Festival Berakhir Fatal
Aku menyandarkan kepalaku pada pilar sambil melihat ke arah lapangan dan taman kampus. Dari balik kaca tebal yang berada di lantai sembilan ini terlihat jelas puluhan tenda putih berdiri di antara ratusan mahasiswa yang memenuhi area tersebut. Aneka makanan dan berbagai macam kerajinan yang dihasilkan mahasiswa/mahasiswi sudah siap diperjualkan di sana. Alunan musik pop terdengar melalui pengeras suara yang terpasang di setiap sudut kampus.
Cuaca hari ini sangat cerah, meskipun begitu udara dingin masih bisa terasa bahkan saat jam sudah menunjukan waktu setengah dua siang. Kurapatkan jaket merah hati yang memiliki logo kampus di bagian belakang ini sambil berjalan menuju eskalator. Setelah mengumpulkan tugas pada dosen, aku berniat menemui Alison yang sedang menemani Viktor geladi bersih untuk penampilan band kampus nanti.
Festival kampus yang diadakan setiap tahunnya selalu menjadi acara yang berkesan. Tak hanya mahasiswa kampus ini yang bisa menikmati aneka pertunjukan dan makanan, tetapi orang luar pun bisa bergabung asalkan mempunyai tiket. Apalagi kampusku ini selalu mempunyai ide-ide menarik setiap tahunnya yang mampu menarik minat orang-orang. Tahun ini mereka menambahkan dua jenis hiburan, yaitu; melukis, dan pameran fotografi.
Dalam perjalanan menuju panggung yang berada di tengah-tengah lapangan, aku mampir untuk membeli segelas cappucino panas agar badanku sedikit hangat. Mungkin aku juga akan membeli churro untuk menemaninya.
"Terima kasih," ucapku saat menerima gelas plastik berisikan cappuccino dan tiga potong churro beserta uang kembalian.
Bibirku beradu dengan pinggiran gelas saat menyesap kenikmatan minuman berkafein itu. Jarang minum kopi membuat lidahku harus menyesuaikan dengan rasanya, meskipun ini bukan jenis yang pekat. Orang-orang ada yang berdiri maupun duduk di atas rerumputan dengan beralaskan tikar kecil yang mereka sewa sambil menunggu pertunjukan utama. Menurut jadwal yang sudah diumumkan, Cool Kids akan tampil pada jam tiga sore. Alison sedari pagi sudah sibuk mempersiapkan alat dokumentasi untuk mengabadikan penampilan Viktor beserta teman-temannya.
Sesampainya di depan panggung, Viktor terlihat berdiri dengan sebuah mikrofon di tangan sambil berbincang dengan seorang temannya. Namun, di sana tidak terlihat gadis berambut panjang yang kucari. Aku memutuskan untuk mencarinya di belakang panggung, benar … Alison sedang tersenyum ke arah kamera ponselnya di sana. Sepertinya Alison sudah mencium kedatanganku, karena ia tidak kaget saat aku mendekat dan menepuk pundaknya.
"Gue cariin dari tadi," ucapku saat mendekatinya.
"Kan gue udah bilang kalau mau nemenin V rehearsal," jawabnya sebelum kembali tersenyum pada layar ponselnya untuk mengambil swafoto.
"Iya, tapi gue pikir lo bakalan ada di depan, bukan senyum-senyum sendirian di sini."
"Ini namanya mengabadikan momen, Sayangku." Kemudian ia menarikku dan merangkul pundakku untuk berpose bersamanya. "Senyum dikit ke kamera," perintahnya.
Aku menggelengkan kepala, meskipun akhirnya menuruti permintaannya. Kami mengambil beberapa foto menggunakan ponselnya dan juga kamera digital yang ia beli tiga bulan yang lalu. Sekitar pukul tiga lebih lima menit, Alison mengajakku ke depan panggung saat suara merdu milik V terdengar dan alunan lagu yang ia ciptakan mulai dinyanyikan. Orang-orang pun sudah berdiri sambil melompat-lompat, larut dalam instrumen yang membuat semangat. Aku mengambil alih untuk merekam geladi bersih V beserta teman-temannya dan juga Alison yang tersenyum lebar memperhatikan sang pujaan hatinya.
"Ini salah satu lagu favorite gue," ucapnya dengan sedikit berteriak untuk mengimbangi kerasnya musik.
Tentu saja, lagu yang berjudul First Time itu diciptakan khusus untuk Alison satu tahun yang lalu. Dengan lirik dan alunan melodi yang ceria, serta ditambah hentakan musik pop/rock membuat siapa saja yang mendengar langsung terpikat. Viktor memang terlihat dingin dari luar, meski jika sudah mengenal kekonyolannya akan jelas terlihat, tetapi ketika membuat lagu ia tidak akan setengah-setengah. Hasilnya pun tidak akan mengecewakan, tak dipungkiri ia sudah bisa menghasilkan pundi-pundi uang dari hobinya tersebut.
Semua orang, terutama Alison dan para perempuan lainnya berteriak histeris ketika Viktor menunjuk Alison sambil menyanyikan lirik yang berbunyi, 'None of this is a coincidence. Fate leads me to tell me everything. Just a simple glance and I already know you're gonna be my first and last.' Sepasang mata penuh tatapan kagum milik Alison tidak terlepas dari pesona Viktor di atas panggung. Itu membuatku tak bisa menahan senyuman.
Senyumanku pudar saat lagu hampir selesai. Dari layar kecil pada kamera, aku tidak sengaja menangkap sosok yang beberapa hari ini tidak kujumpai. Ia berdiri di ujung taman, di samping panggung dengan kedua tangan yang terlipat di dada. Celana jin biru terang dengan robekan di lutut, hoodie hitam, serta tas punggung hitam menjadi cirinya. Satu yang membuatku terkejut, yaitu rambut panjangnya kini berubah menjadi lebih pendek. Bisa kulihat ia memiliki undercut saat rambut hitam tersebut tertiup angin sore yang sedikit kencang. Kedua mata itu terlihat memandang jauh entah kemana, seperti hanyut pada dimensi lain.
Saat kedua mata kami bertemu tanpa sengaja, degup jantungku kian berpacu. Aku tidak ingin munafik, selama beberapa hari ini aku rindu untuk berbincang dengannya. Jujur, aku bukan tipe orang yang mudah untuk percaya dan berteman dengan sembarang orang. Di saat aku sudah mulai percaya padanya, kenapa ia malah merusak semuanya. Tuduhan tanpa bukti yang ia lontarkan beberapa hari yang lalu itu masih terus berputar di otakku. Namun, jauh di dalam sana, aku ingin sekali berjalan mendekatinya, bertanya bagaimana kabarnya. Berat bagiku menerima kenyataan bahwa ia bisa mempunyai pikiran semacam itu.
Aku memberikan kameranya pada Alison dan tanpa berpikir panjang kaki ini membawaku mendekat. Pada saat yang bersamaan, ia juga melangkah maju. Aroma wewangian yang melekat pada dirinya menggelitik indra penciumanku ketika ia sudah berada di hadapanku.
"Kita harus bicara." Tiga kata itu ia ucapkan dengan suara yang lembut. Keagresifan dalam suaranya yang malam itu ia tunjukan sudah tidak terdengar.
Merasa jika aku juga butuh jawaban, kaki ini ikut melangkah meninggalkan area festival. Aku yakin Alison pasti akan mencariku nantinya, jadi sambil berjalan aku mengirimkan pesan singkat padanya. Tentu saja aku tidak mengatakan yang sebenarnya, Alison pasti akan marah jika tahu aku pergi bersama Sebastian. Namanya pun seolah menjadi hal yang terlarang disebut setelah kejadian itu.
"Lo tunggu sini, gue mau ambil mobil dulu," ucap Sebastian saat kami berada di samping gerbang keluar kampus.
"Oke," balasku singkat sambil memikirkan rangkaian pertanyaan yang akan kuajukan padanya nanti.
Setelah itu Sebastian berjalan menuju parkiran yang berada di sebelah kanan gerbang. Punggung lebar yang terbalut hoodie hitam itu menghilang dalam balik pohon besar. Pasti ia memarkirkan mobilnya di tempat biasa yang teduh.
Sinar sang surya di ufuk barat yang memancar begitu kuatnya membuatku berpindah untuk duduk di depan pos satpam. Kedua satpam yang biasanya di sini pun tidak terlihat batang hidungnya, kemungkinan mereka sedang berkeliling untuk memastikan semuanya aman. Aku mengeluarkan ponsel dan melihat jam yang menunjukan pukul setengah empat sore. Lagi-lagi aku meninggalkan acara yang begitu penting bagi sahabatku dan pergi bersama Sebastian.
Tak lama kemudian, dari ujung mata aku bisa mengetahui seseorang sedang mengamatiku. Kedua mata ini melihat sekeliling untuk memastikannya, benar saja ada orang yang sedang bersembunyi di balik pohon dalam jarak seratus meter di arah kananku. Perasaanku mengatakan jika itu adalah orang yang sama yang mengintai dan melempar surat dalam botol. Dengan setengah keberanian, aku menyimpan kembali ponselku ke dalam tas dan berlari ke arah parkiran di mana Sebastian berada. Tanpa kuduga, orang dengan pakaian serba hitam tersebut berlari mengikutiku.
"Berhenti!" Perintah orang tersebut dengan berteriak.
Adrenalin yang terpacu hebat membuat seluruh tubuhku bergidik. Napas yang tersengal karena jarang olahraga sedikit membuat indra pengelihatanku kabur, tetapi aku tetap berlari. Ketakutan yang menjalar ini semakin menjadi ketika suara hentakan sepatu terdengar lebih dekat. Aku berteriak memanggil nama Sebastian saat melihat mobil hitam miliknya melaju keluar dari tempat parkir.
Adegan di depan mataku terjadi begitu cepat, bahkan sebelum bisa kuproses. Tiba-tiba saja aku hilang keseimbangan dan terjatuh di jalanan beraspal, lalu Sebastian memberhentikan mobilnya dan menghajar orang tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro