Perjalanan Pertama
"Selamat ulang tahun, Sayang" ucap ayah yang berdiri di ambang pintu. Aku berlari ke arahnya dan melompat ke pelukan hangatnya. "Enggak terasa ya, kamu udah besar sekarang."
"Terima kasih, Ayah," kataku seraya mencium pipinya.
Ayah tersenyum dan mengangkat tubuh kecilku ke dalam gendongannya. "Kamu tahu enggak kalau ayah udah siapin hadiah istimewa?
Kedua tangan mungilku menutupi mulutku yang terbuka, sepasang mata bulat itu pun terbuka lebar. "Yang bener, Yah? Ayah enggak bohong, kan?"
Ayah berjalan ke arah tempat tidur dan menurunkanku di sana. "Enggak dong, ayah 'kan enggak pernah bohong. Coba kamu duduk di sini."
Pintu kamar terbuka dan menampilkan ibu dengan senyuman di wajahnya, ia memegang sebuah kotak di tangannya. Ibu duduk di sampingku dan mencium pipiku lalu memelukku erat. "Selamat ulang tahun, Nadeen. Ini hadiah istimewa yang ayah sama ibu siapin buat kamu," katanya sambil menyerahkan kotak itu.
"Apa ini?" tanyaku ketika menerima kotak itu.
"Coba kamu buka biar tahu isinya. Ayah yakin kamu pasti suka," ucap ayah sambil tersenyum.
Ketika kotak tutupnya terbuka, aku melihat berlian yang cerah dan indah. Kalung berlian biru. Aku melihat orang tuaku yang sudah tersenyum. "Kalung ini sangat berharga, Sayang. Banyak orang yang menginginkan kalung ini dan kamu sangat beruntung bisa memilikinya. Ayah harap kamu selalu menyimpannya, ya ... sampai kapan pun. Jangan sampai hilang."
Aku tidak mengerti apa yang ayah maksud dengan itu. Ayah memakaikan kalung itu di leherku, ketika aku melihat wajah kedua orang tuaku, wajah mereka terlihat sangat bahagia. Tangan kecilku memeluk mereka dan mengucapkan terima kasih. Pada saat bersamaan, terdengar suara langkah kaki yang mendekati kamar dan seorang pria seumuran ayah pun muncul dengan sebuah seringai.
"Berikan benda itu!" gertaknya.
Tenggorokanku rasanya sangat sakit seiring dengan tarikan napas yang memburu, jantungku pun berpacu begitu cepatnya. Kedua mata ini mengamati sekeliling, tirai putih yang tersibak memperlihatkan pancaran sinar sang surya. Sebuah perasaan lega menyelimuti ketika tersadar jika aku berada di kamarku dan terlepas dari mimpi buruk itu. Aku mengusap wajahku sambil mencoba mengatur pernapasanku yang memburu, kuambil segelas air putih yang ada di nakas dan meneguknya hingga tak tersisa.
Ini sudah ke sesekian kalinya aku bermimpi tentang hal yang serupa dan selalu saja berakhir dengan tidak bisa mengenali wajah pria itu. Namun, aku yakin jika pria itu adalah orang yang sudah merusak kebahagiaan keluargaku.
Lima belas tahun yang lalu, ayah mengembuskan napas terakhir di rumah kami dengan cara yang mengenaskan. Beliau ditembak oleh seseorang di dadanya. Aku masih ingat dengan jelas aliran darah segar yang keluar dari tubuhnya, saat itu aku baru berumur tujuh tahun dan untuk pertama kalinya aku menyaksikan seorang yang selalu kusebut sebagai pahlawan tergeletak tak berdaya di lantai ruang tamu. Sampai detik ini aku masih belum mengerti mengapa orang itu tega menghabisi nyawa ayah. Dosa apa yang membuat beliau harus menerima itu semua?
Aku memijit keningku sebelum memutuskan untuk bersiap-siap memulai aktivitas. Hari ini adalah pertama kalinya aku masuk kuliah lagi setelah tiga hari izin karena ibu menjadi gelisah dan tidak bisa tidur lagi. Kesehatan ibu akan selalu menjadi prioritasku.
Tak lama kemudian aku sudah berada di perjalanan menuju kampus dengan membawa tiga kotak sepatu pesanan teman sekampusku. Aku memulai menjadi seorang dropshipper sekitar tiga tahun yang lalu dan kujual di lokapasar maupun dari mulut ke mulut. Memang terlihat mudah karena tidak mengeluarkan modal banyak. Namun, semua pekerjaan pasti ada kesulitannya. Lagi pula, ada rasa bangga ketika bisa membeli sesuatu dengan hasil keringat sendiri, selain itu aku juga harus mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan ibu yang tidak murah.
"Nadeen!" panggil seseorang dari kejauhan ketika aku berjalan menuju kelas. Aku menoleh dan menemukan sahabatku berlarian menuju ke arahku. "Akhirnya lo masuk kuliah juga hari ini. Kangen gue ...," ungkapnya seraya memelukku.
"Tumben, biasanya lo lupain gue kalau udah sama V," candaku sambil mencoba keluar dari pelukan eratnya.
Alison mendengkus dan menepuk lenganku, tetapi beberapa detik kemudian ekspresi wajahnya berubah dari cemberut menjadi kuatir. "Omong-omong, gimana keadaan nyokap lo?"
"Sambil jalan," kataku seraya menarik tangan Alison. Aku membutuhkan beberapa saat untuk menjawab pertanyaannya. Otakku memutar kembali ingatan tiga hari yang lalu saat salah seorang petugas panti rehabilitasi menghubungiku dan mengatakan jika ibu menjadi takut bertemu orang lain setelah bermimpi buruk. "Nyokap gue udah mendingan. Kemarin sempat enggak bisa tidur, tapi udah gapapa kok. Kayaknya obat yang kali ini cocok. Terus, kayaknya hari ini mau ganti terapis, soalnya yang kemarin pindah tugas."
"Syukur deh kalau gitu," ucap Alison sambil merangkul pundakku. "Gue terus doain biar nyokap lo cepat sembuh, Nad."
Aku tersenyum sebagai balasannya. "Oh iya, lo beneran kangen sama gue?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
Alison menghela napas. "Gue dua hari kemarin benar-benar sendirian tahu gak sih. V lebih pilih teman-temannya dari pada gue. Bayangin ...."
Aku memutar mata. "Al, V itu sibuk buat siapin festival kampus. Dia sama anak-anak band Cool Kids 'kan jadi bintang utama, wajar kalau dia sibuk. Bentar lagi 'kan acaranya?"
"Iya sih. Tapi tetap aja, kesepian gue," keluh Alison.
V (dibaca Vee/Vi) adalah singkatan dari Viktor, pacar Alison. Ia bergabung dalam sebuah band kampus yang bernama Cool Kids sebagai penyanyi sekaligus pemegang gitar. Mereka sudah berpacaran selama hampir dua tahun dan meskipun keduanya memiliki karakter yang sangat bertentangan, tapi aku kagum mereka bisa bertahan lama.
Setibanya di kelas sastra Inggris, aku dan Alison menduduki bangku yang biasa kami tempati, nomor dua dari belakang. Alison duduk di deretan kursi sebelah kananku bersama Viktor. Ia belum juga datang, meskipun sebagian mahasiswa sudah berada di tempatnya masing-masing.
"Kelar kelas ini, temani gue ke kantin bentar ya, Al. Ada pesanan sepatu dari anak Hukum," ucapku pada Alison seraya menaruh kantong plastik yang berisi kotak sepatu di bawah mejaku.
"Wah, ada yang kelarisan nih kayaknya," goda Alison sambil menyenggol kakiku dengan miliknya.
"Disyukuri," balasku singkat sembari tersenyum.
"Yang!" seru Alison tiba-tiba yang membuat sebagian besar mahasiswa menoleh ke arahnya.
Alison tersenyum lebar dengan mata berbinar ketika melihat ke arah pintu, pandanganku mengikutinya. Rupanya Viktor sudah datang, ia berjalan dengan percaya diri yang tidak main-main. Senyuman menawan yang mampu membuat siapa saja luluh itu tersungging di bibirnya. Namun, ketika ia mengeluarkan sifatnya yang kadang membuatku bertanya-tanya apa yang sebenarnya ada di dalam kepalanya itu, orang tidak akan percaya jika ia adalah orang yang sama.
"Aliet ... my Aliet," panggil Viktor sambil berjalan secara dramatis ke arah pacarnya.
"Viktoro ... my Viktoro," sahut Alison dengan senyum semringah.
Panggilan itu adalah gabungan dari Alison-Juliet dan Viktor-Romeo. Secara otomatis itu membuat orang-orang yang ada di kelas menatap mereka karena sudah terbiasa dengan tingkah nyelenehnya. Ketika Alison berjalan dan dengan sengaja menabrakkan dirinya ke tubuh Viktor hanya agar bisa memeluknya, aku memalingkan muka. Saat itu aku tersadar jika ada seorang laki-laki yang tidak kukenal berjalan di belakang Viktor. Beberapa perempuan di kelasku menatapnya dengan mulut setengah terbuka dan mata yang melebar.
Bukan rahasia lagi jika mahasiswa di kelas sastra Inggris memang sebagian datang dari keluarga terpandang yang gemar menggunakan pakaian mahal dan menghabiskan waktu di kafe yang berkelas. Namun, laki-laki itu melebihi mahasiswa di kelas ini dan itu terlihat dari pakaian yang ia gunakan. Ia memakai sebuah topi hitam yang hampir menutupi sebagian wajahnya, hanya hidungnya yang mancung dan bibir tipisnya yang terlihat. Tubuh tinggi tegap itu terbalut jaket hitam-putih dengan merek ternama terpampang di bagian dada, serta celana jin biru muda yang robek di bagian kedua lutut. Sepatu hitam yang bernilai fantastis pun senada dengan tas ransel yang menempel di punggungnya.
Tak heran jika para perempuan itu terpesona dengannya, aura mahal yang terpancar dari laki-laki itu pasti membuat mereka tergiur. Dasar matre!
Di luar dugaanku, ia duduk di belakang bangku yang kutempati tanpa melihat sekeliling, seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Aku menatapnya dengan heran.
"Wah iya, Nad, lo belum kenalan 'kan sama sohib gue," ucap Viktor yang masih memeluk pinggang Alison. "Anak baru dia, baru pindah pas lo absen kemarin."
Dia pindah pas pertengahan semester?
Laki-laki itu meletakkan tas mahalnya di atas meja sebelum membuka topi dan memperlihatkan wajah serta rambut hitamnya yang sedikit panjang. Tanpa kusadari aku pun menilai penampilannya, kilauan anting-anting berbentuk bulat yang terpasang di masing-masing telinganya mencuri perhatianku. Ia juga memiliki tato di lehernya, tepat di bawah daun telinga sebelah kanan bertuliskan 너 자신을 사랑해 yang ditulis secara vertikal. Sepasang mata monolid itu menatap tanya ke arah Viktor.
"Bro, kenalin ... dia Nadeen, teman gue sama Alison," ucap Viktor sambil menunjuk jarinya ke arahku.
Sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya ketika melihat ke arahku. Sambil mengangguk, ia berkata, "Sebastian."
Aku membalas anggukannya. "Nadeen."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro