Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

43 | Adek Manis


Mereka berdua duduk berhadapan di restoran kecil tak jauh dari rumah sakit. Posisi meja mereka berada di sudut, tersembunyi dari lalu lalang orang. Partisi tinggi yang membatasi tiap meja memberi mereka privasi cukup besar. Meski begitu, Minghao memastikan meja di sebelahnya benar-benar kosong sebelum bicara pada kekasihnya.

“Aku dan Yuxi-ge memang bersaudara.” Pria itu mengakui.

Anehnya, Minghao merasa lega setelah mengatakan kejujuran itu. Saat di rumah sakit, dia takut setengah mati mendengar pertanyaan Kama tentang hubungannya dengan Yuxi. Ingatan akan ucapan kejam sang Kakek kembali terngiang di telinga.

Diam-diam Minghao merasakan ketakutan bila tuduhan kakeknya benar, Kama hanya mendekatinya karena uang dan nama besar Zheng. Maka dari itu, walau sudah dekat dengan wanitanya, Minghao masih merasa ketakutan untuk mengakui kebenarannya. 

Ini jenis ketakutan yang berbeda. Dia juga merasa takut identitasnya terbuka saat bersama wanita-wanita yang dikencaninya sebelum bersama Kama. Namun, perasaan itu lebih karena Minghao tak ingin dimanfaatkan oleh wanita materialistis yang mendekatinya.

Saat bersama Kama, dia takut kehilangan. Minghao yakin, wanita itu tidak akan mengeruk kekayaannya setelah mengetahui jati dirinya. Hanya saja, kemungkinan terburuk adalah Kama justru akan menjauh. Karena Minghao mulai menyadari kekasihnya memiliki keengganan tersendiri pada keluarga kaya.

“Hanya itu?” Kama memutar-mutar cangkir berisi teh hangatnya.

Minghao mendesah panjang. “Aku dan Yuxi-ge adalah saudara sepupu. Dia lebih tua dariku. Kami …,” pria itu menelan ludah, “... kami berdua adalah cucu dan generasi terakhir klan Zheng.”

“Zheng ‘yang itu’?” Kama merujuk pada popularitas keluarga tersohor ini dalam perekonomian China.

Minghao mengangguk.

“Kenapa kau menyembunyikan identitasmu?” tanya Kama menyelidik.

“Karena aku tak mau dicap nepotisme,” aku Minghao jujur. “Dunia hiburan di seluruh dunia sangat kejam. Koneksi diperlukan di mana-mana. Tapi aku ingin orang-orang melihatku karena kemampuan aktingku, bukan karena koneksi hebat di belakangku.”

“Memangnya produser atau sutradara tak ada yang tahu siapa dirimu?” Kama penasaran.

“Tidak ada. Hanya Yuxi-ge saja yang tahu.”

Di hadapannya Kama terperangah. Jika tidak ingat saat ini suasana restoran cukup sepi, dirinya pasti sudah bertepuk tangan heboh.

“Wah, kau benar-benar meniti karier dari nol! Rupanya sendok perak di mulutmu itu tak pernah kau gunakan.”

“Aku menggunakannya, kok.” Minghao bergerak gelisah di kursinya. “Untuk proyek drama kolosal ini, aku minta bantuan Yuxi-ge. Itu karena uangku tidak cukup untuk membiayai drama ini.”

Kama manggut-manggut. Dia sudah tahu bila idealisme Minghao sangat kuat. Proyek-proyek film yang dia tangani sebelum ini, dibuat dengan merogoh kocek sendiri. Kekayaan pria di depannya ini memang luar biasa.

Kini Kama tahu dari mana isi rekening Minghao berasal. Menjadi anggota keluarga kaya raya memang punya keuntungan besar. Sama seperti Gendhis yang sangat mudah memutuskan kuliah di luar negeri tanpa perlu mengkhawatirkan biaya.

“Jadi, orang tuamu setuju dengan kariermu?” Kama mengajukan pertanyaan lagi.

“Kurasa, Mama setuju. Tapi Baba tidak. Baba ingin aku membantunya mengurus bisnis keluarga.”

Kening Kama berkerut. Telinganya menangkap keganjilan dalam jawaban Minghao. “Kurasa Mama setuju?” Wanita itu mengulang perkataan Minghao.

“Ma sudah meninggal sebelum aku terjun ke dunia hiburan.”

Mata Kama membulat besar. “Oh, Hao. Maafkan aku. Aku … aku tidak tahu.”

“Tak masalah. Itu sudah lama. Setidaknya aku lebih beruntung darimu karena masih memiliki Baba.” Minghao tersenyum tipis.

Kama mengangguk lembut. “Lalu?”

“Lalu Baba setengah hati mengizinkanku berkarier sebagai aktor dan penyanyi. Dia fokus membantu Kakek mengurus bisnis keluarga Zheng dan berharap aku pun berkiprah di bidang yang sama. Kakek sendiri menentang keras keputusanku terjun ke dunia hiburan, tapi sekarang sepertinya dia sudah tak punya energi lagi untuk melarangku.”

Kama tiba-tiba beranjak ke sisi Minghao. Tanpa sungkan, dia merangkul lengan pria itu dan bersandar pada Minghao.

“Kau pasti kesepian,” bisik Kama.

Minghao tertegun. Sesuatu yang asing, yang sudah sangat lama tidak dirasakannya setelah kematian sang ibu, membungkus hatinya dengan lembut.

“Berjalan sendirian tanpa dukungan keluarga. Walau pada akhirnya mereka menyetujui pilihanmu, tapi di saat-saat awal karirmu yang pasti sulit, mereka justru tidak ada.”

Minghao mengernyit, merasakan pandangannya buram. Dia mengerjap-ngerjap, tanpa sadar menarik topinya dalam-dalam. Satu tangannya menggenggam tangan Kama erat-erat.

“Tapi jangan khawatir. Sekarang kau tak sendirian lagi. Ada aku.”

Minghao terkejut. “Kau tidak meninggalkanku?”

“Astaga, Hao! Rugi besar kalau aku meninggalkanmu.” Kama tertawa renyah. “Kau itu … kalau di negaraku istilahnya high quality jomblo, alias lajang incaran banyak wanita. Jangankan yang lajang, janda dan tante-tante pun juga bakal mengincarmu yang tampan, kaya, cerdas, dan ….”

“Dan apa?”

Kama berbisik di telinga Minghao. “Hebat soal urusan membahagiakan wanita.”

Senyum Minghao refleks tersungging, mengusir keharuan yang beberapa saat lalu muncul.

“Aku materialistis, Hao,” imbuh Kama lagi.

Minghao mengangkat alis tinggi-tinggi. “Baru kali ini aku dengar seorang perempuan mengakui sifat materialistisnya.”

“Oh, aku bukan perempuan munafik, kok,” kekeh Kama. “Aku butuh uang. Hidup ini butuh uang, Hao. Tapi aku tak mau serakah.”

Kama menangkup wajah Minghao dengan dua tangannya. “Kau kaya, aku tahu itu. Kau calon pewaris bisnis keluarga yang uangnya tak bakal habis tujuh turunan. Aku baru tahu itu. Tapi kau harus tahu satu hal. Aku mencintaimu jauh sebelum aku mengenal latar belakangmu yang hebat itu.”

Minghao tak tahan lagi. Dia mengambil buku menu, membukanya lebar-lebar untuk menutupi dirinya dan Kama, menundukkan kepala, dan melumat bibir kekasihnya.

Jika tak ingat sedang berada di restoran, Minghao pasti sudah membaringkan Kama di meja dan melakukan sesuatu dengan tubuh indah wanita itu. Namun, otak Minghao masih berfungsi dengan baik. Susah payah dia menarik diri dan menenangkan diri.

Pria itu tertawa geli memergoki wajah linglung Kama saat dia bergerak menjauh. Lipstik wanita itu sedikit belepotan dengan bibir yang bengkak. Minghao membersihkannya dengan ujung jari.

“Ayo, pulang.” Dia menggenggam tangan Kama.

“Tunggu dulu.” Gadis itu menggeleng. “Kau belum menjawab satu pertanyaanku.”

“Masih ada lagi?”

Kama mengangguk. “Kemarin …, siapa Bai Jiu? Lalu siapa yang memaksamu menjalani perjodohan dengan Shangzi?”

Minghao berbisik ke telinga Kama. Wanita itu membeliak kaget. 

“Yang benar saja! Sudah tua, tapi masih mendikte kehidupan orang lain? Kakekmu butuh pengalih perhatian, Hao! Biar dia tidak mengganggu hidupmu terus!”

Minghao tertawa mendengar protes wanitanya. “Begitulah hidupku, Nona. Sedikit banyak aku bisa merasakan perasaan Gendhis, sahabatmu itu. Jadi, jangan buru-buru marah kalau aku mengomentari dirinya.”

Kama mencubit pinggang Minghao yang disambut tawa pria itu. Keduanya sejenak melepaskan genggaman, berjalan sendiri-sendiri keluar restoran untuk menghindari resiko tertangkap kamera seseorang, lalu masuk mobil dan kembali ke apartemen.

Kejutan datang saat mereka tiba di lobi. Ada Bing Yi yang terlihat menunggu lift dengan koper besar di samping badannya yang tinggi.

“Kenapa kau di sini?” Minghao mengernyitkan dahi.

“Oh, Tuan Zheng, Miss Kama. Mulai hari ini aku pindah ke sini. Aku tinggal di lantai tiga.”

Minghao memiringkan kepala. Bing Yi buru-buru mengeluarkan dokumen sewa apartemennya.

“Kau tak bisa mengusirku, Bos. Aku sudah menambah isi rekeningmu dengan biaya sewa bulananku.” Bing Yi nyengir lebar.

“Kenapa kau pindah ke sini?” 

“Agar mempermudah membantumu menjaga Miss Kama. Kau tak mungkin tinggal di sini kan, Bos? Apa kata orang kalau tahu aktor top sepertimu berkeliaran di apartemen sederhana seperti ini?”

Minghao melotot galak. Kama menahan tawa.

“Bing Yi benar, Hao. Akan muncul rumor kalau orang-orang melihatmu terlalu sering di sini. Sana pergi, aku mau pulang.”

“Tak boleh!” Minghao meraih tangan Kama. “Aku sudah membeli gedung ini. Aku pemilik gedung ini. Suka-suka aku mau tinggal di sini atau tidak.”

“Hao, jangan kekanak-kanakan,” tegur Kama.

“Kalau berada di dekatmu harus membuatku jadi kekanak-kanakan, aku rela, Sayangku.”

Di samping mereka Bing Yi memasang ekspresi seperti orang mau muntah. Kama tak bisa lagi menahan tawanya. Dia terpingkal-pingkal sampai terbungkuk-bungkuk.

“Kalau begitu, jangan panggil aku Sayangku. Kau sudah sering memanggil banyak wanita dengan itu. Shangzi juga memanggilmu Baobei. Iyuh …” Kama bergidik.

“Baik. Kau mau dipanggil apa?”

Kama menatap Minghao lekat-lekat. “Adek Manis,” jawab wanita itu tegas. “Tirukan aku, Hao. Panggil aku Adek Manis. Itu panggilan yang hanya boleh kau sebut untukku.”

“A-dek Ma-nis.” Minghao mengeja kata-kata dalam bahasa Indonesia itu. “Memangnya apa artinya?”

“Hampir sama dengan wo meili de airen,” jawab Kama. “Tapi dalam istilah yang lebih manis.”

MInghao mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Bing Yi terpesona dengan wanita di sampingnya.

“Miss Kama, aku berani bertaruh Boss tak akan mau memanggil Anda dengan–”

“Adek Manis.” Minghao memotong perkataan sahabatnya sembari mendaratkan kecupan di pipi kekasihnya.

Bing Yi membelalak lebar-lebar. Reaksi Bing Yi memicu tawa geli Kama. Mereka bertiga masuk lift dengan obrolan basa-basi sampai tiba di lantai masing-masing.

Malam itu, setelah memastikan Kama tertidur nyenyak, Minghao keluar mengendap-ngendap dan turun ke lantai tempat Bing Yi berada. Dia hanya perlu menekan bel satu kali sebelum pintu terkuak membuka.

“Langsung saja. Apa tujuanmu kemari, Bing Yi?” Minghao blak-blakan karena menyadari kepindahan asistennya ke apartemen ini pasti bukan tanpa alasan. Dia terlalu mengenal Bing Yi dan meragukan sikap impulsif sahabatnya itu.

Bing Yi mengambil sebotol anggur berkualitas tinggi dari rak. “Bai Jiu mengawasi tempat ini. Aku melihatnya kemarin dan hari ini.”

“Kakek?”

“Sudah kembali ke Nanjing. Tapi Bai Jiu tinggal di sini.”

Minghao mengernyitkan dahi. “Aneh sekali. Bai Jiu sudah serupa uban di kepala Kakek. Selalu menempel tak pernah berpisah. Selidiki kenapa dia masih berada di Shanghai.”

Bing Yi mengangguk. Dia lalu meraih tas kerjanya dan mengeluarkan satu bundel dokumen yang sudah dijilid rapi.

“Ini data-data yang aku cetak berdasar diska lepas pemberianmu dulu. Ada nama-nama artis dan model yang diselidiki oleh Yuxi-da ge yang diduga melakukan penggelapan pajak. Kau akan suka dengan apa yang kutemukan di sana.”

Minghao mencermati halaman demi halaman dari dokumen. Dia menemukan beberapa nama diberi tanda kuning dengan pena penyorot. Jarinya membeku di halaman-halaman bertanda itu.

“Data-data dari Yuxi-da ge hanya mencantumkan agensi-agensi yang diduga melakukan praktek kontrak yin dan yang. Aku menyelidiki lebih dalam dan menemukan beberapa nama artis dan model yang terbukti memiliki dua kontrak ini. 

Lalu aku merasa aneh saat menemukan nama Black Henbane Agency memakai jasa model dan artis lokal di sini. Tapi pekerjaan yang mereka lakukan ada di China dan untuk jenama-jenama lokal, bukan internasional. Kita tahu sendiri, Black Henbane adalah agensi internasional dengan proyek-proyek global berskala besar. Dari situs mereka, belum ada informasi tentang kerja sama resmi dengan negara ini.”

Jantung Minghao serasa berhenti berdetak. Nama Black Henbane Agency sangat dikenalnya, bahkan tak pernah lekang dari ingatannya, mengendap di satu ruang khusus di hatinya, dan membangkitkan rasa sakit hebat saat nama itu muncul lagi di ingatan.

“Bisa dibilang, Black Henbane Agency menjadi semacam manajer dan sponsor di belakang layar. Mereka tidak terlihat oleh publik, tetapi mereka ada di sini,” imbuh Bing Yi.

“Aku harus bertemu Yuxi-ge,” Minghao berkata dengan suara bergetar, “kau teruskan penyelidikan ini, Bing Yi. Nama-nama yang sudah kau tandai ini, selidiki mereka lagi. Jangan ada yang terlewat.”

Bing Yi menatap prihatin pada Minghao sebelum mengangguk singkat. “Oke, Bos. Aku siap laksanakan.”

~~~

Catatan Kaki:

Kontrak Yin dan Yang di China tuh kayak perjanjian "dua muka" yang sering dipakai buat ngakalin aturan. Jadi, ada dua dokumen—yang Yin (rahasia) dan yang Yang (resmi). Yang versi Yang itu yang legal dan ditunjukin ke pemerintah atau pihak berwenang, sementara yang Yin nyimpen kesepakatan asli yang lebih menguntungkan salah satu pihak. Biasanya dipakai dalam bisnis atau properti buat ngurangin pajak atau ngelabuin aturan. Intinya, ini strategi licik buat main aman sambil tetap dapet keuntungan maksimal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro