36 | Malam Beku Penyingkap Rahasia
Angin musim dingin dari Sungai Huangpu merembes melalui celah-celah jendela apartemen Minghao. Mesin penghangat ruangan yang biasanya menjadi perisai Kama dari hawa dingin tiba-tiba mati tanpa peringatan. Suhu apartemen menurun drastis karena udara dingin merasuki setiap sudut ruangan. Sementara Kama terbaring di sofa ruang tamu dengan tubuh meringkuk. Selimut yang melorot tidak cukup memberinya kehangatan.
Wahnya pucat. Bibirnya bergerak pelan, seperti bergumam dalam tidur. Napasnya pendek dan cepat, seolah mencoba berjuang melawan sesuatu yang tak terlihat.
Di dalam mimpi, dia kembali ke kamar mandi panti asuhan. Salah satu ruangan dalam kenangannya menampilkan kepingan masa lalu. Dinding lembab yang menempel dingin pada kulitnya, aroma apek yang memenuhi udara, dan suara tawa anak-anak di luar pintu terkunci.
Rasa dingin yang familier menyelimuti tubuhnya, membungkus hatinya, dan membangkitkan rasa takut dan terjebak yang sudah lama terkubur.
Sementara di dunia nyata, suara pintu apartemen yang terbuka lembut memecah keheningan malam hari. Minghao masuk dengan sekantong obat-obatan pereda nyeri haid. Dia memanggil nama Kama, tetapi tidak mendapat jawaban.
Minghao mengernyit saat merasakan hawa dingin menusuk begitu memasuki foyer. Wajahnya berubah khawatir saat melihat Kama menggigil di sofa.
“Kama?” panggilnya pelan seraya melangkah mendekat. Kama tampak begitu kecil dan rapuh di sofa besar itu.
Minghao mendekatinya, berlutut di sisinya. Tangannya ragu-ragu sejenak sebelum menyentuh bahu gadis itu. “Kama, bangun. Ini aku, Hao.”
Kama tidak merespons. Matanya bergerak-gerak di balik kelopak yang tertutup. Napasnya masih terputus-putus. Minghao merasakan ada sesuatu yang salah. Dia menggoyang bahu Kama dengan lembut, tetapi cukup tegas.
“Kama, bangun! Kau sedang mimpi buruk.”
Tiba-tiba, Kama tersentak. Matanya terbuka lebar-lebar. Namun, pandangannya kosong, seperti belum sepenuhnya sadar di mana dia berada. Gadis itu mengatur napas. Gigilannya semakin hebat. “Aku ... apa yang terjadi?”
“Penghangat rusak. Ruangan ini jadi sangat dingin,” jawab Minghao sambil mengawasinya dengan tatapan khawatir. “Kau seperti sedang mimpi buruk.”
Kama mengangguk lemah. Kepala menundu seolah menyembunyikan sesuatu. “Aku benci hawa dingin,” katanya. Suaranya nyaris berbisik.
Minghao duduk di sampingnya. Jaraknya cukup dekat, tetapi tidak mengganggu. Walau ingin sekali memeluk gadis itu, Minghao tahu saat ini bukan waktu yang tepat. Firasatnya memperingatkan agar tetap memberi ruang bagi Kama.
"Aku tahu kau membencinya,” katanya perlahan. “Tapi ini lebih dari sekadar benci hawa dingin, bukan?”
Kama menatapnya sejenak, lalu memalingkan wajah. “Aku tak suka membicarakannya.”
Minghao menghela napas, mencoba membaca ekspresi Kama yang tersembunyi di balik tirai rambutnya. Sikapnya yang aneh selalu membuatnya curiga bahwa ada sesuatu dari masa lalu Kama yang dia sembunyikan. Namun, Minghao tahu lebih baik tidak memaksa.
“Baiklah,” katanya, berdiri untuk mencari pemanas portabel di kamarnya. “Aku akan menyalakan ini dan menyeduhkan teh panas. Kau tidak perlu mengatakan apa pun jika tidak mau.”
Kama menutup mata sebentar, berusaha mengendalikan getaran di tubuhnya. Dia mendengar suara langkah Minghao menjauh, lalu kembali membawa pemanas kecil. Perlahan, kehangatan mulai menyebar di ruangan itu.
“Terima kasih,” gumam Kama ketika Minghao menyerahkan secangkir teh padanya.
“Tidak perlu berterima kasih,” jawab Minghao lembut dan duduk kembali di sebelahnya. “Tapi kau tahu, jika suatu saat ingin bicara … aku di sini.”
Kama memandang Minghao beberapa waktu lamanya, lalu kembali menunduk. Dia meneguk teh hangatnya dalam diam. Gadis itu merasakan Minghao meletakkan beberapa selimut tebal di sekeliling bahunya dan berterima kasih dalam hati. Diamnya Minghao untuk saat ini adalah bantuan terbesar baginya.
Angin menusuk kulitku, tapi yang lebih menyakitkan adalah perasaan itu—dingin yang mengingatkanku pada tempat itu. Bau lembab, gelap, dan suara-suara tawa di balik pintu yang terkunci. Aku tidak bisa lari. Aku tidak pernah bisa lari.
Kama semakin erat mencengkeram cangkir tehnya. Dia pikir, dia sudah terbebas dari masa lalu kelam itu. Rupanya jerat itu masih ada dan makin erat menariknya, seolah tidak membiarkannya melangkah ke masa depan.
Maafkan aku, Hao. Kau sudah banyak membantuku. Aku tak ingin menarikmu dalam traumaku. Maafkan aku.
~~~
“Tak boleh lagi, Kama. Kamu tak boleh balik ke asrama. Pihak pengurusan asrama sudah uruskan dokumen untuk keluarkan kamu dari sini.”
“Tapi aku sudah bersihkan namaku. Tempat kerjaku juga sudah keluarkan press release.” Kama berbisik agar suaranya tidak terdengar sampai kubikel sebelah.
“Maafkan aku, Kama. Aku pun tak tahu tentang itu. Yang pasti, bilik kamu dah dihuni oleh dua pelajar baru dari Bangladesh dan India.” Terdengar suara Lusi sedikit teredam di seberang sana.
“Dua orang sekaligus? Lalu Gendhis gimana?” Cengkeraman Kama di ponsel pintarnya tanpa sadar mengencang.
“Kamu tak tahu? Gendhis pun dah keluar dari asrama. Sehari lepas kamu dikeluarkan, dia kemas barang dia dan terus pergi.”
Kama tertegun. Obrolannya dengan Lusi lewat telepon terputus. Pandangan gadis itu kosong memelototi dinding kubikelnya.
“Hai, melamunkan Minghao-Gege?”
Kama mendongak. Wajah Siheng muncul dari atas dinding kubikel. Saat ini Kama berada di Lotus Fortune House. Selama proyek drama bersama Minghao, dia memang memiliki ruang kerja pribadi bersama Pei Siheng dan dua orang staff writer berstatus freelance lainnya.
“Siapa yang melamunkan dia?” Kama menyimpan ponselnya.
“Kau tadi bicara dalam bahasa apa?”
“Indonesia,” jawab Kama singkat. Dia mendongakkan pandangan ke arah mentornya. “A-Heng, apa kau punya rekomendasi tempat tinggal murah dan bagus untukku? Ukuran terkecil pun tidak masalah.”
“Kau belum kembali ke asrama?” tanya Siheng heran.
“Kamar asramaku sudah ditempati orang lain. Aku tak bisa ke sana lagi.”
“Lalu selama ini kau tinggal di mana?”
“Di rumah temanku.” Kama berbohong.
Siheng menatap gadis di depannya dengan sorot menyelidik. Dia tahu gadis itu adalah kesayangan Zheng Minghao. Pagi ini pun keyakinannya itu mendapat pembuktian gamblang saat memergoki Kama turun dari motor yang ditumpanginya bersama Zheng Minghao.
Siheng baru akan menjawab saat matanya melihat Zheng Yuxi melewati koridor di luar ruang kerja penulis naskah. Dia mengedikkan dagu ke arah Yuxi.
“Zheng Yuxi? Kenapa dia di sini?” tanya Kama.
“Kurasa hubungan Minghao-ge ge lebih dekat dengan eksekutif produser, dibanding dengan produsernya sendiri,” bisik Siheng.
Kama mengangguk setuju. Dia tidak menceritakan pertemuan di rumah sakit saat Gendhis sakit, juga saat dia melabrak Yuxi. Namun, Kama jadi tahu jika hubungan Minghao dan Yuxi memang cukup dekat.
Lalu pemandangan lain muncul. Kali ini tidak hanya Kama dan Siheng yang terperangah. Dua staff writer lain, juga serombongan talenta artis yang berada di lorong depan ruang kerja, sama-sama tercengang demi melihat siapa yang baru saja lewat.
“Chen Shangzi?”
“Astaga, serius itu tadi Shangzi?”
“Tuhanku, dia cantik sekali! Wangi pula!”
“Jadi, itu benar? Shangzi benar-benar berkencan dengan Minghao-ge ge?”
Kama tanpa sadar memandangi dirinya sendiri. Saat ini, dia memakai pakaian andalan yang sama dengan saat ke kampus. Kaos putih longgar dilapisi hoodie abu-abu sebagai inner, dan dilapisi lagi outwear kemeja flanel longgar kotak-kotak. Tak lupa celana hitam panjang berpotongan longgar yang nyaris menenggelamkan tubuh kecilnya.
Setelan oversized yang dikenakannya saat ini jomplang sekali dengan penampilan Shangzi yang ultra feminin. Tubuh ramping wanita itu dibalut dress rajut putih yang mengekspos lekuk tubuh. Tambahan cardigan panjang yang menciptakan kesan sleek dan anggun mempercantik kesan elegan dari seorang Chen Shangzi.
“Hei, melamun lagi.” Siheng mengetuk pinggiran kubikel, membawa Kama kembali ke kenyataan.
Gadis itu tersenyum getir. “Sudah jam makan siang? Keluar, yok?”
“Tak mau lihat drama Minghao-ge ge dan Chen Shangzi?”
Kama menggeleng. Dia membereskan mejanya dan menutup laptop. Saat hendak mengambil ponsel, Siheng tiba-tiba menyodorkan setumpuk berkas pada Kama.
“Bawa ini ke ruang Minghao-ge ge. Dia minta revisi terbaru untuk episode tiga puluh. Nanti kutunggu di kafe samping agensi.”
“Harus sekarang juga?” Kama ingin protes. “Kenapa tidak dirimu sendiri saja? Kau ini mandor kami.”
“Tapi kau yang paling dekat dengan Minghao-ge ge dibanding kami semua.” Siheng nyengir lebar. “Terakhir kali aku setor revisi, aku kena semprot karena salah meletakkan timing masuk second lead kita. Kalau kau yang bawa revisian, Minghao-ge ge pasti akan langsung validasi naskahnya.”
“Jadi, kau menumbalkan diriku?” Kama menyipitkan mata kesal.
“Demi kami bertiga, Kama.” Siheng memohon dengan dua orang staff writer berdiri di belakangnya, bersikap identik seperti Siheng.
Kama menghela napas panjang. “Kalian berutang traktiran padaku. Aku minta daging wagyu untuk makan siang ini.”
“Siap, Kama!” Siheng dan dua kru yang lain segera kabur keluar ruangan. Sementara Kama berjalan gontai menuju kantor Minghao.
“Kelinci kecil?”
Kama berhenti melangkah. Sedari tadi menundukkan kepala, dia tidak sadar bila hampir menabrak Yuxi.
“Siapa yang Anda panggil kelinci kecil?” Kama menyipitkan mata.
“Kau.” Yuxi menunjuk gadis di depannya. “Mau ke tempat Hao?”
Kama mengangkat dokumen di tangannya dan mengangguk.
“Kusarankan kau tunda rencanamu ini. Hao sedang ….”
Kama tersenyum masam. “Saya tahu, Zheng Zongcai. Dia sedang bertemu dengan kencannya, bukan? Saya melihat Nona Chen Shangzi datang.”
Alis Yuxi terangkat tinggi. Ekspresi lelaki itu datar, tidak bisa ditebak. “Kalau begitu, kuucapkan semoga beruntung.”
Yuxi menepuk bahu Kama dan berjalan pergi. Sementara Kama berdiri kebingungan, tak mengerti maksud ucapan Yuxi.
Lalu Kama melanjutkan langkah. Lalu dia melihat Bing Yi menempelkan telinga di pintu kantor Minghao. Lalu Kama menengok ke dinding kaca kantor Minghao yang sengaja tidak ditutup tirainya. Lalu hati Kama tersengat nyeri.
“Shangzi, ini tempat kerja. Kalau kamu mau bicara, kita bisa atur waktu lain.” Terdengar suara Minghao yang bernada sangat lembut.
“Tapi aku ingin bicara sekarang,” balas Shangzi manja. “Kau tidak membalas pesanku semalam. Aku ingin mengajakmu makan siang bersama. Kau yang menghubungiku lebih dulu. Kenapa sekarang malah jadi susah ditemui seperti ini?”
Di depan dinding kaca ruang kerja Minghao, Kama berdiri sambil membawa setumpuk naskah. Dia berusaha terlihat sibuk, tetapi tatapannya terpaku pada interaksi antara Minghao dan Shangzi. Cemburu menggerogoti hatinya, meski dia tahu dia tidak punya hak untuk merasa seperti itu.
“Miss Kama?”
Gadis itu tersentak kaget. Bing Yi memanggilnya dengan lembut. Bergegas Kama menyerahkan draf naskah kepada asisten pribadi Minghao.
“Berikan ini pada Hao,” kata Kama dengan suara bergetar. “Aku pergi dulu.”
Bing Yi menatap prihatin punggung Kama yang bergerak menjauh. Suara manja Shangzi masih terdengar jelas, bahkan dalam kondisi pintu kantor yang tertutup.
“Kali ini habislah riwayatmu, Minghao. Kau sudah menyakiti hati perempuan yang sangat baik.” Bing Yi menghela napas panjang.
~ BERSAMBUNG ~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro