Penelusuran
Deretan rumah minimalis terlihat dari balik kaca taksi yang kutumpangi. Rumah-rumah berlantai dua dengan gerbang kayu yang tinggi mendominasi area ini. Apa yang aku lihat sekarang ini adalah bukti bahwa tidak selamanya kita berada di posisi yang sama. Aku masih ingat dengan jelas saat duduk di bangku taman kanak-kanak, rumah Om Roni hanya memiliki tiga kamar yang tidak begitu besar, halaman depannya pun lebarnya tidak sampai tiga meter. Lalu saat itu rumah kedua orang tuaku tiga kali lipat besarnya, tetapi lihat apa yang terjadi sekarang, semuanya berbanding terbalik.
Taksi berwarna putih ini berhenti di depan sebuah rumah dengan nomor 15A, aku segera turun dan menekan tombol yang ada di tembok. Dua kali aku menekan bel tersebut, tetapi belum ada juga yang keluar untuk membukakan pintu. Aku melihat sekeliling area ini yang terlihat sepi, hanya ada beberapa orang yang berjalan melewati depan rumah Om Roni dan juga sebuah mobil hitam yang terparkir di samping lapangan yang berada di seberang rumah ini. Untuk yang ketiga kalinya aku menekan tombol bel dan barulah pintu gerbang ini terbuka. Seorang wanita paruh baya yang bekerja di rumah Om Roni menyapaku dengan ramah.
"Om Roni ada di rumah, Bi?" tanyaku padanya.
"Iya, bapak ada di rumah, Mbak. Mari silahkan masuk."
Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Berjalan menuju pintu utama yang setengah terbuka, aku sedikit menyesal karena harus kemari. Tante Rosa berdiri dengan kedua lengan yang terlipat di depan dada. Setelan pakaian berwarna biru muda dan tas kecil mahal memberitahuku jika ia akan pergi ke suatu tempat, yang tak lain adalah perkumpulan ibu-ibu yang suka pamer. Wajahnya yang masih terlihat muda itu jelas menggambarkan jika kedatanganku tidak ia harapkan.
"Tumben kamu ke sini. Ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi. Ia berdiri tepat di depan pintu, seperti menghalangi untuk melangkah melangkah masuk.
"Mau ketemu Om Roni," jawabku seadanya. "Boleh aku masuk?"
"Orangnya gak ada di rumah. Barusan aja pergi," ucap Tante Rosa.
Aku hanya menatapnya dan melipat lenganku di dada seperti yang ia lakukan. Kedua mata kami pun seperti beradu, seperti mencoba berargumen lewat tatapan tajam. Umur Tante Rosa memang sangat jauh di atasku, tapi terkadang aku berpikir jika tanteku ini bertingkah layaknya remaja yang menyimpan dendam pada temannya. Bahkan dulu ketika aku dan ibu masih tinggal bersama mereka, tak ada sehari pun tanpa aku dan Tante Rosa beradu mulut. Entah itu masalah sepele maupun mengenai kondisi yang ibu alami.
Tak lama kemudian, sepupuku yang bernama Sandi keluar dan menghampiri kami. Ia anak bungsu dari Om Roni dan Tante Rosa, usianya dua tahun lebih muda dariku. Sandi tersenyum dan memberi sebuah pelukan hangat untukku. "Kak Nadeen, udah lama gak ke sini. Gimana kabarnya?"
Datang ke sini kalau ujung-ujungnya ketemu sama mama kamu, aku mendingan gak usah, San.
"Baik, San," ucapku dengan membalas senyumannya. "Papa kamu ada di rumah?"
"Ada, lagi beres-beres di gudang. Dari tadi udah nungguin Kakak datang kok," jawab Sandi. Itu membuatku tertawa puas dalam hati.
Sandi melihat ke arah ibunya dengan heran. "Mama katanya mau pergi tadi, kenapa masih di sini?"
Aku melihat sekilas ke arah Tante Rosa yang terlihat kesal, tetapi ia memilih untuk bungkam dari pada mengomeli anaknya dan berjalan menuju mobilnya. Aku dan Sandi masuk ke dalam dan berjalan menuju gudang di mana Om Roni berada.
"Kata papa, Kak Nadeen mau ambil barang-barang almarhum om, ya?" tanya Sandi.
"Iya, ada beberapa yang aku butuhin."
"Omong-omong, tadi kakak ke sininya diantar siapa?"
"Pakai taksi."
Sandi berjalan melambat dan terlihat sedang berpikir. "Oh, aku kirain diantar orang."
Aku melihat dengan bingung. "Kok gitu, kenapa?"
"Enggak, soalnya tadi aku lihat ada mobil parkir di dekat lapangan, terus kakak masuk tadi. Mungkin orang lagi cari alamat kali ya. Soalnya rumah sebelah, dua-duanya lagi kosong, jadi enggak mungkin tamu mereka," jelas Sandi.
"Iya mungkin mereka lagi cari alamat." Aku tidak terlalu menggubris omongan sepupuku ini dan membuka pintu gudang.
- - -
"Om gak mau ketemu sama ibu apa?"
"Ya kamu tahu sendiri gimana 'kan, Nad."
"Lagi-lagi aku harus yang ngertiin, Om? Kalian itu yang seharusnya bersikap dewasa."
"Nad, kita udah bahas ini beberapa kali dan jawaban om akan tetap sama. Bukannya om gak mau, tapi ada saat om ke sana dan itu gak bisa setiap hari."
"Aku gak minta om datang tiap hari kok. Minimal satu bulan sekali. Ibu kemarin ketakutan lagi, ada orang yang datang ke panti rehabilitasi terus ketemu sama ibu. Aku enggak tahu itu siapa, tapi orang itu yang bikin ibu jadi ngomong gak jelas lagi."
Om Roni terdiam di tempatnya, kepala menunduk dengan kedua tangan yang menyatu. Aku menghela napas panjang, suasana di rumah yang sepi ini membuatku merasa sangat kesal, ditambah karena mendengar alasan yang selalu sama dari adik ibuku sendiri. Aku kembali fokus untuk mencari berkas yang kuinginkan di dalam kardus besar yang cukup mengherankan karena terlihat bersih. Om Roni pasti membersihkannya sebelum aku tiba di sini. Satu per satu kukeluarkan kertas-kertas dari map dan meletakkannya di meja ruang tamu, tulisan Proposal Pengajuan Investasi menyita perhatianku. Namun, nama pemilik perusahaan itu bukan Ed atau Edi. Aku yakin, perusahaan sebesar milik ayah dulu investornya pasti tidak hanya satu ataupun dua saja.
Aku melihat ke arah Om Roni yang sedang menyesap kopinya. "Aku mau tanya Om, dulu perusahaan yang ayah pegang itu dari kakek Darwis 'kan?"
Om Roni meletakkan cangkirnya di atas meja sebelum menjawab dengan ragu. "Setahu om sih iya, ibu kamu yang cerita dulu sebelum menikah. Katanya ayahnya kamu udah mapan, ikut mengurusi perusahaan keluarga. Satu atau dua tahun setelah menikah, ayah kamu resmi jadi pemegang perusahaan."
"Om tahu pemegang sahamnya siapa aja? Aku cari di berkas kantor yang ada di rumah, tapi gak ketemu. Aku masih ingat sama wajah pelakunya, Om. Aku yakin banget, orang itu pasti dekat sama ayah. Om tahu sendiri 'kan, ayah dulu gak pernah biarin orang lain ke rumah kalau enggak penting."
Om Roni hanya mengangguk. "Kalau soal siapa aja yang pegang saham, om enggak tahu, Nad. Ayah kamu enggak pernah bahas perusahaan kalau kami bertemu dulu. Lagian, om ini cuma adik ipar, tahu apa soal perusahaan," tuturnya. Ia kemudian terdiam, seperti sedang mengali ingatan masa lalu. "Kayaknya om ingat, ayah kamu itu punya sahabat dari kuliah. Kayaknya orang itu juga kerja di kantornya. Kami bertiga dulu pernah main golf bareng, tapi om lupa namanya siapa soalnya cuma sekali ketemu."
Jantungku berdebar mendengar informasi baru yang Om Roni katakan. "Om ingat ciri-ciri orangnya?"
Sepasang mata yang sama persis bentuknya dengan milik ibu itu menatap jauh ke depan sembari ia berpikir. "Orang tinggi, badannya berisi ... kulitnya cerah ... wajahnya oriental. Seumuran sama ayah kamu."
Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Gambaran kejadian yang menyakitikan itu terlintas di memori otakku. Namun, orang yang kulihat dulu itu tidak seperti yang om Roni gambarkan. Ia seperti orang lokal dengan kulit tidak terlalu cerah dan ia mempunyai mata yang tajam, badannya pun terbilang kurus. Aku mengambil cangkir yang berisi teh dan meneguk sampai habis, berusaha menenangkan pikiranku sendiri.
"Ayah sama ibu kamu orangnya tertutup kalau soal urusan keluarga. Waktu dimintai keterangan polisi aja, ibu kamu pilih buat pergi sendiri. Dia gak mau om ada di sana. Pas om tanya gimana kejadian, om yakin ibu kamu enggak ceritain semuanya sama om.
"Pas perusahaan itu diambil alih sama orang, ibu kamu yang ngurusin semuanya. Kata ibu kamu, perusahaan itu dibeli sama salah satu pemegang saham. Dia tinggal di luar kota, jadi yang ngurusin di sini kaki tangannya. Om sendiri enggak pernah lihat langsung orangnya.
"Maharani itu orangnya terlalu mandiri, keras kepala, dia gak mau ngerepotin orang lain. Tapi sebenarnya dia enggak kuat-kuat banget buat ditanggung sendiri bebannya."
Benar sekali. Ibu memang dulu terlalu keras kepala.
"Om tahu nama orang yang ngurusin sekarang?"
"Eric Kim," jawab Om Roni. "Tapi om juga gak tahu benar apa enggak. Udah lama om gak pernah dengar berita soal perusahaan itu setelah Rio meninggal dan perusahaannya ganti nama. Lokasinya aja pindah."
Eric Kim. Aku pasti bisa mencari tahu informasi melalui beliau.
"Kamu masih mau cari pelakunya, Nad?" tanya Om Roni.
Tanpa berpikir dua kali aku mantap menjawab, "Iya. Harus sampai ketemu."
"Hati-hati, Nad," ucap Om Roni dengan sungguh-sungguh. "Om gak mau sampai kamu kenapa-kenapa."
Aku memasukkan beberapa berkas yang sekiranya dapat membantu. Aku memang sudah bertemu dengan beberapa mantan karyawan ayah dulu. Namun, aku tersadar jika masih banyak orang yang harus aku selidiki ... dan ini tidak mudah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro