Jemputan
Hasil ngegambar semaleman😅
Sesuai janji yang sudah terlanjur terucap, pada pukul tujuh lebih lima belas menit mobil milik Sebastian terparkir di depan rumahku. Aku menghela napas dan menutup kembali tirai yang kusingkapkan untuk melihatnya dari ruang tamu. Tak lama kemudian, ponselku berdering ketika aku sedang memasukkan laptop ke dalam tas.
Sebastian is calling.
"Sebentar," ucapku tanpa basa-basi setelah mengangkat panggilan darinya dan memutus panggilan itu seketika.
Aku bergegas berjalan keluar dan tidak lupa untuk memastikan untuk mengunci pintu.
"Gue nggak nyangka lo benaran jemput gue," kataku ketika sudah berada di dalam mobilnya.
Hari ini memakai baju berwarna biru tua dengan dua kancing teratas dibiarkan terbuka. Rambutnya pun dikucir asal-asalan, menjadikan beberapa helai rambut terlepas dan membingkai wajahnya. Aku baru kali ini melihat laki-laki dengan rambut panjang yang terlihat pantas. Biasanya aku tidak suka melihat laki-laki dengan rambut panjang, karena menjadikan mereka terlihat kusut dan juga tidak rapi. Namun, berbeda dengan Sebastian, rambutnya terlihat halus dan masih terlihat enak dipandang meski kadang 'berantakkan'.
"Gue nggak main-main sama omongan gue sendiri," balasnya sambil mengemudikan mobilnya untuk meninggalkan pekarangan rumahku.
"Lo beneran nggak mau masuk hari ini? Ada kuis loh di kelasnya Bu Andini."
"Bukannya nggak mau, tapi gue nggak bisa," ucap Sebastian.
"Kalau gue tanya apa alasannya pasti lo nggak akan jawab 'kan?"
"Itu lo tahu," jawabnya dengan menyeringai.
---
"Lo berangkat bareng Ian, Nad? Kok bisa?" tanya Alison saat kami keluar dari lapangan basket dan berjalan menuju ruang ganti.
"Iya. Dianya maksa," jawabku dengan jujur.
Alison menahan lenganku sambil menunjukku dengan telunjuknya dan kedua mata yang menyipit. "Gue yakin banget beberapa minggu yang lalu lo bilang kalau nggak tertarik sama Ian. Tapi sekarang lo berdua ternyata …."
Aku menyeka wajahku yang berkeringat dengan handuk kecil sambil menahan untuk tidak memutar mata, tetapi gagal. Kusingkirkan tangan Alison yang ada di depan wajahku, kemudian melanjutkan langkah menaiki tangga.
"Lo sama Ian jadian, Nad?" teriak Alison sambil berlarian kecil untuk mengejarku. Beberapa mahasiswa yang sedang duduk di pinggir taman melihat ke arah kami.
Astaga, Alison. Kalau nggak bikin malu sekali aja kenapa sih?
"Lo jadi orang kalau diam bentar kenapa sih? Susah banget ya? Malu tahu dilihatin orang," bisikku padanya ketika kami sudah berjalan beriringan lagi.
Ia terkekeh dengan puasnya. "Makanya jawab gue dong. Lo jadian sama Ian?"
Di ruang ganti yang berukuran cukup luas ini hanya terdapat kami berdua. Aku langsung menuju loker dengan nomor 035 dan membukanya untuk mengambil pakaian ganti.
Di dalam kepala aku berpikir apa harus menceritakan kejadian kemarin siang pada Alison atau tidak. Alison sebisa mungkin menceritakan apa pun padaku, bahkan dari kami berdua baru mengenal kurang lebih sebulan dulu. Namun, aku kembalikan, lebih memilih menutup rapat-rapat masalah yang kuhadapi.
Aku memeluk pakaian gantiku dan duduk di salah satu bangku, menoleh kanan dan kiri untuk memastikan bahwa kami hanya berdua di sini. "Al, gue mau cerita ...."
Alison yang sedang membetulkan ikatan rambutnya mengangkat sebelah alisnya. "Apa?"
Lalu pada akhirnya aku menceritakan kejadian kemarin.
"Gila, wah nggak benar nih. Ya ampun … sumpah ya, maunya itu orang apa coba? Tapi lo nggak kenapa-kenapa 'kan?" tanyanya dengan panik dan memegang tanganku. Seperti mengecek apakah aku ada luka fisik atau tidak.
"Ya, untungnya ada Sebastian kemarin, kalau enggak gue udah nggak tahu deh ...."
"Jangan ngomong gitu. Orang baik kayak lo pasti ada yang bantuin walaupun itu bukan Ian," ucap Alison sambil menepuk-nepuk lenganku. "Lo salah apa coba bisa sampai ada yang ngikutin gitu?"
"Gue enggak tahu." Lagi-lagi hanya itu yang bisa kujawab.
"Udah, lo jangan terlalu mikirin itu ya. Ada gue, ada V yang bakal jagain lo, ada Ian juga," ucapnya Alison sembari memelukku. Aku membalas pelukannya dan hampir saja meneteskan air mata. "Sekarang Ian kemana? Dia nggak ikut kelasnya Bu Andini tadi."
Aku menarik bahu. "Gue kurang tahu sih. Katanya cuma ada urusan penting."
Sebastian hanya mengantarku hingga ke depan kelas tadi pagi, lalu setelah ia pergi entah kemana. 'Masih ada urusan', itulah yang selalu ia katakan jika ingin pergi tanpa menjelaskan lebih lanjut. Semalam akhirnya ia menenangkan pertaruhan konyol kami. Apa yang Sebastian duga ternyata benar adanya. Bahkan ia sangat paham tentang produksi film, mulai dari gradiasi warna yang dipakai hingga mengetahui jika sebagian menggunakan efek CGI (Computer Generated Imagery) atau bukan. Ketika aku bertanya dari mana ia mengetahui itu, ia hanya mengatakan jika sudah hafal karya dari sutradara film tersebut.
Film itu mengangkat tema tentang self-defeating, tokoh utama wanita memiliki kekasih yang sering kali menyalahkan diri sendiri hingga itu mempengaruhi hubungan mereka. Ketika ia mengetahui itu, ia bertekad akan membantu sang kekasih untuk keluar dari kegelapan yang selama ini menyiksanya.
Ada adegan di mana tokoh utama laki-laki menyalahkan dirinya sendiri karena tidak sengaja membuat anjing peliharaan mereka hilang. Sang tokoh utama laki-laki itu mencari anjingnya hingga malam hari dan berjalan di tengah hujan lebat. Ia juga berulang kali mengutuk dirinya sendiri di dalam kepala, jika saja ia tidak begini atau begitu, mungkin anjing mereka tidak akan hilang. Padahal anjing itu keluar dengan sendirinya dari rumah mereka melalui jendela dan tidak tahu jalan pulang.
Reaksinya mengingatkanku pada kejadian beberapa tahun yang lalu saat ibu menunjukan gejala awal. Saat itu aku duduk di bangku SMP dan telat masuk sekolah, ibu mengetahui itu dan mulai menyalahkan dirinya sendiri. Ia berpikir jika saja bangun lebih awal dan menyiapkan sarapan untukku tepat waktu, aku tidak akan telat.
Hanya masalah sepele sebetulnya, tetapi bagi ibu itu sangat fatal hingga membuatnya tidak bisa tidur dan berkali-kali meminta maaf padaku. Saat itu aku tidak terlalu memikirkannya, karena aku juga tidak mendapatkan hukuman, jadi tidak masalah.
"Lo nanti pulang gue sama V aja, Nad," ucap Alison. "Gue nggak mau kejadian kemarin terulang lagi. Benar apa kata Ian, lo nggak boleh pergi sendirian lagi."
"Tapi gue nggak mau ngerepotin kalian."
"Apaan sih, lo kayak sama orang lain aja. Gue khawatir sama lo, Nad. Pokoknya lo enggak boleh nolak."
Bagaimana ini? Padahal nanti setelah pulang kuliah aku rencananya akan ke panti rehabilitasi.
Alison benar-benar tidak menerima penolakan, ia menggandengku keluar dari ruang ganti menuju kantin sembari menceritakan apa yang sudah ia siapkan untuk pesta ulang tahunnya.
Hari berjalan begitu cepat, tak terasa sudah waktunya untuk pulang. Aku berjalan bersama Alison menuju parkiran mobil mahasiswa di mana Viktor sudah menunggu kami.
"Makasih ya, V udah mau nganterin gue pulang," ucapku pada Viktor saat sudah duduk di kursi belakang mobilnya.
"Sama-sama, Nad," jawabnya sambil tersenyum. "Ali udah cerita semuanya ke gue dan sekarang gue udah nggak bingung lagi kenapa tadi Ian hubungin gue terus minta buat nganterin lo pulang. Gue juga bakal khawatir kalau lo pulang sendirian. Bahaya, kita nggak tahu maunya dia apa 'kan."
"Dia minta lo buat nganterin gue pulang?" tanyaku dengan heran.
"Iya, tapi dia nggak bilang alasannya."
Saat sudah dalam perjalanan, obrolan kami tak jauh-jauh dari kejadian yang menimpaku kemarin. Namun, ujung-ujungnya kembali pada Sebastian yang padahal tidak terlihat batang hidungnya sekarang.
"Tapi Ian baik juga loh, mau jemput lo tadi pagi. Maksud gue, dia bisa langsung inisiatif gitu," timpal Alison yang duduk di depan. Ia kemudian menoleh ke arahku dengan senyuman jahil. "Kalian udah dekat banget ya?"
"Apaan sih lo, gue sama dia cuma teman biasa," bantahku. "Kebetulan juga satu tim buat ngerjain tugas dari Pak Andi."
"Halah … belum aja 'kan?" godanya sambil terkekeh yang diikuti oleh kekasihnya. "Ngomong-ngomong, itu Ian suka ngilang tiba-tiba kenapa sih, Yang?"
"Ian emang orangnya gitu. Dia lebih suka menyendiri," jawab Viktor. "Dari dulu nggak berubah dia."
"Dia kuliah sambil kerja, V?" tanyaku sedikit penasaran dengan kehidupan Sebastian. Ia pernah mengatakan jika dia bukan pengangguran 'kan?
"Iya. Dia editor film," jawab Viktor. Pantas saja dia tahu banyak soal film. "Suka banget ngedit gitu dari jaman SMP. Terus akhirnya bisa kerja deh jadi editor, freelance gitu. Sebelum pindah ke kampus kita, dia 'kan ambil fakultas film dan televisi. Nggak tahu kenapa pindah padahal belum selesai."
Saat sampai di depan rumahku, aku segera turun dan mengucapkan terima kasih pada mereka berdua. Aku memasuki rumah untuk mandi dan bersiap-siap sebelum pergi lagi menuju panti rehabilitasi. Rencananya aku akan konsultasi pada dokter tentang efek obat baru yang ibu konsumsi, apa ada kemajuan atau tidak. Semoga saja ada berita baik, karena ini sudah lebih dari dua minggu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro