Page 03
Ting ...
Ting ...
Ting ...
Kim Tae Hwa tiba-tiba mengangkat kepalanya dengan mata yang setengah terbuka ketika suara nyaring seperti besi yang berbenturan mengganggu tidurnya.
Ting ...
Ting ...
"Hahh ..." Helaan napas beratnya yang terdengar malas mengiringi kepalanya yang terjatuh kembali dengan posisi tidurnya yang tengkurap.
Ting ...
Namun lagi-lagi suara itu terus berputar di telinganya seakan tengah memanggil namanya. Dia pun segera bangkit dan menguap secara berlebihan, diakhiri dengan gelengan kepala.
"Pak tua satu ini. Tidak bisakah membiarkanku hidup dengan tenang? Menganggu saja," gerutu Tae Hwa dan beranjak berdiri. Meski begitu dia tetap saja menggerutu saat berjalan keluar.
"Dia selalu melakukannya setiap hari. Setidaknya berikan satu untukku."
Tae Hwa keluar dari dalam rumah dan menuruni tangga kayu, kemudian berjalan ke gudang samping rumah di mana suara nyaring yang terus terngiang di kepalanya tersebut berasal. Begitu sampai di depan pintu, Tae Hwa langsung membukanya dengan kasar seakan ingin mendobraknya dan membuat palu yang berada di tangan Kim Tae Woo tertahan di udara karena dia harus melihat si bar-bar yang selalu mendobrak pintu gudang setiap kali datang.
"Ayah ...tidak bisakah melakukannya nanti saja? Kau mengganggu tidur penduduk desa," protes Tae Hwa dengan suara beratnya yang terdengar sedikit serak.
"Tidak ada orang yang masih tidur di jam segini kecuali kau," jawab Kim Tae Woo tak peduli dan kembali menghantamkan palunya pada sebilah pedang yang masih belum sempurna di hadapannya.
Tae Hwa kemudian masuk dan menutup pintu menggunakan kakinya. Berjalan dengan malas mendekati Kim Tae Woo dan berhenti ketika sesuatu menarik perhatiannya. Pandangan Tae Hwa mengarah pada beberapa bilah pedang yang sudah sempurna tergantung di dinding kayu yang menutupi gudang tersebut. Dengan ringannya tangan Tae Hwa terangkat untuk mengambil salah satu dari pedang tersebut. Tapi sedetik kemudian dia menarik kembali tangannya dan memeganginya dengan tangan yang lain saat sebuah pisau tiba-tiba melesat tepat di depan tangannya dan menancap di dinding kayu. Sedetik saja Tae Hwa terlambat menarik tangannya, mungkin pisau tersebut sudah merobek pembuluh darahnya dan sudah bisa dipastikan siapa pelakunya.
Tae Hwa menggertakkan giginya sembari membuang napas ke udara. Dengan raut wajah yang kesal, dia menatap tajam ke arah Kim Tae Woo, seseorang yang baru saja ingin merobek nadinya yang saat ini melihatnya tanpa rasa bersalah.
Tae Hwa kemudian menghardik, "Ayah sudah tidak waras! Bagaimana jika itu tadi mengenai aku?"
Kim Tae Woo memalingkan wajahnya sembari memasukkan jari kelingkingnya ke dalam telinga dan tampak tak peduli. Dia kemudian bergumam dengan suara menyerupai suara lebah. "Jika itu mengenaimu, berarti kau yang bodoh. Lagi pula kau menutup pintu dengan kaki, bukan dengan tangan. Sebaiknya mulai hari ini kau makan saja dengan kaki."
"Apa?!" pekik Tae Hwa, tak terima.
"Apa? Apa? Kau mau apa?" balas Kim Tae Woo tak kalah keras. "Bukankah sudah aku peringatkan untuk tidak menyentuh barangku! Bukankah kau sudah menolaknya ketika aku memberikannya padamu?"
Tae Hwa mencibir, "cih! Orang tua satu ini."
Tae Hwa memalingkan wajahnya sembari berkacak pinggang dan tersenyum tidak percaya. Dia kembali mencibir, "apanya yang diberikan? Aku meminta pedang, bukannya jarum akupuntur. Lagi pula siapa yang ingin menjadi tabib seperti Ayah?"
Kim Tae Woo tersenyum tidak percaya. Dia kemudian mengangkat sebilah pedang yang sebelumnya ia kerjakan ke udara seakan ingin melemparkannya pada Tae Hwa yang membuatnya sempat membulatkan matanya.
"Lama-lama akan aku tebas kepalamu!" Kesal Kim Tae Woo yang sudah kembali menurunkan pedangnya, begitupun Tae Hwa yang sudah menurunkan tangannya.
"Berani kau menyentuhnya, aku putuskan tanganmu," ancam Kim Tae Woo.
Mendengar ancaman ayahnya, Tae Hwa memalingkan wajahnya sembari menggaruk bagian bawah dagunya dengan dahi yang sedikit berkerut. "Ya ampun, sebenarnya aku ini anaknya atau bukan? Kejam sekali."
"Kau bilang apa?"
Tae Hwa menatap malas ke arah ayahnya. "Tidak, Ayah mungkin salah dengar."
"Berhenti berdiri di sana dan nyalakan apinya!"
"Aku belum makan, mana kuat meniup api."
"Jika belum makan, kenapa datang kemari?"
"Ayah yang berisik, maka dari itu aku ke sini."
Keduanya semakin meninggikan suara masing-masing dan para penduduk desa yang mendengarnya hanya bisa menggelengkan kepala mereka seakan itu adalah rutinitas Kim Tae Woo dan Kim Tae Hwa setiap hari.
"Apa?! Kau sudah bosan hidup! Kemari kau! Akan aku penggal kepalamu, anak kurang ajar!"
Tae Hwa berlari keluar dan langsung masuk ke dalam rumah setelah Kim Tae Woo si tabib gila benar-benar murka.
....
Yi Seok Min terlihat keluar dari rumahnya seperti tengah melarikan diri. Dia menerobos kerumunan para penduduk yang memenuhi jalanan sembari membawa sesuatu di tangannya. Setelah berlari cukup jauh dari rumahnya, senyum tipisnya mengembang dengan sempurna setelah matanya menangkap siluet yang tidak asing lagi baginya berada tidak jauh dari tempatnya.
"Kakak ..."
Kim Tae Hwa yang saat itu tengah membantu para penduduk untuk menimba air di sumur yang berada di tengah-tengah pemukiman sempat menghentikan pergerakannya dan mengarahkan pandangannya ke asal mula suara. Dan di sana lah Seok Min berlari dengan antusias menuju ke arahnya.
"Tae Hwa ... kau sudah makan?"
Perhatian Tae Hwa teralihkan oleh seorang bibi yang tiba-tiba bersuara di sampingnya.
"Sudah," jawab Tae Hwa, singkat.
"Aigoo, kau pasti sangat bekerja keras. Jika kau lelah istirahatlah, kami juga masih bisa jika hanya mengambil air dari dalam sumur."
"Jika aku berhenti, tabib gila itu akan membunuhku," gumam Tae Hwa.
Ucapan Tae Hwa sontak berhasil membuat beberapa orang yang berada di sekitarnya tertawa ringan. Sedangkan dia hanya memasang wajah datarnya. Apanya yang lucu, bahkan dia tidak sedang bergurau karena memang benar yang dikatakan olehnya sebelumnya. Kim Tae Woo ayahnya sering mengancam akan memperpendek umurnya jika sampai ia melanggar peraturan yang diberikan oleh sang ayah. Bahkan beberapa hari yang lalu Kim Tae Woo sempat mengatakan akan memberi racun pada makanannya setelah ia tertangkap basah tengah menangkap ikan di sungai. Padahal waktu itu ia tidak benar-benar ingin menangkap ikan, melainkan hanya sekadar bermain-main untuk mengusir kebosanan.
"Kakak ... Aigoo! Akhirnya sampai juga." Yi Seok Min sudah sampai di tempat Tae Hwa.
Tae Hwa hanya sekilas melihat Seok Min yang berhenti di sampingnya dengan napas terputus-putus. Sedangkan dia kembali menimba air karena itu adalah rutinitasnya setiap pagi dan setelah ini biasanya dia akan mengantarkan Seok Min dan Soon Young naik gunung untuk mengumpulkan tanaman obat.
"Kakak, kau sudah makan?" tanya Seok Min kemudian.
"Hmm ..." gumam Tae Hwa tanpa melihat ke arah Seok Min.
"Aku membawakan sesuatu untuk Kakak."
Tae Hwa menolehkan kepalanya ke arah Seok Min dengan sebelah alis yang terangkat ketika melihat sesuatu yang saat ini berada di tangan Seok Min.
"Apa itu?"
"Hari ini ibuku memasak ubi rebus. Ibu menyuruhku membawakannya untuk Kakak."
Seok Min kemudian mendekati Tae Hwa dan memberikan beberapa ubi rebus yang ia bawa dari rumahnya. "Kakak makan dulu, biar aku yang gantikan."
Tanpa mendapat izin terlebih dulu, Seok Min langsung mengambil alih timba di tangan Tae Hwa yang pada akhirnya duduk di kursi kayu di dekat sumur dan memakan ubi yang dibawakan oleh Seok Min.
"Kakak." Seok Min kembali membuka pembicaraan.
"Hmm ..."
"Apa Kakak tidak lelah melakukannya setiap hari?"
"Apanya?"
"Menimba air setiap hari, memotong kayu setiap hari dan menyalakan api setiap hari."
"Jika aku lelah, aku akan tidur di malam hari. Apa susahnya?" jawab Tae Hwa, tak acuh.
"Aigoo, Kakak memang yang terbaik."
Seok Min tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan giginya. Sedangkan Tae Hwa sudah tidak peduli lagi dengan pemuda itu. Entah apa saja kalimat yang keluar dari mulut Seok Min, dia sudah tidak memperhatikannya ketika dia tidak sengaja melihat Kim Tae Woo yang tengah memeriksa seseorang tidak jauh dari tempatnya sekarang.
Dia melihat ayahnya seperti tengah mengawasinya seakan tidak ingin melewatkan sedikitpun pergerakan yang dilakukan oleh Kim Tae Woo.
Meski Tae Hwa selalu bersikap tidak peduli, dalam hati kecilnya dia selalu bertanya-tanya. Ayahnya adalah seorang tabib yang menyelamatkan nyawa seseorang dengan menggunakan jarumnya, tapi ayahnya tidak pernah memaksanya untuk menjadi seorang tabib. Selain itu ayahnya juga seorang pembuat pedang, tapi kenapa dia tidak pernah mengizinkannya untuk memiliki satu dari sekian banyak pedang yang telah ia buat.
Dalam hati kecil Tae Hwa, dia juga merasa heran dan bingung. Bingung akan jalan yang dilaluinya. Kim Tae Woo yang tidak mengekangnya, namun juga tak membebaskannya. Apa sebenarnya yang tengah di pikirkan oleh ayahnya. Hati kecil Tae Hwa selalu ingin tahu jawabannya.
"Kakak."
Tae Hwa perlahan menolehkan kepalanya ke arah Seok Min.
"Sudah penuh," ujar Seok Min, menunjuk beberapa wadah air yang sudah terisi penuh.
"Panggil Soon Young, kita naik gunung sekarang," ujar Tae Hwa sembari beranjak dari duduknya dan berjalan pergi.
"Sekarang?" tanya Seok Min.
"Tidak! Tunggu sampai matahari di atas kepala kalian dan akan aku panggang kalian di lereng gunung," sahut Tae Hwa tanpa menghentikan langkahnya atau sekadar sekilas melihat ke arah Seok Min.
"Kakak ..."
"Aku tunggu di tempat biasa, jangan lama-lama!"
Tae Hwa berjalan melewati Kim Tae Woo tanpa berniat menolehkan kepalanya seakan ia tidak mengenal sang ayah dan berlalu begitu saja. Kim Tae Woo yang menyadari kehadiran Tae Hwa, menolehkan kepalanya dan melihat punggung sang putra yang berjalan menjauh dengan tatapan seorang ayah yang tengah melihat anaknya dengan penuh ketulusan. Bukan seperti yang ia tunjukkan di hadapan Tae Hwa selama ini.
"Kau terlalu berlebihan dengan putramu sendiri."
Perhatian Kim Tae Woo teralihkan oleh seorang pria yang tampak lebih tua darinya yang tiba-tiba bersuara dan membuatnya kembali melihat ke arahnya yang duduk di sampingnya.
"Apa yang Kakak bicarakan? Anak itu masih baik-baik saja sampai sekarang." Kim Tae Woo tersenyum tipis dengan pandangan yang mengarah ke bawah.
"Putramu itu memiliki wajah yang rupawan. Jika diperhatikan lebih teliti, wajahnya mirip sekali dengan mendiang ibunya."
"Kakak terlalu berlebihan memuji anak itu."
"Tidak, putramu berbeda dengan anak-anak lainnya. Bukankah kau juga merasakan hal itu?"
Kim Tae Woo sempat terdiam mendengar penuturan pria yang dipanggilnya dengan sebutan 'kakak' tersebut.
"Mengaku saja, kau takut kehilangannya. Oleh sebab itu kau berusaha untuk menyembunyikannya."
"Apa yang sedang Kakak bicarakan sebenarnya?" Kim Tae Woo tersenyum lebar dan tampak canggung. Dia memalingkan wajahnya, sama halnya dia yang ingin melarikan diri dari perbincangan mereka.
"Sejauh apapun kau membawa anak itu pergi, cepat atau lambat takdir itu akan datang dengan sendirinya padanya. Akan lebih baik kau memperlakukannya dengan baik sebelum dia benar-benar pergi. Kau harus berterimakasih pada langit karena istrimu pergi dengan meninggalkan seorang putra yang sangat istimewa seperti Kim Tae Hwa."
"Anak itu tidak akan pergi kemana-mana. Lagi pula dia tidak memiliki keahlian apapun untuk jauh-jauh dari ayahnya," tandas Kim Tae Woo seakan ingin meyakinkan dirinya sendiri.
WARRIOR'S LAST BLOOD
[Hwarang Kim Taehyung]
"Aigoo ... langitnya cerah sekali," seru Soon Young yang berjalan berdampingan dengan Seok Min ketika mereka menginjakkan kaki mereka di pegunungan.
Sementara Tae Hwa berjalan tidak jauh di belakang mereka seperti biasanya. Tae Hwa mengarahkan pandangannya ke langit yang dimaksud oleh Soon Young sebelumnya dan matanya menyipit ketika bertemu dengan matahari pagi yang belum terlalu panas.
"Sudah sampai!" seru Soon Young kembali dengan penuh semangat.
"Kakak ... apa benar ini tempatnya?" teriak Seok Min pada Tae Hwa yang masih belum menjangkau tempat mereka.
"Eoh ..." sahut Tae Hwa tak kalah lantang, namu dengan suaranya yang seperti orang yang sedang malas untuk berbicara.
Seok Min dan Soon Young pun menurunkan keranjang dari punggung mereka lalu mengeluarkan peralatan mereka untuk menggali.
"Cari di bagian yang tidak terlalu curam. Jika kalian terjatuh, aku tidak akan menolong kalian," ujar Tae Hwa ketika menjangkau tempat mereka.
"Kakak selalu mengatakannya setiap hari. Katakanlah hal yang manis sekali saja." Seok Min yang berjongkok mendongakkan kepalanya untuk melihat Tae Hwa sembari tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan giginya, sedangkan Tae Hwa hanya menatapnya tak peduli.
"Kau ini banyak bicara sekali. Pergi sana! Aku tinggal sebentar, jika ada sesuatu jangan panggil aku." Tae Hwa kemudian berjalan meninggalkan keduanya.
"Oh! Kakak, kau mau ke mana?" teriak Soon Young.
"Mencari udara segar," sahut Tae Hwa tanpa menoleh sedikitpun.
"Bukankah di sini juga sudah segar?" ujar Seok Min, menyahuti dengan senyum lebar seakan dia tengah menggoda Tae Hwa.
"Tutup mulutmu. Jika sampai kau jatuh dari lereng, aku akan membunuhmu."
"Ya ampun, kenapa mulutnya selalu kejam seperti itu? Lagi pula jika jatuh ke lereng, aku belum tentu sudah mati," gumam Seok Min ketika senyum lebarnya memudar.
Soon Young yang berada di samping Seok Min langsung memukul bahu Seok Min. "Ya! Apa kau baru saja mengatakan bahwa kakak adalah orang yang kejam?"
"Tidak ... bukan itu maksudku!" seru Seok Min dengan lantang untuk membela diri. "Aku tidak bilang bahwa kakak itu orang jahat. Meski kelakuannya seperti bandit, dia memiliki hati yang baik," ralat Seok Min, membuat Soon Young tersenyum lebar seakan mengejek perkataannya barusan.
"Woah ... sejak kapan kau jadi sebijak itu?"
"Apa maksudmu?"
"Tidak, bukan apa apa. Lebih baik kita segera menemukan ginseng-ginseng itu sebelum kakak kembali dan menjatuhkanmu ke lereng."
"Ya!!!" Seok Min tiba-tiba murka dan melempari Soon Young menggunakan tanah.
....
Setelah berjalan cukup jauh dari tempat Seok Min dan Soon Young, langkah Tae Hwa terhenti tepat di tepi aliran sungai kecil yang mengalir ke bawah menyusuri gunung, di mana terdapat batu dengan berbagai ukuran yang berada di sekitar aliran sungai yang hanya berdiameter kurang lebih dua meter tersebut.
Tae Hwa melangkahkan kakinya mendekati air dan membiarkan air sungai menenggelamkan kakinya. Dia kemudian duduk di batu yang sebagian terendam air, merasakan dinginnya air yang menyegarkan melalui kakinya.
Suara gemericik air yang jatuh di bebatuan, burung-burung kecil yang kadang hinggap di bebatuan sekitarnya. Terasa begitu menangkan.
Di sanalah tempat persembunyian Kim Tae Hwa jika dia tengah ingin merenung. Bukan untuk merenungkan dosa ataupun kehidupannya, melainkan hanya terdiam dan menjadi pendengar yang baik. Merenungkan apa saja yang sudah didengarkan oleh telinganya ketika berbaur dengan para penduduk.
Tae Hwa menjatuhkan pandangannya ke dalam air dan melihat bayangannya yang tercipta di dalam air. Tidak ada yang istimewa, itulah yang ada dalam pikiran Tae Hwa ketika melihat bayangannya sendiri di dalam air.
Tidak ada yang berubah dari wajahnya. Bahkan setelah ia tak melihatnya selama seminggu pun, dia tidak merasa ada yang berbeda dengan wajahnya. Tapi kenapa orang-orang menganggapnya istimewa. Bukan hanya sekali, Tae Hwa kerap tidak sengaja mendengar para penduduk membicarakannya. Bukan berbicara hal-hal yang buruk, melainkan seperti tengah mengasihani dan dalam waktu bersamaan mengaguminya. Sesuatu yang masih menjadi misteri baginya. Ingin bertanya pun harus bertanya pada siapa, sementara dia sendiri tidak pernah terlibat pembicaraan serius dengan ayahnya.
'Kau membawanya pergi dari Seorabol karena takut jika kelak saat ia dewasa, dia akan dijadikan seorang hwarang. Dia sudah dewasa, sudah waktunya untuk berkata jujur padanya ...'
Pikiran Tae Hwa memutar kembali percakapan antara Kepala Desa dan ayahnya beberapa hari yang lalu saat dia tidak sengaja lewat di belakang mereka. Seakan ia bisa menyaksikan kejadian itu kembali di dalam air.
"Hwarang," gumam Tae Hwa.
"Kakak ..."
Tae Hwa perlahan menolehkan kepalanya ke arah ia datang sebelumnya ketika mendengar suara dari salah satu murid ayahnya. Entah itu Seok Min atau Soon Young, yang jelas suara yang menggema tersebut berhasil menghancurkan keheningannya. Sepertinya kedua murid ayahnya tersebut masih belum mengerti arti dari kata 'jika terjadi sesuatu jangan panggil aku' yang sebelumnya sempat diucapkan oleh Tae Hwa sebelum dia pergi meninggalkan mereka.
"Selamatkan kami ..."
"Kakak ..."
"Eih ..." keluh Tae Hwa sembari menghela nafas dan beranjak dari duduknya. Kembali berjalan menyusuri jalan setapak yang ia lewati sebelumnya. "baru ditinggal sebentar, kenapa sudah ribut-ribut?"
"Kakak ... akh! Akh!!!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro