34 | Kita HTS, Nih?
Minghao menurunkan cangkir kopinya dengan gerakan pelan, seolah memberi waktu pada dirinya untuk berpikir. Matanya menyipit. Satu senyum kecil—nyaris seperti seringai—muncul di sudut bibirnya. Dia menatap Linghe, kemudian berpindah ke Kama. Hatinya menghangat saat memergoki wajah gadisnya memerah seolah baru saja tersengat sesuatu.
“Resmi? Hm…” Dia menahan jeda, menciptakan keheningan yang membuat semua orang di ruangan itu tanpa sadar menahan napas.
“Aku tidak ingat ada momen resmi seperti itu. Tapi kalau kau bertanya apakah dia milikku …,” Minghao sengaja memaku pandangan pada Kama, menatapnya dengan hasrat yang membelai lembut gadis itu, “kurasa jawabannya sudah jelas.”
Kama hampir saja tersedak cokelat hangatnya. Dia membuka mulut, ingin membantah, tetapi tidak ada kata yang keluar. Pandangan Minghao yang intens seperti mengunci lidahnya.
Linghe tertawa kecil, sementara Heidi menatap mereka berdua dengan mata berbinar penuh rasa penasaran. Di sisi lain, Bing Yi hanya terdiam dan memasang muka datar. Namun, sorot matanya menyimpan jejak prihatin sekaligus penasaran.
“Jadi itu berarti ya, kan?” Heidi menegaskan.
Minghao mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. Suaranya lebih rendah dan tenang, seperti bisikan yang hanya ingin didengar oleh Kama.
“Ya ... atau mungkin tidak. Tergantung bagaimana kau memahaminya.”
Dia lalu menyesap kopinya lagi. Sikapnya santai, seolah tidak menyadari dampak dari kata-katanya.
Kama terdiam. Dia merasa seperti ada jaring halus yang perlahan mengikatnya lebih erat. Ada sesuatu dalam cara Minghao berbicara—dominasi yang tersirat, kekuasaan yang dia pegang erat, tetapi selalu terselubung dalam pesona yang sulit ditolak.
Dia bisa merasakan tatapan Minghao, jenis tatapan ‘yang itu’, seperti belaian tak kasatmata yang meninabobokan, membuatnya terbuai dan terlena. Namun, perkataan lelaki itu juga serupa alarm yang berbunyi keras-keras di dalam kepalanya, membuatnya terjaga dan waspada seketika.
Kama mencoba tersenyum, meski tubuhnya terasa kaku. Jawaban Minghao menggantung seperti kabut yang tak kunjung terurai. Dia tak tahu apakah harus merasa tersanjung atau justru khawatir. Apakah ini caranya menunjukkan rasa memiliki, atau hanya permainan kata-kata yang dia gunakan untuk semua orang?
“Hei, Kama. Kenapa kau diam saja?” Heidi menyodok ujung jari gadis itu yang berada di atas meja. Matanya menyipit penuh kecurigaan. “Jangan bilang kau malu. Sudah terlambat untuk itu.”
Kama menggeleng cepat, berusaha menyingkirkan keterkejutannya. “Tidak apa-apa, aku hanya …,” dia mencari kata-kata, “aku hanya tidak tahu bagaimana harus merespons.”
“Responnya sederhana,” potong Linghe sambil tertawa kecil. “Katakan saja ya, lalu ajak kami makan malam sebagai traktiran. Kami akan memaafkan Minghao kalau dia tidak mengundang kami ke acara lamaran kalian nanti.”
Kama menunduk, berusaha menyembunyikan rona wajahnya. Namun, pikirannya tidak berhenti berputar.
Apakah dia benar-benar serius, atau ini hanya candaan di antara mereka? Dan kenapa aku harus merasa seperti ini?
Malam itu berakhir dengan tawa dan obrolan yang semakin ringan, tetapi bagi Kama, suasana hatinya terus bergolak.
Minghao tetap seperti biasa—terlalu tenang, terlalu santai, seolah segalanya hanya sebuah permainan. Namun, ada momen ketika dia menangkap tatapan mata Minghao, yang sekilas terasa begitu mendalam, seolah ada sesuatu di sana yang ingin dia ungkapkan, tetapi tak pernah sampai pada kata-kata.
“Kau masih ada kuliah?” tanya Minghao saat malam itu pulang bersama ke apartemen.
“Ini sudah masuk musim libur. Profesor hanya memberi tugas untuk dikerjakan. Kenapa?”
“Kalau begitu, kau bisa ikut aku ke agensi. Kuajari penulisan skrip–”
“Ada A-Heng,” potong Kama lugas.
“Dia tidak sepintar diriku. Ngomong-ngomong, banyak penulis naskah yang ingin berguru padaku. Kau beruntung karena aku memberimu kelas privat, Sayang.”
Pandangan mata Kama tidak sengaja bertemu dengan Bing Yi di spion di atas dasbor. Asisten pribadi itu tersenyum penuh arti. Kama membalasnya.
“Terima kasih, aku tersanjung, Hao. Baiklah, besok aku ikut dirimu. Sekalian aku ingin menambah elemen sejarah untuk beberapa scene.”
Setiba di apartemen, Kama langsung mengunci diri di kamar. Perasaannya masih tidak nyaman. Setelah berusaha keras untuk menenangkan diri, Kama akhirnya bisa jatuh tertidur dengan tenang.
Sayangnya, esok hari perasaan tenang itu berubah menjadi sesuatu yang lebih mengganggu. Dia datang sendiri ke Lotus Fortune House karena Minghao sudah berangkat lebih dulu. Dan di sana, Kama menyaksikan pemandangan luar biasa yang membuat suasana hatinya langsung terjun bebas.
Dia berdiri di luar ruang latihan, menyaksikan Minghao berbicara dengan seorang artis muda di agensinya. Gadis itu, seorang aktris pendatang baru, terlihat tertawa kecil sambil memainkan rambutnya. Minghao, seperti biasa, tampak santai dan penuh perhatian—sikap yang sama yang sering dia tunjukkan pada Kama.
Please deh, Kam. Hao, tuh kayak ini ke semua orang. Jangan baper, deh! Nggak boleh sakit hati pokoknya sama ini lakik.
Suara di kepalanya berbisik. Dan kali ini, sulit bagi Kama untuk mengabaikannya.
“Sudah berapa kali aku bilang, fokus pada ekspresimu,” suara Minghao terdengar lembut dari balik pintu kaca. “Kalau kau tidak bisa menyampaikan emosi dengan matamu, bagaimana kau bisa menyentuh hati penonton?”
Gadis itu tertawa, sedikit gugup. “Baik, Gege, aku akan berusaha lebih baik.”
“Bagus,” jawab Minghao dengan senyum hangat. “Kau punya potensi besar. Jangan biarkan hal kecil seperti rasa takut menghalangimu.”
Kama merasa perutnya melilit. Dia tak bisa menjelaskan kenapa, tetapi ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Dia ingat bagaimana Minghao pernah mengucapkan hal serupa padanya—tentang potensi, tentang tidak membiarkan rasa takut menguasainya. Dan kini, kata-kata itu terasa kosong.
Ketika Minghao keluar dari ruangan dan melihatnya, senyumnya langsung muncul. “Kama? Kau sudah lama di sini?”
“Tidak,” jawab Kama cepat. Dia menghindari tatapannya, matanya sibuk memperhatikan lantai. “Aku hanya … lewat.”
“Kebetulan sekali. Aku butuh bantuanmu untuk memeriksa beberapa dokumen proyek film baru,” katanya santai. “Setelah itu, bagaimana kalau kita makan malam lagi? Ada tempat yang ingin kuperkenalkan padamu.”
Kama mengangkat wajahnya, menatapnya sejenak. Di balik senyumnya, ada kehangatan yang pernah membuatnya merasa istimewa. Namun, sekarang, kehangatan itu terasa seperti bagian dari rutinitas Minghao—sikap yang dia tunjukkan kepada siapa saja.
“Maaf, aku sibuk,” kata Kama, lebih dingin daripada yang dia maksudkan. Dia melangkah pergi sebelum Minghao sempat membalas, meninggalkannya berdiri di lorong dengan ekspresi bingung.
Sepanjang hari itu, Kama merasa ada jarak yang mulai terbentuk di antara mereka. Bukan jarak yang sengaja dia buat, melainkan sesuatu yang muncul secara alami—sebuah tembok yang perlahan membangun dirinya sendiri di antara keraguan dan kenyataan.
Di sudut hatinya, Kama tahu. Dia harus berhenti berharap pada sesuatu yang tidak pernah jelas. Minghao mungkin memiliki caranya sendiri untuk menunjukkan perhatian, tetapi caranya itu tidak pernah terasa sepenuhnya miliknya.
“Apa yang harus kulakukan?” Kama mengerang tertahan sembari menelungkupkan kepala di meja.
Minghao sudah berjanji akan mengajarinya penulisan naskah drama. Namun, karena kesibukan lelaki itu dengan banyak artis perempuan di agensi, janji itu menguap begitu saja tanpa realisasi.
Sampai jam makan siang, Kama tidak punya kesempatan belajar apa pun dengan Minghao. Dia hanya luntang-lantung di agensi, sampai berakhir di kafetaria Lotus Fortune House.
“Wah, kau di sini?”
Kama mendongak. Ada Siheng berdiri dengan nampan sarat makanan di tangan.
“Aku terjebak,” gerutu Kama, “bisa kau beri aku makananmu?”
“Maaf, ambil sendiri saja. Aku lapar.” Siheng tertawa dan duduk di depan Kama. “Ngomong-ngomong, kau menganggur? Aku akan mengambilkanmu makanan, jika kau membantuku mengirim draf ini ke Sutradara.”
Kama melihat tumpukan tebal naskah yang sudah direvisi di samping nampan Siheng. Senyumnya lebar.
“Oke! Aku antar! Kau bantu aku antri makanan.”
Langkah Kama ringan menuju kantor Minghao. Dia sudah hendak mengetuk pintu saat daun pintu itu terkuak perlahan. Rupanya seseorang lupa menutup rapat–atau malah sengaja membiarkannya sedikit terbuka.
Kama melongok dari celah kecil daun pintu. Dia tertegun melihat seorang wanita dengan penampilan ala old money duduk berdampingan dengan Minghao di satu sofa. Suara lembut mereka terdengar jelas dari tempat Kama menguping.
“Bingzhi,” suara Minghao pelan, bernada rendah, dan hangat, “Aku sudah mendengar keputusanmu dari Yuxi-ge. Kau baik-baik saja, bukan?”
Wanita dengan rambut ditata model bob itu mengangguk kecil. “Aku baik-baik saja. Hanya saja, aku penasaran ... kalaupun aku memilihmu, apakah kau akan menerimaku?”
Minghao terdiam sejenak, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara. Sejurus kemudian, dia tersenyum penuh pengertian.
“Kau wanita yang luar biasa, Bingzhi. Cerdas, kuat, dan penuh keberanian. Tapi … aku bukan orang yang bisa memenuhi harapanmu. Hubungan kita akan terlalu rumit, terlalu banyak batasan yang harus dilewati.”
“Kau antikomitmen rupanya,” komentar Bingzhi, “kudengar kau tidak pernah berkencan dengan satu wanita lebih dari satu minggu.”
Minghao tertawa kecil. “Itu hanya rumor yang dilebih-lebihkan. Aku menghormatimu, dan karena itu aku tidak ingin menjadi bagian dari keputusan yang akan membebanimu. Tapi aku juga tidak ingin kehilanganmu dari hidupku.”
Mata Bingzhi bersinar mendengar perkataan Minghao. “Kau tahu, Minghao? Ini mungkin pertama kalinya ada lelaki yang menolakku dengan cara yang membuatku merasa lebih dihargai.”
Mereka tertawa kecil. Ada basa-basi sejenak sebelum Bingzhi pamit undur diri. Saat dia berjalan ke arah pintu, Kama kalah cepat bersembunyi. Wajahnya pias karena tertangkap basah menguping.
“Aku … saya … begini … saya ingin mengantar ini untuk Tuan Zheng.” Kama gugup dan menyodorkan draf naskah begitu saja kepada Bingzhi.
Wanita itu menatap gadis di hadapannya dengan saksama. Suaranya lembut. “Sepertinya Minghao yang lebih membutuhkan dokumen itu dibanding aku. Kau bisa menyerahkannya langsung padanya.”
Bingzhi menepi. Kama mendongak. Saat itulah pandangan mereka bertemu. Hati Kama berdesir kala teringat di mana dia pernah melihat wanita itu sebelumnya.
Dia adalah wanita yang berada di restoran, di malam Kama diajak dinner secara khusus oleh Minghao–tetapi dibohongi mentah-mentah oleh lelaki itu. Dia juga wanita di malam penuh kecemburuan Kama yang mengantarkannya pada insiden pemukulan Luo Luo.
“Kama? Kau di sini?”
Lamunan Kama buyar. Dia menatap Minghao penuh kebencian. Dengan kasar, gadis itu menjejalkan draf naskah pada Minghao.
“Ini titipan untuk Anda, Tuan Zheng. Permisi, saya harus bertemu dengan A-Heng sekarang juga.”
Dan Kama berbalik pergi tanpa menoleh sedikit pun, meninggalkan Minghao dan Bingzhi berdiri kebingungan melihat tingkahnya.
~ BERSAMBUNG ~
Readers semua udah pada
vote sama komen, kan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro