Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CCTV

Bibirku membentuk sebuah senyuman ketika mendengar tawa kecil yang keluar dari mulut ibu. Sudah lama suara itu kurindukan. Ibu duduk di sebuah kursi kayu yang ada di sebelah jendela, terlihat rileks dan wajahnya begitu segar. Di depannya ada Dokter Revan yang duduk di kursi yang sama, ia tersenyum memperhatikan ibu.

Aku membuka pintu lebih lebar agar bisa masuk ke dalam. "Permisi."

Mereka berdua melihat ke arahku dan  Dokter Revan berkata, "Lihat, siapa yang datang. Ibu sudah menunggu dari kemarin, ya?"

"Anakku …," panggil ibu dengan mengulurkan tangannya untuk kuraih.

Aku berjalan ke arah mereka dan duduk di sebelah ibu, ibu tiba-tiba memelukku dengan erat dan membisikkan jika ia merindukanku. Ini pertama kalinya ibu bereaksi seperti ini.  "Aku juga kangen sama Ibu. Maaf aku baru bisa ke sini sekarang," ucapku lirih.

"Kamu baik-baik aja 'kan?" tanya ibu.

Aku tertawa kecil dengan menahan air mata. "Hmm, aku baik, Bu. Lebih dari baik malahan karena aku bisa ketemu Ibu sekarang."

"Merasa lebih baik sekarang," ucap ibu lirih. Kedua matanya tersenyum.

Saat aku melihat ke arah Dokter Revan untuk bertanya apa yang terjadi, ia tersenyum dan mengangguk simpul sebelum menjawab, "Beberapa hari ini Ibu Maharani mengalami kemajuan yang sangat drastis. Tanpa obat tidur pun, empat hari berturut-turut sudah bisa tidur."

Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana bahagianya aku ketika mendengar berita itu. Sudah lama sekali ibu tidak bisa tidur dengan nyenyak tanpa obat dan jika tidak mengkonsumsi obat tidur, ibu akan bermimpi buruk.

"Ibu juga udah jarang banget mimpi buruk," ungkap ibu dengan masih tersenyum.

"Oh iya, ada hal yang harus saya bicarakan dengan Anda, Mbak Nadeen. Nanti saya tunggu di ruangan saya, ya," ucap Dokter Revan sembari berdiri dari kursi.

Soal apa ya? "Baik, Dok."

"Saya kasih kalian waktu buat ngobrol dulu. Saya permisi."

"Terima kasih, Dok," ucap ibu.

"Sama-sama, Bu Maharani." Dokter Revan mengangguk sambil tersenyum meninggalkan ruangan ibu.

Setelah Dokter Revan pergi, ibu menceritakan tentang terapi yang ia dapat selama dua minggu ini. Ibu juga bertanya mengenai kuliahku dan juga keseharianku. Bertahun-tahun tinggal terpisah, membuatku terbiasa untuk hidup sendiri, tetapi itu tidak menghapus keinginanku untuk ibu kembali ke rumah. Aku sangat bahagia karena ibu bisa menceritakan semua yang dialaminya selama dua minggu ini. Respon bicaranya pun sudah mengalami kemajuan.

Aku berbincang dengan ibu kurang lebih dua jam sebelum pamit dan berjanji akan kembali secepat mungkin. Aku berjalan menuju ruangan Dokter Revan untuk menemuinya. Terakhir aku berada di ruangan ini, aku pergi dengan hati yang marah dan kecewa, jadi ini membuatku sedikit tidak nyaman.

"Saya mengusulkan Ibu Maharani untuk mendapatkan terapi EMDR dan ternyata itu sangat efektif," ucap Dokter Revan.

"EMDR apaan, Dok?"

"Itu singkat dari Eye Movement Desensitization and Reprocessing, metode psikoterapi untuk mengatasi gangguan-gangguan PTSD seperti yang Ibu Maharani alami. Terapi ini menggunakan dua sisi atau stimulasi bilateral. Jadi, sebenarnya ini sangat mudah dan tanpa obat-obatan. Pasien hanya diminta untuk menggerakkan bola matanya ke kanan dan kiri secara berkala. Itu untuk memproses ingatan disfungsional, yang kemudian menyebabkan ingatan tersebut disimpan dengan fungsional dan produktif.

"Kemarin saya juga mencoba dengan terapi yang lainnya. Masih sama tanpa obat-obatan juga, hanya ketukan bergantian tangan kanan dan kiri atau mendengarkan bunyi/suara kuping kanan dan kiri secara bergantian dengan membayangkan permasalahan atau kesulitan dalam memikirkan materi yang menekan ketika berkonsentrasi mengikuti jari terapis yang bergerak cepat dengan mata.

"Gampangannya ini membuat ingatan negatif berubah menjadi positif. Sehingga pasien bisa lebih menerima apa yang membuat mereka menderita gangguan PTSD. Sepertinya dulu dengan Dokter Arini belum pernah, ya?"

"Hmmm, seingat saya belum pernah, Dok," jawabku seadanya. Aku mencoba memahami perkataan Dokter Revan yang masih terdengar membingungkan untuk diproses. "Jadi ibu kemarin harus mengingat kejadian yang membuatnya trauma?"

Membayangkan itu saja sudah membuatku merinding.

"Iya, itu harus. Satu-satunya jalan agar bisa sembuh, ya harus berdamai dengan masa lalu. Orang tidak akan bisa lupa dengan kejadian yang pernah dialami, mau itu baik atau buruk, kecuali mereka hilang ingatan atau amnesia. Saya ingin ibu Maharani berdamai dengan masa lalu, artinya beliau tetap mempunyai ingatan itu, tetapi itu tidak membuat beliau trauma. Saya tahu itu tidak mudah, maka dari itu terapi ini akan terus berjalan sampai benar-benar berhasil. Obat-obatan yang lain masih diminum selama dibutuhkan," jelas Dokter Revan. Kali ini intonasi suaranya lebih enak didengar daripada terakhir kali aku berbicara dengannya.

Aku mengangguk menanyakan bahwa aku paham. Apa pun akan kulakukan untuk kesembuhan ibu. Aku hanya ingin ibu bisa kembali ke rumah secepatnya.

"Oh iya, Mbak Nadeen, saya kemarin meminta staff untuk mengecek CCTV saat seseorang menemui ibu Maharani," ucap Dokter Revan seraya mengeluarkan sebuah USB dari dalam laci meja kerjanya. "Mungkin anda kenal dengan orangnya …."

Ya, Tuhan. Apa akhirnya aku bisa mengetahui siapa Ed atau Edi yang sebenarnya?

Dokter Revan memasang USB tersebut pada komputer yang disambungkan pada layar televisi di sebelah kananku. Aku bisa melihat jelas ketika video itu diputar dari tempat dudukku, di situ memperlihatkan seorang suster mendorong kursi roda yang ibu duduki dari arah bangsal II. Lalu mereka menyusuri taman dan berhenti di sana, ibu terlihat menatap ke kiri dan kanan, memperhatikan sekeliling. Tak lama kemudian suster tersebut menundukkan kepala ke arah ibu yang sedang berbicara, mungkin agar bisa mendengar lebih jelas. Setelah itu ia berjalan menjauh dan meninggalkan ibu di taman seorang diri.

Selang dua menit, ada seorang laki-laki yang tidak asing mendekati ibu. Ia mengenakan pakaian serba hitam dan memakai topi berwarna senada. Ia berjongkok di depan ibu dan berbicara dengannya, dari raut wajahnya, sepertinya itu sangat serius. Ibu menutup mulutnya dengan tangan dan menangis, membuat badannya bergetar. Sepertinya reaksi ibu membuat orang itu kaget, karena selanjutnya ia pergi dengan tergesa-gesa. Wajah orang itu terlihat jelas di layar dan aku tahu itu siapa ....

Astaga!

"S-saya tahu orang ini, Dok. Kemarin orang ini mengejar saya di kampus dan saya tidak tahu apa maunya," ucapku jujur pada Dokter Revan.

"Orang ini mengejar anda sampai di kampus?" tanya Dokter Revan dengan tidak percaya. "Apa itu tidak terlalu nekat untuk seorang yang mau berbuat jahat? Maksud saya, kita belum tahu apa niat di balik itu, tetapi orang yang membuntuti biasanya mempunyai niat yang tidak baik. Apalagi setelah bertemu dengan orang itu, Ibu Maharani menjadi ketakutan."

Tapi apa dia tidak terlalu biasa untuk ukuran pengusaha? Dia juga terlihat terlalu muda untuk menjadi teman ayah.

"Sejak kapan orang itu mengikuti Mbak Nadeen?" tanya Dokter Revan. Suaranya terdengar … khawatir?

Aku menelan ludah dengan susah payah sebelum bisa membuka mulutku untuk menjawab, "Saya diikuti orang tiga kali. Dua kali pertama, saya tidak melihat wajahnya, tapi saya tahu kalau ada orang yang memperhatikan saya. Dan yang terakhir, saya melihat wajahnya, Dok."

"Anda sudah lapor polisi?"

"Buat apa? Lagi pula saya enggak punya bukti."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro