Chapter 14
Walaupun begitu,
Mengapa aku sangat rapuh?
Beberapa hari setelah kejadian itu, (Name) langsung dalam pengawasan Rinne. Meskipun ia berada dalam pengawasan orang yang sangat ingin ia temui, namun bayang-bayang akan kematian sahabatnya masih meninggalkan trauma.
Bagaimana perasaanmu jika melihat sahabatmu sendiri mati dihadapanmu?
Sedih? Iya
Emosi? Iya
Trauma? Pasti.
Semuanya berbekas dengan indah dalam memori sang gadis. Dan andaikan waktu bisa diputar, ia lebih memilih dirinya yang mati daripada sahabatnya yang telah mendukungnya disaat sulit ataupun senang.
Sang gadis hanya ingin memejamkan mata dengan harapan semua yang terjadi hanyalah mimpi semata. Ia tidak ingin makan, minum, ataupun beraktivitas lainnya. Rasanya, seperti dunianya benar-benar hancur.
Bahkan, ia pun tidak menyadari jika ada seorang pria yang tengah mengawasinya saat ini. Ya, ia sangat tidak peduli. Dia telah lelah akan hidup yang penuh teka-teki.
Sebenarnya, apa yang ingin Tuhan lakukan untuknya?
"(Last name)-san ...."
Sang gadis tidak bergeming sedikitpun. Bahkan, ia enggan membuka selimut yang menutupi seluruh bagian tubuhnya.
"(Last name)-san ...."
Lawan bicaranya terus-menerus memanggil namanya yang membuatnya mau tidak mau harus menguatkan diri untuk segera mengakhiri pembicaraan dan mulai merenung kembali.
"Hiiro? Ada apa? Apa ada sesuatu?" tanya sang gadis yang berusaha tampak baik-baik saja.
Lawan bicaranya pun bergeleng pelan. Ia menampakkan wajah polos nan manis. Namun, dibalik itu semua, sang gadis menangkan aura sedih dalam diri pria itu.
"(Last name)-san, apa kau baik-baik saja? Aku dan kakakku sangat mengkhawatirkan dirimu," ucap Hiiro yang entah mengapa tidak mempan membuat hati sang gadis luluh.
Mungkinkah karena hatinya masih sakit?
"Kau sendiri bagaimana? Lukamu tampak lebih menyeramkan daripada diriku," ucap sang gadis dengan senyuman lemah.
"Aku baik-baik saja," jawab Hiiro yang menatap satu nampan makanan yang sama sekali belum tersentuh.
"Kau lapar? Kau boleh memakannya jika kau lapar," ucap sang gadis yang langsung dijawab oleh lawan bicaranya, "(Last name)-san, ayo makan. Kakakku terus-menerus menderita jika kau sakit, sedih, ataupun mogok makan."
Tunggu, apa? Menderita?
Sang gadis pun tersenyum mendengar ucapan dari lawan bicaranya, "Aku yang sedih, mogok makan, sakit malah dia yang menderita. Dasar aneh."
Hiiro pun sedikit tertawa mendengarnya, "Tapi, itu benar adanya. Sebelumnya, sudah ribuan wanita ditolak oleh kakakku. Bahkan, ia pun selalu lari dari acara pertunangan yang diselenggarakan oleh ayah."
"Aku rasa ... ada kesalahpahaman disini. Kakakmu hanya berhutang budi padaku, karena aku telah menyelamatkan nyawanya. Dan aku juga berhutang budi padanya, karena dia telah membiayai seluruh pengobatan diriku. Jadi, tidak ada yang spesial diantara kami," jelas sang gadis yang membuat lawan bicaranya mengukir senyuman dan memberikannya sebuah mangkuk berisi bubur.
Sang gadis menatap lawan bicaranya dengan tatapan bertanya. "Kalau (Last name)-san mersa berhutang budi pada kakakku, maka ... ayo dimakan," ucap Hiiro yang menjawab tatapan sang gadis.
'Dasar, tidak kakak, tidak adik, sama saja,' batin sang gadis yang mulai memakan bubur yang telah diberikan oleh lawan bicaranya.
Disisi lain, Rinne telah tidak menyentuh rumah sama sekali setelah kejadian itu.
Ya, Rinne harus tinggal di kantor untuk menyelidiki segala kemungkinan yang akan terjadi di masa depan agar kejadian yang sama tidak terulang lagi. Tentunya karena ia tidak ingin baik rekan ataupun lawannya menyentuh gadis pujaan hatinya sedikitpun.
Selain itu, ia juga memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan organisasi serta perusahaan yang telah didirikan oleh ayahnya. Tidak jarang juga, Urie selalu membantu Rinne untuk memantau kondisi wanitanya.
Ya, meskipun di rumahnya sekarang ada adiknya, tapi rasanya hal itu belum cukup untuk menjamin keamanan sang gadis. Bukannya ia tidak percaya pada kekuatan adiknya, tapi ia hanya menanamkan sikap waspada agar baik adiknya atau pujaan hatinya tidak terluka lagi.
"Rinne, aku baru saja mendapatkan kabar dari adikmu, Hiiro jika (Name) sudah mulai makan seperti biasanya," sela Urie yang membuat Rinne menghela nafas lega.
"Berapa banyak dokumen lagi yang harus aku selesaikan?" ucap Rinne yang entah mengapa telah timbul hasrat untuk kembali pada mansion tercintanya.
"Tidak masalah jika kau ingin pulang sekarang, Rinne. Serahkan saja sisanya kepadaku," ucap Urie yang mengerti perasaan Rinne.
"Hah? Tidak usah, kepalamu masih diperban juga," ucap Rinne yang kembali fokus ke dokumennya.
"Lalu, apa kaitannya perban dengan dokumen?" balas Urie.
"Aku takutnya jika kau tidak kuat lalu darah dari kepalamu keluar lagi dan lama-lama meledak," ucap Rinne yang entah mengapa membuat Urie ingin mengajak pria yang notabenenya adalah atasannya untuk berkelahi detik ini juga.
'Entah apa yang membuat (Name) tahan padanya,' batin Urie sembari menghela nafas.
"Selain itu, apa kau sudah memprediksi pergerakan mereka?"
Urie pun menghela nafas, "Sedang aku coba. Lagipula, mereka tidak akan bisa lepas dari genggaman Urie."
"Baiklah, apapun itu, hentikan mereka agar tidak menyentuh (Name) lagi," ucap Rinne.
*****
Malam semakin larut dan rumah mewah ini belum memberikan tanda-tanda jika pemilik yang sesungguhnya akan pulang. Bahkan, para pembantunya pun sudah membereskan makan malam yang hanya disentuh oleh dua insan yang sangat berharga dari sang pemilik rumah.
"Omong-omong, bagaimana kau bisa berakhir di China?" tanya sang gadis yang berusaha mencairkan situasi canggung.
"Ceritanya sangat panjang," jawab Hiiro sembari mengambil keripik kentang yang telah tersusun rapih dalam toples.
"Kalau ceritanya terlalu panjang, kan bisa diringkas," balas sang gadis dengan tatapan polos.
"Bagaimana jika sekarang kalian tidur. Ini sudah cukup larut untuk anak-anak seperti kalian."
Suara itu menginterupsi kegiatan mereka yang hendak berbagi cerita satu sama lain.
"Kakak!" seru Hiiro yang senang karena kakaknya bisa kembali lagi.
"Terima kasih sudah menjaganya, Adikku," ucap Rinne yang langsung mencium pipi sang gadis dan membuatnya merona seketika.
"Sudah merasa baikan?" sambung Rinne dengan manik yang terkesan posesif pada sang gadis.
"Ya, kurang lebih seperti itu," jawab sang gadis yang belum mengerti apa yang dirasakan oleh tubuhnya.
"Hiiro, bagaimana kondisimu? Baik-baik saja?" tanya Rinne yang juga tampak khawatir pada adiknya sendiri.
"Tidak perlu khawatir, Kak. Ini luka kecil," jawab Hiiro dengan tatapan polos yang membuat Rinne langsung mengacak surainya.
"Amagi-san, sekarang cepat mandi, makan, lalu tidur," ucap sang gadis sembari beranjak dari singgasananya dan ingin mengistirahatkan tubuh yang tidak jelas rasanya.
"Mau kemana?" tanya Rinne.
"Mau melakukan ritual santet. Ya mau tidur lah, sudah jelas tadi disuruh tidur," omel sang gadis yang membuat kedua pria itu tertawa pelan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro