¹|beginning
Bittersweet, toko kue yang sedang ramai jadi perbincangan kaula muda, utamanya kaum hawa. Mendatangi secara langsung tempat ini jadi impian mereka. Tak terkecuali sekumpulan gadis SMA yang tengah berbunga itu.
Usai penat berbelanja, mereka memutuskan untuk melipir ketempat tersebut. Sebenarnya sudah masuk rencana. Terbukti mereka sudah lebih dulu melakukan reservasi.
Seperti biasa, tempat ini jauh dari kata sepi.
Kumpulan yang terdiri dari 4 gadis cantik itu terlihat begitu menikmati kue yang mereka pesan. Sesekali berkelakar sambil saling mengejek. Betapa indahnya masa remaja.
Keseruan mereka buyar tat kala bunyi ponsel milik salah satu dari mereka menginterupsi.
"Ah maaf, aku angkat telepon dulu," ucap si pemilik. Bergegas pergi keluar mencari tempat yang sepi. "Halo?"
"Sudah selesai belanjanya?" Suara khas lelaki yang sudah masuk masa puber menyapa dari seberang telepon.
"Sudah. Sekarang aku sedang makan kue di Bittersweet. Kau tahu, tempat yang sedang ramai di perbincangkan itu."
"Aku akan menjemputmu disana."
"Eh tidak usah, aku bisa pulang sendiri."
"Onii-chan menyuruhku untuk menjemput mu."
"Tapi, Rindou--"
"Kalau begitu, sampai nanti [Name]."
Begitu sambungan terputus, ia langsung mengerang kesal. Persetan dengan mata asing yang melirik heran.
Baru saja ia bersenang-senang, kenapa harus dibuat dongkol dalam waktu singkat.
"[Name]!" Rena, melambaikan tangan pada temannya yang melangkah kesal. Perubahan mood yang ekstrim, pikirnya.
"Eh kau kenapa?" tanya Mayu, tak lupa sambil mengunyah cheesecake.
Alih-alih menjawab dengan kata, [Name] malah mengerang keras seperti beruang. Terimakasih pada keramaian, karenanya ia tidak terlalu mencolok.
"Biar kutebak, pasti salah satu dari Haitani kan?" tebak Yuki. Ia sudah berteman cukup lama dengan [Name], sedikit banyaknya seluk beluk hidup sahabatnya sudah ia pelajari.
Anggukan pelan menjadi jawaban.
Seketika Rena berantusias, "Kenapa? Kenapa?"
"Rin, mau menjemputku."
"He... Memang apanya yang salah dari itu?" mulut Mayu masih penuh dengan kue. Tapi perkataannya bisa didengar jelas.
"Tentu saja itu masalah! Aku kan ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan kalian!"
Dengan tisu, Rena menghapus air mata imajinernya, "yaampun aku terharu."
"Kalau dipikir-pikir, Haitani bersaudara itu memang terlalu protektif. Kalian juga merasa begitu kan?"
Mayu mengangguk pasti.
"Dari dulu aku merasa begitu," sahut Rena. "Cobalah bilang pada mereka untuk mengerti."
"Tidak bisa. Aku sudah mencoba, tapi hasilnya nihil."
"Kalau begitu, aku hanya bisa berdoa yang terbaik untukmu," ucap Yuki.
"Tapi, Ran itu tampan ya," celetuk Rena. "Kepangannya lucu."
"Rena, jangan memuji dia. Aku yang gatal."
"Maaf [Name], kali ini aku setuju dengan Rena," timpal Yuki. Dan diikuti acungan jempol oleh Mayu.
Ketiga temannya sudah tahu, bagaimana hubungannya dengan Haitani bersaudara.
Ayah [Name] berteman baik dengan ayah Ran dan Rindou. Walau sudah memiliki keluarga masing-masing, mereka tetap menjaga komunikasi dengan baik. Karenanya, [Name] sering bertemu dengan dua bersaudara itu. Dan begitu saja menjadi akrab dengan mereka.
Saat [Name] duduk dibangku kelas 6 sd, ibunya mangkat karena penyakit paru-paru yang sudah lama di derita.
Ayah [Name] yang memang selalu sibuk keluar negeti karena pekerjaannya memutuskan untuk menitipkan putri semata wayangnya pada keluarga Haitani.
Bersyukur nyonya Haitani sudah menyanyangi [Name] seperti putrinya sendiri. Ia justru merasa senang dengan kehadiran gadis itu. Berharap akan ada warna baru yang hadir dalam rumahnya.
Dan sejak saat itu, [Name] hidup satu atap dengan Ran juga Rindou. Begitulah garis besar asal-usul hubungan mereka.
Ya setidaknya begitu yang ia ceritakan pada orang-orang.
Usai menghabiskan seluruh kue yang mereka pesan. Keempat remaja SMA itu langsung hengkang dari Bittersweet. Mengingat masih banyak pengunjung yang antre. Dan mereka tahu diri untuk tidak berlama-lama.
"Jadi, mana jemputanmu?" tanya Rena sembari melongok ke berbagai arah.
"Kaliam pulang duluan saja, aku bisa menunggu sendiri."
Yuki nampak ragu, namun berhasil di yakin kan dengan anggukan [Name]. "Kalau begitu sampai jumpa, kalau ada apa-apa langsung kabari kami."
"Sampai jumpa, hati-hati dijalan."
"Bye... Bye... [Name]!"
Dan begitu punggung teman-temannya sudah tak terlihat. Ia putuskan untuk mencurahkan perhatian pada ponsel. Tumben sekali Rindou telat. Biasa ia selalu datang cepat. Kalau begini lebih baik dia pulang bersama teman-temannya saja.
Menunggu dengan kesal, [Name] hanya bisa duduk sembari memperhatikan lalau lalang orang-orang. Namun saat itu matanya tak sengaja bertemu pandang dengan seorang lelaki yang bergaya mirip yanki.
Saat itu juga, ia langsung mengalihkan pandangan kearah lain. Naasnya, yanki tadi justru malah mendatanginya bersama dengan anak buahnya.
"Halo," sapanya dengan senyum mengerikan. "Kau sepertinya sedang luang."
"Maaf, aku sibuk."
Tanpa permisi, ia merangkul [Name]. "Jangan sok jual mahal begitu dong. Jelas-jelas kau tadi mencuri pandang kearahku."
"Lepas! Tadi itu tidak sengaja!"
"Eh aniki, dia jadi terliha makin manis saat marah," ucap Salah satu teman yanki.
Dengan kasar, ia mengangkat dagu [Name], memaksa untuk menatap wajahnya. "He... Kau benar."
"Lepaskan!"
"Kau tuli ya."
Buk...
Kejadian tadi berlangsung begitu cepat. Tahu-tahu lelaki menjijikan itu sudah tersungkur sembari memegangi ujung bibirnya yang berdarah.
Begitu mendapati siapa yang berdiri memunggunginya, jelita mulai bisa mencerna situasi. "Rin," bisiknya.
"Kau tidak apa-apa kan?"
"Aku baik."
"Syukurlah." setelah mastikan keadaan [Name]. Rindou berjalan mendekati yanki tadi. kemarahan terlukis jelas di wajahnya. Pemandangan yang jarang.
Belum sempat melayangkan balasan, Rindou sudah lebih dulu menghajar si Yanki. tanpa henti ia melayangkan serangan bertubi-tubi. Bahkan tidak memberikan celah pada dua teman yanki untuk membantu.
Orang-orang yang melihat pun terlalu takut untuk melerai. Rindou seperti tidak bisa diusik.
Tabiat buruk Rindou saat berkelahi sudah menjadi rahasia umum. Merasa sudah terlalu berlebihan. [Name] pun berusaha menghentikannya. Awalnya memang tidak didengar. Tapi setelah berulang kali berteriak akhirnya Rindou mau berhenti.
"Rin, cukup. Dia sudah tidak berkutik!"
Rindou menatap rendah wajah yang sudah hampir tak berbentuk akibat pukulan bertubi-tubinya. Ia lalu mendesis, "jangan pernah menyentuh [Name] lagi. Ingat itu."
"Rin!"
Lantas, Rin mendekati [Name] yang beraut panik. Dengan menggunakan jemari yang ternodaI darah, ia menyisipkan anak rambut kebelakang telinga jelita. "Bagaimana jadinya kalau aku tidak datang. Kau memang tidak bisa hidup tanpa kami."
*
"Tadaima!"
"Tadaima."
"Okaeri..." Balas nyonya Haitani dengan senyum lebar, namun seketika senyumnya lenyap. "Rin-kun, kau berlelahi lagi?"
"Tante, dia berkelahi untuk melindungiku kok," bela [Name].
"Eh benarkah?"
[Name] menganggu cepat.
"Kalau begitu bisa dimaafkan." jelita benapas lega. "Kalian berdua ganti baju dulu, akan kusiapkan jus untuk kalian."
Kamar Haitani bersaudara dan [Name] terletak di lantai dua. Dengan kamar [Name] yang berada di paling ujung.
Saat tiba di lantai atas, bukannya langsung memasuki kamar sendiri, Rindou justru menyususp masuk kedalam kamar [Name] tanpa permisi. Membuat si pemilik kamar mendelik.
"Rindou, ada apa?" wajahnya terlihat kesal.
"Kau benar-benar tidak apa-apa kan?" sepasang manik violet dibalik kaca mata menelisik tajam.
"Aku baik, baik banget malah. Jadi tidak perlu sampai begitu. Lihat?"
Rindou membalas dengan mengacak pelan surai [hair color].
"Urusannya sudah selesai kan, kalau sudah cepat pergi sana. Aku ingin mengganti baju."
"Baik-baik, tidak perlu mendorong begitu."
Dan pintu kamar pun tertutup. Seketika tubuhnya merosot sampai menyentuh lantai. Dengan pilu menatap langit-langit kamar yang berwarna putih tulang.
"Ibu... Aku ingin keluar dari sini."
To be continued
Dimana Ran?
Can i ask for vote and comment?
24 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro