta pada siang hari itu, melainkan di tempat lain. Di mata Claudia.
*
Ahimsa masih berdiri di depan jendela kamarnya di lantai dua, menatap hampa ke luar sana. Taksi yang membawa Claudia sudah pergi beberapa menit yang lalu, meninggalkan sesuatu yang membuat hatinya pilu. Melukai seseorang yang kita cintai sama saja dengan menyakiti diri kita sendiri.
Ahimsa tahu Claudia datang membawa kekesalan dan pergi bersama kemarahan serta kesedihan. Namun dia rasa, itulah cara terbaik yang bisa dilakukannya untuk Claudia. Memang menyakitkan. Namun dia harap, waktu akan menyembuhkan luka di hati Claudia. Di hati mereka berdua.
Sejak melihat video menjijikkan itu, Ahimsa benar-benar kacau dan hancur. Hari-harinya bertambah sulit, sebab dia harus berusaha menyembunyikannya dari semua orang, terutama keluarganya.
Di minggu pertama masa-masa sulitnya, Ahimsa tak bisa bangkit dari tempat tidur. Orangtuanya menyarankan Ahimsa untuk tidak berpuasa, tetapi Ahimsa tetap bersikeras sampai akhirnya dia jatuh sakit.
Di minggu kedua, kondisi fisik Ahimsa membaik, namun jiwanya masih terluka. Dia sering melamun dan menyendiri. Nyaris tak pernah menyentuh media sosial, dan membatasi komunikasinya dengan orang-orang. Berbaring di tempat tidur selama berjam-jam dengan mata terpejam tetapi pikirannya terus bekerja dan disesaki banyak hal. Menonton TV dengan fokus pikiran yang bercabang-cabang. Namun demikian, dia masih menyempatkan diri membalas chat dari Claudia.
Setelah Idulfitri, kondisi mentalnya mulai membaik. Ahimsa berusaha bangkit kembali. Menyibukkan diri dengan aktivitas-aktivitas favoritnya seperti menonton, membaca, dan berolah raga dengan frekuensi yang lebih kerap dari biasanya. Kembali membuka akses dengan orang-orang di media sosial. Mengobrol dengan orang-orang terdekatnya, kecuali Claudia.
"Lo harus jauhi Claudia!"
Ahimsa sangat membenci suara Banyu saat mengucapkan kalimat itu lewat panggilan telepon pada malam ketika Ahimsa berada di tepi sebuah bendungan yang sepi.
"Kalau lo pikir gue bakalan mundur cuma karena video ini, lo salah!" Ahimsa mengepalkan tangan, menahan luapan amarah saat mengucapkannya. "Gue bakalan tetep ada buat Claudia. Gue nggak bakalan pernah ninggalin dia. Gue bakalan selalu sayang dan cinta sama Claudia, nggak peduli apa pun yang pernah terjadi di antara kalian berdua."
"So sweet banget sih, bucin yang satu ini." Banyu menertawakan Ahimsa di seberang sana. "Terserah deh, kalau emang mau lo kayak gitu. Tapi jangan salahin gue kalau tiba-tiba nama Claudia viral karena video seks-nya tersebar di internet."
"Maksud lo...? Brengsek! Nggak. Nggak! Demi Tuhan lo nggak bakal ngelakuin itu!"
"Tenang, gue bisa nyensor muka gue." Sekali lagi Banyu tertawa. "Kalaupun nggak disensor, orang-orang tetap bakalan lebih concern sama cewek di video seks itu, terus menghujatnya sampai karier Claudia hancur. Dan sekali lagi, jangan salahin gue kalau hal itu sampai terjadi, karena gue udah ngasih lo pilihan buat ngejauhin Claudia."
"BRENGSEK! LO BENER-BENER BAJINGAN PALING BRENGSEK DAN BIADAB, BANYU!" teriak Ahimsa, tak bisa lagi menahan amarahnya.
"Ssst! Jangan teriak-teriak, nanti ada yang denger. Bahaya kalau ada pihak ketiga yang tau soal video ini." Suara Banyu terdengar tenang. Begitulah cara seorang sosiopat bersikap. "Begini aja, gue kasih lo waktu buat berpikir dan mempertimbangkan pilihan yang gue kasih. Inget ya, cuma dua pilihannya, lo jauhin Claudia, atau video ini tersebar di internet. Itu aja. Nggak susah-susah, kan?! Dan gue kasih lo waktu 1x24 jam terhitung mulai dari sekarang."
Dan tepat dua puluh empat jam kemudian, Banyu kembali menelepon Ahimsa. "Gimana? Lo udah...?"
"Gue bakal jauhin Claudia," sela Ahimsa buru-buru, tak mau mendengar suara Banyu lebih lama lagi. "Dan lo hapus video itu sekarang juga!"
"Nggak gitu konsepnya. Video ini bakalan tetep gue jaga dan gue simpen baik-baik selama lo memenuhi janji lo buat ngejauhin Claudia. Dan kalau sampai gue ngeliat lo berhubungan lagi dengan Claudia, lo tau apa konsekuensinya, kan?!"
Anjing, lo, Banyu! Anjing!!! Ahimsa berusaha menahan amarahnya sekuat tenaga karena malam itu dia sedang berada di kamarnya, khawatir keluarganya mendengar keributan mereka.
Dan seperti itulah akhir kisah cinta Ahimsa dan Claudia yang bahkan belum sempat mereka mulai.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro