45 | Sinematografer Tampan
“Bedrest enam minggu? Belum termasuk pemulihan dan fisioterapi?”
Bing Yi mengangguk. “Patah tulang kaki. Beliau menghindari seekor anjing yang melintas. Sayangnya motor yang dikendarainya melaju dalam kecepatan tinggi dan terpeleset jatuh.”
Minghao memijat pelipis. Kepalanya berdenyut-denyut. Posisi sinematografer sangat penting setelah reading selesai. Mereka harus segera melakukan set construction dan technical testing bulan depan. Akan sulit dengan kondisi tim kamera dan visual yang kosong tanpa kehadiran sinematografer.
“Aku sudah lakukan meeting dengan Yuxi-ge dan tim utama. Kita hanya punya waktu tiga hari mencari pengganti.” Minghao berkata letih.
“Ganti permanen?”
“Menurutmu apa dia bisa melakukan tugasnya dengan dua kaki digips perban seperti ini?” Minghao menunjuk foto di ponsel pintarnya. Sinematografernya terbaring mengenaskan di ranjang rumah sakit pasca kecelakaan semalam.
“Jadi, sekarang apa rencanamu, Minghao?”
Pria itu memutar-mutar gawai di tangannya. Dia melirik arloji. “Jam berapa di Los Angeles sekarang?”
Bing Yi menghitung cepat. “Tujuh malam.”
Minghao menekan satu nama di daftar kontak. Untungnya panggilan itu terjawab di dering ketiga. Dalam hitungan detik, Minghao sudah tenggelam dalam percakapan antar negara.
~~~
Kampus masih terlihat sama seperti saat terakhir kali Kama pergi dari sana. Setelah hampir tiga minggu tidak berkunjung, Kama mulai merasakan kerinduan saat menginjak undakan batu di fakultasnya.
Tumpukan tipis salju masih menghiasi halaman fakultas. Beberapa mahasiswa terlihat berjalan santai di tengah deru angin dingin. Kama merapatkan lapisan mantel yang melapisi kaus dan sweaternya. Sudah hampir setengah tahun di sini, tetapi dia masih juga belum bisa beradaptasi dengan cuaca dingin Shanghai.
“Kenapa kau ingin membawa Raja Hayam Wuruk dan Toghon Temur dalam rencana tesismu, Kama?”
Pertanyaan dari profesor sejarahnya kembali membayang di ingatan. Hari ini memang Kama datang ke kampus sengaja untuk mencari pria sepuh yang sudah serupa Google hidup bila berkaitan dengan sejarah China kuno. Dia meminta izin pada Profesor Yu untuk mendiskusikan rancangan proposal tesisnya agar bisa diajukan setelah libur Imlek nanti.
“Karena dua raja hebat itu berada dalam fase yang sangat kontradiktif di waktu yang bersamaan. Hayam Wuruk dengan puncak kejayaannya, dan Toghon Temur dengan kompleksitas persoalan internal kerajaan yang mengancam runtuhnya Dinasti Yuan. Saya ingin menghidupkan kembali babak baru dua kerajaan besar ini, Profesor.”
Itu jawaban diplomatis Kama, meski di dalam hati rasanya dia ingin berteriak bila tengah terlibat proyek syuting drama kolosal berlatar Majapahit dan Mongol. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali bekerja, dia bisa meneliti dan mendapat uang.
“Untung saja di-acc sama Profesor Yu. Tinggal bikin proposal judul, biar semester dua bisa langsung cus daftar penelitian tesis.” Kama bicara dalam bahasa Indonesia. Langkahnya ringan, setengah berlari kecil, dan berbelok ke sudut tempat sepedanya terparkir di bawah pohon plum.
“Miss Kama?”
Yang dipanggil berhenti melangkah. Kama tersenyum cerah saat melihat Bing Yi berdiri di antara deretan pohon plum, tidak jauh dari tempat sepedanya terparkir.
“Kenapa ke sini? Aku sudah minta izin Hou untuk tidak masuk kerja.”
Bing Yi mengangguk. Kedikan kepalanya menunjukkan satu mobil hitam metalik berkaca sangat gelap, berhenti di area luar kampus. Kening Kama berkerut.
“Hao ada di sini?”
Sekali lagi Bing Yi mengangguk. “Ada keadaan darurat. Tuan meminta Miss Kama untuk ikut serta.”
“Tak mau! Hari ini aku ingin santai di apartemen.”
“Hari ini Nona Gendhis keluar rumah sakit.”
Kama tertegun. Udara di sekitarnya mendadak terasa sejuk, alih-alih dingin menggigit tulang.
“Sepeda akan dibawa pulang kurir. Mari, ikut dengan kami.”
“Eh–”
Kama kaget ditarik begitu saja masuk mobil. Sudah ada hao di sana. Pria itu cengar-cengir tanpa rasa berdosa sedikit pun.
“Jawab pertanyaan ini.” Minghao memberikan selembar kertas pada Kama, lalu berkata pada Bing Yi yang duduk di kursi depan tepat di samping sopir.
“Kau sudah pesan bunganya?”
“Siap, Bos!”
“Oke. Kalau begitu, kita ke restoran favorit Adek Manis.”
Bing Yi melirik dari spion di atas dasbor, masih merasa kagok dengan cara Minghao memanggil kekasihnya. Namun, sang sahabat cukup bijaksana untuk tutup mulut. Lehernya jadi pertaruhan, jika nekat meledek Minghao.
“Ini untuk apa? Kenapa kau butuh makanan kesukaan Gendhis.”
“Kakak sepupuku ingin membuat kejutan untuk sahabatmu. Kita jadi suporter mereka.”
Lagi-lagi Bing Yi melirik dari spion di atas dasbor. Raut mukanya sedikit terkejut, tidak mengira Minghao akan menceritakan tentang keluarganya pada Kama.
“Gendhis suka nasi goreng mawut dan semua masakan ayam, khususnya yang berbumbu nusantara. Dia juga suka rasa masakan gurih pedas. Ayam geprek suka tuh, dia.”
Kama menulis cepat di kertas pemberian Minghao. “Dia juga suka vanilla milkshake dan es teh manis. Tapi tehnya harus teh hitam khas Jogja-nan. Daun teh dari Nglinggo favorit dia, tuh. Tapi tak ada di sini, ya? Harus cari di toko Indonesia.”
Minghao dan Bing Yi sama-sama bengong mendengar ocehan Kama.
“Bunga, ya? Dia suka mawar putih dan tulip putih. Nih, sudah kutulis.” Kama mengembalikan kertas pada Minghao.
“Bing Yi, cari tulip putih dan mawar putih,” perintah Minghao.
“Sobat, jangan bercanda. Musim dingin seperti sekarang mana ada tulip putih?” Bing Yi mengeluh keras-keras.
“Aku pernah membaca buuku tentang negara kalian. Di Nanjing ada yang membudi-dayakan tulip aneka warna.” Kama berkata manis.
Bing Yi dan Minghao mengerang keras. “Waktu kita hanya sampai nanti malam, Adek Manis. Tak ada waktu ke Nanjing. Lagi pula, sekalipun bisa ke sana, tulip-tulip itu pasti tidak akan mekar di musim dingin seperti ini.”
Kama nyengir.
“Kau urus bunga dengan Jiang Lin. Biar aku dan Kama yang ke restoran Indonesia. Kita bertemu di apartemen nanti.” Minghao memberi instruksi.
Kama melihat dengan takjub bagaimana waktu bergulir cepat. Mobil berhenti menurunkan Bing Yi di tepi jalan, lalu melaju lagi ke restoran Indonesia langganan Minghao. Di sana, pria tampan itu menyogok habis-habisan manajer restoran untuk meminjam satu chef yang diboyong ke apartemen Gendhis.
Dan di hunian yang terhitung tidak sederhana–tetapi juga tidak mewah–persiapan dilakukan oleh lima orang sekaligus. Minghao dan Bing Yi mengatur kelopak bunga dan lilin-lilin dari depan pintu masuk hingga ke balkon. Jiang Lin memasang kanopi portabel dan pemanas di balkon serta menyiapkan meja untuk candle light dinner romantis. Sementara Kama membantu chef di dapur menyiapkan makanan kesukaan Gendhis.
Semuanya berjalan sangat cepat. Di bawah komando Minghao yang tenang dan sistematis, semua persiapan kejutan menyambut kepulangan Gendhis dari rumah sakit sudah selesai sebelum jam makan malam tiba. Kama yang melihat penuh keharuan hasil kerja keras mereka setengah hari penuh tersenyum tipis. Dia beringsut pelan menuju foyer.
“Mau ke mana?”
Kama melepas pegangan Minghao di pergelangan tangannya. “Aku harus pergi. Aku tak mau mengganggu Gendhis.”
“Kama ….”
“Hao, aku tahu posisiku. Ini malam Gendhis. Aku tak ingin merusak semua kejutan ini.”
“Kalau begitu, ayo. Kuantar kau pulang. Tapi kita makan malam dulu di dekat-dekat sini.”
Kama mengangguk. Minghao mengajak Bing Yi dan Jiang Lin pergi. Apartemen itu kembali sunyi, tetapi siap menyambut kedatangan sang pemilik dengan romantisme indah yang layak dikenang sepanjang masa.
~~~
Berita kedatangan Sinematografer baru sudah berhembus kencang sejak pagi hari. Kama yang dua hari ini mendekam di apartemennya untuk menyusun rancangan proposal tesis merasa sedikit ketinggalan berita.
“Kau tak baca percakapan di grup kita?” Xinxin, anggota tim kostum membelalak kaget saat Kama bertanya kehebohan apa yang sedang terjadi.
Dengan polos, wanita itu menggeleng. “Aku belum baca sama sekali.”
“Astaga, Kama! Padahal kau dekat dengan sutradara kita. Hari ini Sinematografer baru akan datang. Konon dia adalah orang yang cukup diperhitungkan di Hollywood, masih muda, dan lajang.”
“Ah, iya. Sinematografer lama kita kecelakaan. Jadi, penggantinya hari ini datang rupanya.” Kama ikut menengok ke arah tangga.
Terdengar suara kasak-kusuk keras yang semakin lama semakin mendekat. Banyak kepala muncul di jendela dan pintu ruangan lantai tiga. Kama ikut menjulurkan leher, penasaran dengan sosok Sinematografer baru itu.
Lalu dia muncul.
Kesiap keras terdengar memenuhi koridor panjang itu. Kama terperangah, begitu juga selusin lebih wanita di tempat itu. Koridor menuju kantor Minghao sudah menjelma ibarat runaway modeling, dengan empat orang pria maha tampan berjalan tegap dalam langkah-langkah panjang.
Ada Zheng Minghao, Zheng Yuxi, Pei Siheng, dan seorang pria tampan lagi. Bisik-bisik terdengar menyebut nama Miles Wei. Kecuali Yuxi, tiga pria itu memberikan senyum manis mereka pada orang-orang di sepanjang koridor.
“Astaga, drama kali ini benar-benar membuat jantungku tidak aman.” Xinxin mendesah saat empat pria itu menghilang di balik pintu kantor Minghao.
“Semuanya visual yang tampan dan cantik, ya?” kekeh Kama.
“Kau tak terpengaruh karena kau dekat dengan Tuan Minghao.” Xinxin menarik kursi dan duduk di samping Kama.
“Aku hanya dekat sebagai teman, Xinxin.” Kama sedikit memerah, merasa belum siap untuk mengakui bila sudah berpacaran dengan sang pemilik agensi.
“Baguslah. Kau harus jaga jarak dengan Tuan Minghao. Banyak wanita yang tersakiti setelah dicampakkan oleh bos kita. Dia itu playboy!”
Kama hanya mengangguk-angguk. “Aku kerja dulu. A-Heng memintaku memeriksa draf naskah untuk adegan keseratus.”
“Aku juga harus kembali ke bagian kostum. Hari ini semua kostum untuk figuran akan datang. Bye, Kama.”
Ruangan screenwriter kembali kosong. Yang terdengar hanya suara detik cepat jari-jari menari di atas papan tombol kibor. Semua tenggelam pada kesibukannya masing-masing, hingga jam makan siang tiba.
Ponsel Kama bergetar lembut. Seperti sudah jadi kebiasaan mereka, Minghao selalu meminta waktu khusus untuk makan siang bersama. Tempatnya selalu berubah-ubah untuk menghindari kepergok orang lain.
Namun, kali ini berbeda. Bukan ajakan makan siang yang datang, melainkan perintah untuk datang ke kantor Minghao. Dengan hati bertanya-tanya, Kama melangkahkan kaki menuju kantor kekasihnya.
“Nah, ini sudah datang.” Terdengar suara Pei Siheng di ruangan yang hangat itu.
Kama yang baru memasuki kantor mulai bingung. “Maaf, apa Tuan Zheng ingin bertemu denganku?”
“Ya, Kama. Duduklah.” Minghao menggeser posisinya untuk memberi ruang pada Kama agar bisa berada di dekatnya. Namun, wanita itu justru memilih kursi paling jauh darinya.
Merasakan tatapan geli dari Yuxi, Minghao yang memang berada satu sofa dengan sepupunya itu menelan kedongkolan. Dia terus menatap Kama, sampai ujung kaki Yuxi menyenggol kakinya, memaksa pria itu agar tidak terlalu kentara menunjukkan perasaan.
“Ini adalah Kama, salah satu konsultan sejarah untuk drama kita.” Minghao berdeham memperkenalkan wanitanya.
“Kama, ini Miles Wei. Dia adalah sinematografer baru kita. Kuharap kalian bisa bekerja sama dengan baik karena detail-detail set lokasi akan butuh banyak bantuanmu.”
Kama mengangguk. Dia menerima uluran tangan Miles Wei. Ada getaran lembut menyusup hatinya saat merasakan kulit halus telapak tangan pria itu. Jantung Kama berdebar-debar setelah menangkap basah tatapan lembut kru baru itu padanya.
“Panggil aku Miles.”
Kama mengerjap-ngerjapkan mata. Tidak hanya tampan, Miles Wei juga punya suara yang sangat … seksi. Kama sampai menelan ludah dan buru-buru menarik tangan. Pipinya merona saat membalas senyum Miles.
“Kudengar semua orang ini memuji-muji dirimu. Kau lulus dengan prestasi sangat memuaskan di bidang sejarah kuno Indonesia, dan sekarang menempuh Magister di Universitas Fudan.”
“Aku tidak sehebat itu.” Kama merendah.
“Kita akan lihat nanti, sambil makan siang di tempatku. Bagaimana, Kama?”
Wanita itu terkejut mendengar tawaran yang sangat blak-blakan. Tanpa sadar Kama melirik Minghao dan langsung menciut. Duduknya jadi salah tingkah, seolah di kursinya tiba-tiba muncul duri-duri tajam.
“Sebagai perayaan awal kerja sama kita, bagaimana kalau aku yang traktir kalian makan siang?” Yuxi bersuara, menyelamatkan situasi canggung yang kentara jelas dari Kama dan Minghao.
“Boleh. Boleh. Tentukan tempatnya, Yuxi. Aku akan ikut dengan kalian.” Miles tersenyum lebar dan kembali melihat ke arah Kama.
~ BERSAMBUNG ~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro