38 | Duel dengan Geng Motor
Kama tak pernah menganggap remeh segala hal yang berhubungan dengan silat, termasuk taruhan Minghao. Dia menerimanya dengan senang hati, seraya mengabaikan ledekan He Yu padanya.
“Kita mulai sekarang saja, agar makanan di perutmu tidak keluar. Lebih baik duel dengan perut kosong, daripada memubazirkan daging lezat ini karena kau muntah.” Kama sengaja mengejek.
Sorakan riuh muncul dari semua orang di meja itu. Terdengar derit kursi didorong mundur, lalu langkah-langkah kaki yang merapat ke dinding. Salju menggumpal di jendela kaca rumah makan itu, membingkai arena sempit di tengah ruang. Aroma chimarrão–teh khas Brasil–bercampur dengan ketegangan di udara.
He Yu melangkah maju. Posturnya tegak dengan tatapan yang tajam. Di depannya, Kama berdiri ringan dalam posisi kuda-kuda rendah khas silat. Tubuhnya tampak lentur, tetapi penuh ancaman.
“Ayo, Tuan Aktor,” ejek Kama dengan senyum tipis. “Buktikan kalau wushu lebih dari sekadar gerakan indah. Jangan sungkan padaku.”
He Yu menyeringai. Tanpa aba-aba, dia meluncur maju. Tubuhnya melayang. Tendangan berputarnya membelah udara dengan kecepatan yang tidak mengancam. Namun, saat melihat Kama menunduk, menghindar dengan mudah, bahkan sebelum tendangan itu mendekat, membuat He Yu seketika berubah pikiran.
Gadis ini serius, batinnya. Jadi, dia tidak bermain-main. Dia mengulang jurus pertamanya dengan kekuatan penuh dan level kecepatan yang meningkat. Dan sekali lagi, Kama mampu menghindar dengan mudah.
“Cepat,” gumamnya, nyaris mengejek.
He Yu tidak memberi waktu. Dia merendahkan tubuh, memutar dengan jurus pukulan kedua yang menyapu dari samping.
Kama melompat mundur, membiarkan tangan He Yu menghantam udara kosong. Tanpa menunggu, He Yu memanfaatkan momentum untuk jurus ketiga. Langkahnya meledak ke depan, serangkaian pukulan cepat diarahkan ke titik vital.
Kama bertahan dengan gerakan gemulai, mengalir seperti air. Tangannya yang kecil, tetapi kuat, menangkis pukulan demi pukulan dengan sempurna, lalu celah itu muncul.
“Kau terlalu terburu-buru,” bisik Kama.
Kakinya bergerak seperti kilat. Tendangan kaki kanannya menghantam tepat di dada He Yu. Benturannya keras dan bersih. Tubuh He Yu terlempar ke belakang, menabrak meja makan hingga piring dan gelas berjatuhan.
He Yu terkapar di lantai, terengah-engah, satu tangan menekan dadanya. Kama berdiri di atasnya, menjulurkan tangan sambil tersenyum miring.
“Motor Tuan Zheng milikku,” katanya singkat.
He Yu mendongak, wajahnya kesal, tetapi tak bisa menyembunyikan kekagumannya. “Lain kali aku akan menang.”
“Kita selesaikan duel ini dengan minum.” Kama tertawa kecil, meninggalkan He Yu yang masih tergeletak di lantai dengan harga diri sedikit robek.
Tepuk tangan membahana di dalam restoran kecil yang sudah dipesan khusus hanya untuk makan siang para aktor tersebut. Bahkan pemilik dan pelayan restoran pun turut senang dengan aksi martial art yang indah itu.
Saat duduk kembali di tempatnya–dan setelah Minghao meminta kepada pelayan untuk memasukkan tagihan barang-barang yang rusak ke bonnya nanti–pandangan semua orang tentang Kama berubah total. Bukannya takut dan marah, anggota geng motor itu justru memberi pemujaan setinggi langit pada gadis itu.
“Pantas saja Heidi dan Linghe sampai membela mati-matian. Ternyata dirimu memang semenyenangkan ini.” He Yu bersulang dengan teh Brasil kepada Kama.
“Pantas saja Minghao juga mengizinkanmu naik motornya. Selama ini dia sangat cerewet soal motor. Jangankan perempuan, kami saja tidak diizinkan membonceng motornya.” Rui Peng memberi tahu.
“Dan sekarang motor Minghao sudah jadi milikmu, Nona Kama. Apa kau akan bergabung dengan kami di geng ini?” Guang bertanya ramah.
Kama menggeleng. “Aku tak bisa naik motor.”
Delapan orang di meja itu nyaris menyemburkan makanan yang mereka kunyah.
“Lalu untuk apa motor Minghao ini? Kau sudah menang taruhan! Astaga, andai aku yang memenangkan taruhan ini.” Bai Shu mendesah keras.
Kama menatap lelaki itu. “Kau mau?”
“Semua dari kami mau motor itu! Gila saja! Triumph Tiger dan itu punya Minghao yang jelas-jelas sangat telaten soal perawatan.” Bai Shu menggebrak meja.
Kama senyum-senyum penuh arti. Di sampingnya Minghao menyipitkan mata curiga. Dia mengamati Kama yang mengambil kunci motornya dari atas meja.
“Kalau begitu, aku buka lelang. Siapa dari kalian yang memberiku penawaran tertinggi, Triumph Tiger yang sudah dinaiki oleh Zheng Minghao, aktor terkenal dan pencinta otomotif nomor satu di China, akan menjadi milik kalian.”
~~~
Setelah makan siang itu, seluruh anggota geng motor Minghao menobatkan Kama sebagai adik kesayangan mereka. Pembawaannya yang supel dan luwes membuat semua orang merasa nyaman, kecuali Minghao yang tak berhenti cemberut sejak separuh makanan disajikan.
“Kau tak menyangka aku akan menjual motormu?” Kama menyenggol siku Minghao saat mereka berdiri di undakan teratas restoran, menunggu Bing Yi datang menjemput.
Seluruh anggota geng motor sudah pergi, termasuk Bai Shu yang memenangkan Triumph Tiger dengan harga hampir mencapai lima puluh ribu yuan, jauh lebih tinggi dibanding harga di pasaran. Bai Shu juga sudah mengirim orang untuk membawa motor itu ke garasinya, meninggalkan Minghao dan Kama hanya berdua saja.
“Aku bisa beli motor lagi,” jawab Minghao enteng.
Kama mengerucutkan bibir, berpikir betapa enaknya menjadi orang kaya. Bagi Minghao, mengeluarkan puluhan ribu yuan ibarat membalik telapak tangan. Sementara, mencari seribu yuan saja butuh perjuangan berdarah-darah bagi Kama.
“Ayah Gendhis sudah menghentikan bantuannya. Sekarang aku harus lebih giat lagi mencari uang, sebab apply beasiswa di pertengahan kuliah bagi mahasiswa internasional sepertiku sangat sulit. Satu-satunya cara bagiku agar tetap bisa kuliah hanyalah bekerja.” Kama memutuskan untuk jujur.
Di sebelahnya Minghao tertegun. Lelaki itu menatap dalam diam.
“Aku juga berencana pindah dari apartemenmu, Hao. Tak enak bila terus menumpang.”
“Tak apa-apa, Kama. Aku–”
“Aku tak ingin mengganggu jadwal kencanmu, jika sewaktu-waktu kau membawa pulang pacarmu.” Kama memotong.
Kepala Minghao bak dihantam penggorengan. Ekspresinya linglung. “Membawa wanita? Mengganggu kencanku? Apa maksudmu? Bukankah kita–”
“Kita hanya berteman.” Kama memotong lagi perkataan Minghao. “Terima kasih karena sudah menolongku selama ini. Selanjutnya, aku tak akan bergantung terus padamu, kecuali untuk pekerjaan di drama milikmu.”
Minghao ingin menyanggah, tetapi mobil Bing Yi sudah keburu datang. Dia terpaksa menelan sendiri perkataannya. Namun, setiba di agensi lelaki itu hanya menurunkan Kama dan menyuruh Bing Yi menuju Sinan Road.
Sebagai pencinta otomotif, Minghao secara khusus mendirikan garasi yang dilengkapi bengkel pribadi. Lokasinya tidak jauh dari Lotus Fortune House. Di sana, bila tidak sempat pulang ke apartemen, Minghao senang menginap dan menghabiskan waktu bersama koleksi kendaraannya.
Sampai sore hari dia tenggelam dalam keasyikan merawat motor-motornya bersama dua orang montir. Namun, selepas jam makan malam, dia sendirian di sana. Berteman motor-motor koleksi berbagai merek dan model yang sudah serupa pasukan siap dipanggil beraksi.
Minghao duduk di lantai dengan kaus lusuh dan celana jeans tua. Tangannya sibuk memperbaiki mesin motor klasik favoritnya—sebuah Triumph Bonneville T120 keluaran 1960-an. Mesin itu sempat mogok, dan dia merasa perlu meluangkan waktu untuk menghidupkannya kembali.
“Jadi ini yang kau lakukan saat semua orang mengira kau sedang sibuk di agensimu?” Suara Yuxi memecah kesunyian.
Minghao mendongak dan melihat Yuxi berdiri di pintu garasi. Jas rapi khas CEO yang membalut tubuh atletis Yuxi kontras dengan suasana santai garasi.
“Aku juga butuh waktu sendirian, Yuxi-ge.” jawab Minghao sambil tersenyum. Dia kembali fokus pada mesin di depannya.
Yuxi mendekat, melepas jas, lalu menggulung lengan kemejanya. Dia mengambil satu kursi di dekat meja kerja dan duduk, memperhatikan Minghao dengan ketelitian seorang CEO calon pewaris Zheng Global Holdings. “Kenapa kau tidak meminta mekanikmu saja yang memperbaikinya? Bukankah waktumu lebih berharga?”
Yuxi melirik arloji. “Jika bosnya masih ada di sini, bukannya para montirmu itu tidak boleh pulang dulu? Tapi ini memang sudah melebihi jam kerja. Kau pasti terlalu pelit membayar lembur montir-montirmu itu.”
Minghao tertawa, “Bukan soal itu, tapi soal rasanya. Memperbaiki motor ini seperti terapi untukku. Lagipula, aku butuh sesuatu untuk mengalihkan pikiranku dari masalah.”
Yuxi menaikkan alisnya. “Masalah? Shangzi lagi?”
Minghao langsung melempar lirikan tajam. “Kau memang sengaja ingin membunuhku. Saat Bing Yi bilang ada Shangzi datang ke agensi, kau langsung kabur seperti kucing.”
“Aku hanya tak ingin merusak rencanamu yang indah bersama model itu, Hao.” Yuxi berkata kalem.
Minghao melempar lap kotor yang ditangkap Yuxi dengan gesit. Dan dengan sangat baik hati, Yuxi melemparkan benda itu ke tong sampah di sudut ruang. Tepat sasaran! Lengkap dengan pelototan kesal Minghao.
“Jadi, bagaimana ceritamu dengan Shangzi tadi?”
Minghao berdiri. Dia mencuci tangan, lalu pergi mengambil sebotol bir dan sebotol jus jeruk. Bir untuknya dan jus jeruk untuk Yuxi yang punya alergi alkohol.
“Dia sempat mengatakan, aku yang lebih dulu menghubunginya. Jadi, dia sengaja mengajakku makan siang untuk lebih mendekatkan diri.”
Alis Yuxi terangkat tinggi.
“Ini aneh, Yuxi-ge. Setelah aku membatalkan kencan butamu dengan Shangzi dulu, aku tak pernah berkomunikasi lagi dengannya. Tidak telepon, tidak juga pesan. Lalu tiba-tiba Shangzi mengatakan seperti itu. Ada bayangan?”
Yuxi mengangguk. “Kau pasti sudah bisa menebaknya.”
“Kakek,” angguk Minghao. “Aku tak mengira Kakek akan melakukan cara serendah ini hanya untuk mencarikan aku istri.”
“Mungkin Kakek sudah putus asa.” Yuxi memainkan kunci Inggris di atas meja. “Bagi Kakek, aku-lah fokus utama perjodohan. Tapi kau selalu datang menggagalkannya. Setelah melihat press release kita soal Kama, Kakek pasti menyadari persekutuan kita.”
Minghao menenggak birnya. Pandangan mata lelaki itu sayu. “Kakek harus mengurusku dulu agar bisa membuatmu menerima jodoh yang dia berikan.”
“Tepat sekali, Hao.”
“Tapi aku tidak bisa melakukannya.” Minghao menggeleng-geleng. “Aku tidak bisa menikahi Shangzi.”
“Tentu saja kau tak bisa. Yang kau inginkan hanya Nona Kama-mu itu.”
Minghao terdiam. Percakapannya dengan Kama siang tadi kembali melintas di ingatan. Dia tidak bercerita pada Yuxi bila kelinci kecil kesayangannya itu kini sudah bersiap melompat meninggalkannya.
Dan ini semua kesalahannya.
Minghao menghembuskan napas berat. Kepalanya tertunduk lunglai. Bahunya merosot. Saking seriusnya melamun, Minghao sampai tidak sadar dengan tatapan Yuxi.
“Ada yang sudah terjadi?”
Minghao tersentak pelan, lalu menggeleng. “Tidak ada. Hanya masalah pekerjaan.”
Yuxi tahu adik sepupunya berbohong. Namun, dia cukup bijaksana untuk tidak mengorek informasi.
“Ngomong-ngomong, Bing Yi menerima surel dari asisten pribadi Kakek. Kau tahu apa lagi yang direncanakan Kakek untuk menjeratku?”
Yuxi menggeleng.
“Kakek ingin aku menjadi brand ambassador mall keluarga kita. Zheng Tianlong Plaza sudah sangat kaya. Kenapa masih butuh aku untuk mempromosikan mall Kakek?”
Yuxi tak bisa menahan tawa. Ekspresi langka yang belakangan ini mulai muncul tiap mereka berdua bertemu. “Kau memang cocok jadi wajah keluarga kita. Tampan, sukses, dan ... keras kepala.”
“Terima kasih atas pujiannya.” Minghao meletakkan obengnya dan berbalik menghadap Yuxi. “Tapi serius, aku tidak ingin hidupku hanya menjadi alat promosi keluarga Zheng. Untuk apa aku susah-susah berkarier kalau akhirnya harus terus terikat dengan bisnis keluarga?”
Yuxi mengangguk, memahami keresahan sepupunya itu. “Aku mengerti. Tapi kau juga harus paham, Hao, menjadi bagian dari keluarga ini berarti ada tanggung jawab yang harus kita pikul. Dan kau tidak bisa melarikan diri selamanya.”
Minghao terdiam sejenak. Dia mengusap tangannya yang kotor dengan kain. “Aku tidak lari. Aku hanya mencoba menemukan cara agar tetap bisa menjadi diriku sendiri di tengah semua tuntutan ini.”
Yuxi berdiri, berjalan mendekati Minghao, dan menepuk bahunya. “Kau bukan satu-satunya yang merasa terjebak, tahu? Aku juga punya ekspektasi dari kakek, dari dewan direksi, dari dunia luar. Tapi, kita ini tim. Kalau kau butuh bantuan, katakan saja padaku.”
“Aku butuh bantuanmu untuk menjauhkan Kakek dariku.”
“Maaf, kalau itu aku tak bisa melakukannya.” Yuxi tertawa dan melambaikan tangan pada Minghao, pamit pergi dari bengkel megah itu.
~BERSAMBUNG ~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro