Waktu Yang Lambat
Keramaian di kantin sangat kontras denganku yang duduk seorang diri di salah satu meja paling ujung. Di depanku terhampar taman yang sangat luas, di sana terdapat berbagai jenis tanaman hasil karya anak pertanian. Warna daun yang subur itu anehnya membuat puncak kepalaku terasa berdenyut.
Berulang kali aku memejamkan mata untuk mengusir kekhawatiran terus menyelimutiku setelah menerima panggilan dari rumah rehabilitasi. Mereka mengatakan jika ibu kembali ketakutan dan terus menerus menggumamkan sesuatu. Rasanya aku ingin segera berlari dan memeluk ibu, tetapi aku tidak bisa begitu saja membolos. Beasiswaku akan menjadi terancam jika aku terus menerus absen.
Beberapa kali mataku melihat ke arah jarum jam yang bergerak begitu lambat. Ini sungguh menyiksa. Tak lama kemudian Alison menghampiriku dengan membawa sebotol air mineral dan juga dua potong roti isi yang kupesan. Aku mengucapkan terima kasih padanya, tetapi sama sekali tidak ada keinginan untuk menyentuh makan yang ada di depanku ini.
Alison menatapku dengan mengangkat kedua alisnya sembari bertanya, "Lo kenapa, Nad? Abis dapat duit bukannya happy malah suram gitu muka lo."
Aku tertawa miris dalam hati, ingin rasanya aku berteriak dan mengeluarkan isi hatiku jika sebanyak apa pun uang yang kudapat, jika ibu masih sakit, itu tidak berarti apa-apa. Lagi pula, uang itu juga sebagian besar aku sisikan, jarang sekali aku menggunakan uang hasil jerih payahku untuk bersenang-senang. Persahabatanku dengan Alison memang bisa dibilang cukup erat, meskipun belum terlalu lama. Alison tahu jika ibuku menderita gangguan kejiwaan, tetapi ia tidak tahu apa penyebabnya. Ia juga mengetahui jika ayahku meninggal dunia ketika aku masih kecil, tetapi aku juga menutupi tentang tragedi di balik itu semua. Aku tidak ingin orang lain tahu dan mengasihiku hanya karena hal itu.
"Duit gak sepenuhnya bikin bahagia kali, Al," gumamku sambil membuka tutup botol dan meneguk isinya.
Responku membuat Alison berdecak. "Gitu banget jawabnya. By the way, ngerasa gak tadi di kelas anak baru itu ngelihatin lo terus?"
Aku mengernyit. "Sebastian?" tanyaku untuk memastikan yang mana mendapat anggukan dari Alison. "Salah lihat kali lo. Dia duduk di belakang gue, ya otomatis lihat ke depanlah. Kebetulan aja gue ada di depannya."
"Ah, lo emang kadang gak sadar diri sih. Banyak tahu yang naksir lo, ada beberapa anak dari fakultas lain yang nanyain ke gue," beber Alison dengan semangatnya.
Menjalin hubungan dengan lawan jenis sama sekali bukan prioritasku saat ini. Bahkan, aku sebisa mungkin menghindari itu karena akan sulit untukku membagi waktu untuk ibu. Fokusku saat ini adalah kesembuhan ibu dan juga mencari tahu siapa pelaku sebenarnya atas pembunuhan ayah. Beberapa tahun terakhir setelah ibu di rawat, aku mulai mencari informasi tentang rekan kerja ayah. Namun, hasil belum memuaskan. Sebagian besar mereka mengaku jika tidak tahu persis siapa saja orang yang dekat dengan ayah dulu.
Aku sangat yakin, orang yang kulihat saat ayah meninggal adalah salah satu rekan kerjanya. Namun, sayangnya aku sama sekali tidak tahu namanya.
"Eh, tapi menurut lo Ian ganteng gak?" tanya Alison membuyarkan lamunanku.
Setengah mati aku berusaha untuk tidak memutar mata saat ini. "Namanya cowok pasti ganteng," jawabku singkat sebelum memulai menyantap roti isi di hadapanku dengan setengah hati.
"Lo itu ya benar-benar gak asik," protes Alison dengan kesal.
"Udahlah, gue males bahas gituan," pungkasku.
Kedua mata Alison menyipit ketika melihatku. "Emang aneh lo. Anyway, ulang tahun gue 'kan bentar lagi. Nah, dua minggu lagi orang tua gue ke luar kota, pas banget 'kan? Rencananya gue kepingin bikin perayaan kecil-kecilan gitu."
Aduh, dia bahas soal ulang tahunnya lagi.
Setiap tahun Alison selalu merayakan hari kelahirannya dengan meriah, hampir semua mahasiswa hadir di acara itu. Tahun lalu, orang tuanya menyewa sebuah ballroom di hotel ternama dan memberi bingkisan untuk setiap tamu yang hadir. Aku bukan tipe orang suka merayakan ulang tahun, apalagi setelah ayah meninggal, aku selalu menghindari acara seperti itu. Ada perasaan yang mengganjal dalam hatiku setiap kali melihat Alison yang bisa mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Maka dari itu, aku selalu membuat alasan agar tidak datang dan sebagai gantinya aku mengajak Alison untuk menghabiskan satu hari bersama. Entah itu sekedar makan malam di restoran, berlibur di luar kota, atau pun berbelanja.
"Lo harus datang ya kali ini. Cuma di rumah gue kok," bujuknya sambil memegangi sebelah tanganku. "Enggak banyak yang gue undang. Jadi lo gak usah khawatir kalau gak suka banyak orang."
Kalau aja lo tahu alasannya, Al.
"Ya, gue belum tahu bisa datang apa enggak. Kalau pun gue gak bisa, kita berdua bisa ngerayain kayak biasanya, 'kan?"
"Kencan berdua kayak tiap tahun?" tanyanya dengan raut muka yang ditekuk.
"Iya. Asik 'kan kencan bareng gue. Kita bisa me time bareng, mau ke salon? Gue bayarin deh."
Ia berdecak. "Gue gak mau tahu, pokoknya besok lo harus datang. Bukan masalah lo mau bayarin gue atau kasih gue kado. Lo itu sahabat gue, masak iya tiap kali gue ulang tahun lo selalu aja ada alasan."
Melihat raut mukanya yang terlihat sedih, aku hanya menghela napas dan kembali menyantap makananku. Sesaat kemudian, wajah berubah menjadi cerah ketika melihat ke arah belakangku. Pasti ia melihat Viktor.
"Yang, handphone kamu mati? Aku telepon gak bisa tadi," ucap Viktor setelah sampai di meja kami. Ia langsung mengambil tempat duduk di sebelah Alison.
Sahabatku langsung memeriksa ponselnya begitu mendengar jika Viktor kesulitan menghubunginya. "Enggak kok. Masa gak bisa ...."
Paduan aroma wewangian yang kuat dan hangatnya kopi menggelitik indra penciumanku. Aku sedikit menoleh ke arah kiri, kedua mataku menangkap dua buah cincin di jari telunjuk dan manisnya, ketika ia mengangkat cangkir itu dan menyesap kopi yang ia pesan. Topi hitam itu kembali menutupi sebagian wajahnya. Tanpa kusadari, bibir Ian bergerak seolah ia sedang mengatakan sesuatu, mata menangkap milikku dan ia mengulas senyuman tipis. Seketika aku merasa malu karena sudah menatapnya begitu lama, cepat-cepat aku mengalihkan pandangan dan meneguk kembali minumanku.
"Kata Alison catatan lo lengkap, ya?" tanya Ian padaku.
"Iya, dia anaknya rajin. Gak salah pilih orang lo, yakin deh," timpal Alison sambil tersenyuman miring.
"Enggak juga," ucapku sebelum mengirim tatapan tajam pada Alison sebagai kode untuk menutup mulutnya. Namun, bukan Alison namanya jika menurut begitu saja, bibirnya semakin membentuk sebuah senyuman jahil ketika kepalanya bersandar di pundak milik Viktor.
Ian meletakkan cangkirnya di atas meja dan mengeluarkan sebuah ponsel dari balik saku celana jinnya. Sesaat kemudian, ia menunjukkan layar ponselnya padaku. Di sana terdapat sebaris tulisan alamat surel, [email protected].
"Itu email gue, nanti tolong kirim catatannya ke situ ya," ucapnya dengan raut wajah yang datar.
Aku menatapnya sesaat sambil menimang sebuah pikiran di dalam kepalaku. Dia meminta tolong dengan suara yang lembut dan terkesan ramah, tetapi raut mukanya berbanding terbalik ... sangat datar. Pada akhirnya aku memutuskan untuk mencatat alamat surelnya di ponselku, tidak ada salahnya membantu orang lain.
Ian meminum kopinya dengan sekali tegukan sebelum berdiri dan berkata pada Viktor, "Gue cabut ya, V."
"Mau kemana lo?" tanya Viktor pada sahabatnya. "Belum juga makan."
"Masih ada urusan," jawabnya singkat. Ia kemudian menggendong tasnya seraya bangkit dari kursi dan pada saat yang bersamaan ia berbisik padaku, "Makasih."
Dengan itu, ia lalu berjalan menjauh dari kantin, menyusuri area lapangan untuk menuju gedung utama. Tatapan terpukau dari beberapa mahasiswi diberikan untuknya ketika ia melewati mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro