Page 01 : Hwarang Kim Tae Hwa [Revisi]
Kisah ini di ambil dari sejarah asli tentang bagaimana menyatunya ketiga Kerajaan besar Korea. Tunduknya dua Kerajaan besar Korea terhadap Silla yang di namai dengan era Silla bersatu, dengan para tokoh yang di ganti sesuai dengan imajinasi sang penulis.
SILLA,658.
Kerajaan Silla.
Menteri Pertahanan Park Seo Joon tampak menaiki anak tangga yang lumayan tinggi untuk bisa menjangkau sebuah pintu di mana terdapat beberapa prajurit bersenjata yang berdiri di kedua sisi pintu.
Park Seo Joon menghentikan langkahnya tepat di depan pintu dan salah seorang dari prajurit tersebut sekilas menundukkan kepala sebelum akhirnya berdiri memunggunginya dan menghadap pintu.
"Yang Mulia ... Menteri Pertahanan Park Seo Joon datang menghadap," ujar prajurit tersebut dengan suara lantangnya dan kemudian menghadap rekannya. Mengangguk ringan seakan itu adalah sebuah isyarat karena setelahnya mereka berdua menarik pintu yang cukup tinggi tersebut dan menunduk dalam ketika Park Seo Joon melewatinya.
Tepat setelah Park Seo Joon melangkah masuk, para prajurit tersebut kembali menutup pintu dan kembali ke posisi mereka sebelumnya.
Park Seo Joon berdiri tepat di bawah tangga, di mana di ujung tangga tersebut terdapat singgah sana sang penguasa Silla yang tengah melihat ke arahnya.
"Bagaimana? Apa kau sudah mendapat kabar dari putramu?" Suara berat dan tegas milik Raja Silla di menyapa pendengaran Park Seo Joon.
"Sudah, Yang Mulia."
"Lalu bagaimana? Apa kita menang?"
"Mohon maaf, Yang Mulia. Tapi utusan yang telah dikirim oleh putra hamba mengatakan bahwa pasukan Baekje berhasil memukul mundur pasukan Silla dan karena ada begitu banyak prajurit yang terluka, mereka akan sampai di Silla sedikit lebih lambat"
Mendengar pernyataan yang di lontarkan oleh Park Seo Joon membuat sang Raja menjadi gusar. Bagaimanapun juga ini adalah pertanda buruk bagi Silla meski Baekje lebih sering mengalami kekalahan dalam perang yang sudah berlangsung sejak lama. Sejak Raja sebelumnya memutuskan kesepakatan perdamaian antar kedua kerajaan tersebut. Tapi tetap saja Baekje masih saja memiliki panglima-panglima perang yang kuat di setiap kali peperangan berlangsung. Meskipun Silla sendiri memiliki Hwarang yang sudah resmi diturunkan di garis depan, tetap saja tidak ada yang menjamin bahwa kemenangan akan jatuh ke tangan Silla.
Menyadari kegundahan sang Raja, Park Seo Joon mengangkat kepalanya dan memandang wajah sang Raja yang terlihat begitu tertekan, meski kekalahan dalam peperangan adalah hal yang biasa.
"Yang Mulia, jika diizinkan hamba memilliki sebuah saran."
Sang Raja mengarahkan pandangannya pada Park Seo Joon. "Katakan!"
"Jika Yang Mulia mengizinkan, hamba akan mengambil anak itu."
Sebelah alis sang Rajaa terangkat ke atas, tampak dia tengah mengingat sesuatu. "Anak itu..? Apa maksudmu anak yang kau ceritakan waktu itu?"
"Benar, Yang Mulia. Anak yang sengaja disembunyikan dari Silla."
"Kalau begitu bawa anak itu kemari secepatnya!"
"Hamba mengerti, Yang Mulia ..."
Setelah menemui sang Raja, Park Seo Joon melangkahkan kakinya menyusuri jalanan setapak yang berada di komplek istana Silla sebelum bisa menjangkau gerbang utama dan menuju rumahnya sendiri yang terletak di luar istana.
"Ayah," suara lantang seorang pria berhasil menghentikan langkah Park Seo Joon. Dia menolehkan kepalanya dan mendapati putra keduanya, Park Dae Hyeon yang berlari kecil menghampirinya.
"Ayah ada di sini?" tegur Dae Hyeon setelah berhasil menjangkau tempat Park Seo Joon berdiri.
"Ayah ada sedikit keperluan dengan Baginda Raja, bagaimana keadaanmu?"
Park Seo Joon tampak tengah memperhatikan putranya tersebut, memastikan dengan matanya sendiri bahwa putranya dalam keadaan baik baik saja. Karena meski Dae Hyeon adalah putranya dan belum menikah, Dae Hyeon terbilang tidak pernah pulang karena dia sendiri bertugas sebagai pengawal pribadi Putra Mahkota sehingga mengharuskannya untuk selalu siap siaga jika jika Putra Mahkota membutuhkannya. Meski Putra Mahkota sendiri tidak pernah menahan Dae Hyeon untuk selalu di sampingnya. Jadi bisa disimpulkan bahwa ketidakpulangannya Dae Hyeon ke rumah ayahnya bukanlah karena Putra Mahkota, melainkan karena dirinya sendiri yang tidak ingin pulang.
"Aku baik-baik saja, tapi ... Kak Yong Guk. Aku dengar dari Seung Kwan ..." Dae Hyeon terdengar begitu hati-hati ketika membahas tentang sang kakak.
"Dia baik-baik saja, kau tidak perlu cemas. Pasukannya mungkin akan sampai dalam waktu lima hari."
Dae Hyeon mengangguk ringan dan merasa lega, setidaknya kakaknya masih baik-baik saja.
"Dan satu lagi."
Dae Hyeon kembali menatap Park Seo Joon yang kembali bersuara.
"Ayah akan pergi untuk beberapa hari, jadi usahakan untuk menjenguk adikmu"
"Ke mana dan berapa lama?"
Park Seo Joon memalingkan wajahnya dengan dahi yang mengernyit saat dia tengah mempertimbangkan sesuatu.
"Ayah tidak yakin sejauh apa tempatnya ..." Park Seo Joon kembali memandang ke arah Dae Hyeon dengan senyum yang mengembang di bibirnya. "Mungkin Ayah akan kembali dalam tiga hari."
Park Seo Joon kemudian menepuk bahu Dae Hyeon. "Kau terlalu setia pada Putra Mahkota, tapi setidaknya jenguk lah adik perempuanmu yang menunggumu di rumah. Ayah pergi dulu."
Park Seo Joon melangkahkan kakinya kembali dan melambaikan tangannya tanpa berbalik. "Ingat yang Ayah katakan tadi, mengerti?"
Dae Hyeon menatap kepergian Park Seo Joon dengan tatapan seperti tengah melihat orang aneh. "Kenapa aku bisa memiliki Ayah yang aneh seperti dia?" cibirnya pada ayahnya sendiri yang hanya terdengar seperti suara lebah.
••••
Hamparan langit biru yang luas, membentang pegunungan dan lembah di bawahnya yang menyembunyikan kehidupan di dalamnya.
"Langit tidak selalu biru, terkadang terlihat awan putih dan awan hitam. Jangan konyol!"
Gemericik air yang mengalir ke bawah menyusuri gunung dan berkumpul di lembah, ikan-ikan kecil yang bermain di dalam air yang terkadang menetap dan terkadang mengikuti arus.
"Siapa yang peduli mereka menetap atau tinggal? Aku tidak makan daging, jadi aku hanya makan rumput seperti kambing."
"Kakak ... kakak ... kakak tertua ..."
Sebuah suara menggema di antara pegunungan yang berdiri kokoh. Seorang pemuda yang sebelumnya berbaring di atas batu sembari bergumam, perlahan bangun dan menatap jauh ke depan dengan tatapan yang malas. Pakaian yang terlihat sangat usang, rambut yang di gulung dengan asal, kaki telanjang yang sangat kotor meski ia tengah berada di pegunungan, dan wajah yang terlihat kotor dengan ujung daun berwarna hijau yang belum sepenuhnya masuk ke dalam mulutnya. Namun, perlahan dia mengunyah semua daun tersebut seakan-akan itu adalah makanannya setiap hari. Dia benar-benar terlihat seperti seekor kambing sekarang.
Tampak dari kejauhan dua siluet kecil berlari ke arahnya. Dia memajukan wajahnya dengan mata yang menyipit. "Siapa mereka?" gumamnya. "Mereka manusia, kan?"
Pemuda berpenampilan layaknya seorang gelandangan itu melipat kakinya sehingga membuatnya duduk bersila di atas batu. Dia kemudian menyangga dagunya dan menunggu dua siluet yang semakin mendekat dan menjadi semakin mudah untuk dikenali olehnya.
"Kakak ..."
Dua pemuda dengan pakaian sama seperti yang digunakan oleh pemuda tersebut tapi terlihat lebih manusiawi, tampak berlari ke arahnya sembari membawa keranjang di punggung mereka. Hingga pada akhirnya kedua pemuda tersebut sampai tepat di depan pemuda yang terlihat lebih tua dan lebih kotor dibandingkan dengan kedua pemuda yang baru datang dan satu pemuda langsung duduk ditanah dengan napas yang tersenggal, terlihat kelelahan. Sementara pemuda penunggu batu tersebut melihat keduanya seperti orang bodoh, terlebih lagi dia terlihat menikmati camilan yang berada di tangan kirinya.
"Apa yang kalian dapatkan hari ini?" tanya pemuda penunggu batu, berbicara seperti seorang bandit yang tengah meminta upeti.
Seseorang yang masih berdiri di hadapannya menurunkan keranjangnya. Menunjukkan beberapa tanaman obat yang telah mereka kumpulkan sejak pagi. Sementara pemuda penunggu batu tersebut menurunkan satu kakinya ke atas tanah dan memeriksa isi keranjang tersebut. Dia mengambil satu tanaman dengan bentuk daun yang memanjang.
"Ya! Yi Seok Min, kau tahu apa ini?" tegur si pemuda penunggu batu dan menunjukkan tanaman yang sebelumnya ia ambil pada pemuda yang masih berdiri dan diketahui bernama Yi Seok Min tersebut.
"Tanaman obat," jawab pemuda bernama Yi Seok Min tersebut dengan santai tapi malah membuat sang penunggu batu tersebut memalingkan wajahnya dan tersenyum tidak percaya, sebelum akhirnya berbalik menatap Seok Min dan langsung memukul pemuda itu dengan tanaman yang sebelumnya ia ambil.
Si pemuda penunggu batu lantas murka. "Kau ini bodoh atau apa! Berapa kali aku harus mengajarimu? Memangnya kau pikir bisa mengobati orang menggunakan rumput liar? Apa kau orang gila, eoh?! Lama-lama kepalamu yang akan aku masukkan ke keranjang."
Seok Min langsung memegangi lehernya dengan kedua tangannya sembari tersenyum lebar dan sedikit merendahkan tubuhnya. "Kakak bercanda, kan? Aku, kan hanya salah mengambil satu."
Yi Seok Min berusaha untuk membujuk kakak penunggu batu yang kembali memasukkan daun dari tanaman yang berada di tangannya ke dalam mulutnya sembari menggerutu.
"Setiap hari kau bilang satu, apa bedanya? Kau tetap membuat kesalahan. Jika seperti ini terus pak tua itu tidak akan berhenti menyebutku bodoh."
"Eoh! Kakak makan rumput lagi!" pekik pemuda yang masih duduk di tanah dan membuat pemuda penunggu batu tersebut terlihat murka. Dia menghampiri pemuda yang terlihat lebih kecil di antara mereka berdua dan tidak segan-segan memukulnya dengan tanaman yang sebelumnya menjadi camilannya.
"Kau kira aku kambing? Apa perlu aku congkel matamu dulu baru bisa melihat dengan benar? Jangan sembarangan jika berbicara."
Seok Min yang melihatnya tampak menahan tawanya. "Ya! Kwon Soon Young, sebaiknya kau jaga mulutmu sebelum Kakak benar-benar mencongkel matamu," ujar Seok Min dan memamerkan deretan gigi putihnya.
Sedangkan pemuda penunggu batu tersebut kembali ke singgahsananya disusul oleh pemuda bertubuh kecil bernama Kwon Soon Young tersebut yang kemudian berdiri.
"Tidak dapat ginseng?" tanya pemuda penunggu batu.
"Hari ini cuacanya sangat panas, kami bisa pingsan jika harus menggali ginseng di lereng," ujar Soon Young memberikan pembelaan.
"Alasan," sinis pemuda penunggu batu.
Seok Min kemudian mendekati pemuda penunggu batu tersebut. Mencoba untuk merayu. "Kakak, bagaimana jika sebelum pulang Kakak mampir dulu ke rumahku? Ibuku memasakkan ayam rebus untuk Kakak. Dia menyuruhku untuk membawa Kakak ke rumah, bagaimana?"
Seok Min tersenyum penuh harap. Namun senyumnya segera menghilang ketika lagi-lagi tanaman yang masih berada di tangan pemuda penunggu batu tersebut mendarat di wajahnya dan membuatnya sedikit menjauh.
"Berhenti menggodaku. Pak tua itu memiliki penciuman yang sangat bagus. Jika sampai ketahuan makan daging, dia pasti langsung membunuhku," ujar pemuda penunggu batu dengan malas.
"Apa separah itu? Lagi pula kenapa guru melarang Kakak untuk makan daging?" tanya Soon Young yang tampak mempertimbangkan sesuatu.
"Guru melarang Kakak makan daging karena jika Kakak memakannya, dia akan menjadi binatang buas," celetuk Seok Min, membuat pemuda penunggu batu itu geram dan hendak menendangnya. Namun apa daya kakinya tak sampai karena saat ini dia duduk di atas batu.
"Tapi ... bukankah tanpa perlu memakan daging, Kakak sudah seperti hewan buas?" sambung Soon Young.
"Apa maksudmu? Sudah bosan hidup?" ketus pemuda penunggu batu.
"Benar, Kakak memang sudah seperti hewan liar tanpa perlu makan daging," Seok Min menimpali.
"Kau sudah bosan hidup!" si pemuda penunggu batu mulai menggertak.
"Kakak seperti kambing liar," celetuk Soon Young yang langsung meraih keranjangnya dan melarikan diri diikuti oleh Seok Min.
"Apa-apaan kalian? Kau bilang aku kambing liar? Kalian cari mati!" geram pemuda penunggu batu tersebut yang kemudian beranjak dari duduknya dan bergegas mengejar Soon Young dan juga Seok Min yang melarikan diri sembari menertawainya.
"Ya! Ya! Berhenti kalian! Jika sampai tertangkap, aku tenggelamkan kalian di sungai, Ya!!! Aish ... awas kalian!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro