29 | Mengisolasi Kama
Kama memandangi pantulan dirinya di cermin. Lingkaran hitam menghiasi bawah mata. Rambut berantakan efek dari semalaman berguling-guling di ranjang karena tidak bisa tidur. Dan bibir pucat karena lipstik yang sudah menghilang.
Lipstik yang menghilang ….
Jari Kama menyentuh bibirnya, mengusap kulit lembut di sana. Ingatan di mobil kembali datang dengan cepat membanjiri ingatannya, sontak menerbitkan rona merah dan rasa panas di wajah.
“Kama, koen wes lapo karo Hao?”
Gadis itu menutup muka dengan dua tangan, merasa malu luar biasa mengingat caranya membalas ciuman Minghao semalam. Tak cukup dengan itu, dia juga setuju kembali ke apartemen lelaki itu tanpa protes.
“Untung aja nggak ada apa-apa.” Kama mengintip dari celah-celah jari tangan. Helaan napas panjangnya terdengar keras. Dia kembali duduk di tepi tempat tidur. Tatapannya lantas tertuju ke pintu kamar yang tertutup rapat.
Semalam–begitu tiba di apartemen–gadis itu segera menghambur masuk kamar tamu yang diinapinya. Kama praktis mengabaikan ketukan di pintu dan panggilan Minghao. Dirinya terlalu malu untuk bertemu lelaki itu.
“Harusnya semalem kamu pulang aja ke asrama, Kam. Eh, tapi ya, nggak bisa juga. Asrama tutup jam dua belas malam. Aku aja keluar udah mendekati jam tutup asrama.”
Kama terlonjak kaget saat mendengar suara ketukan halus di pintu dan Minghao yang memanggil namanya. Gadis itu kalang kabut. Cepat-cepat dia merapikan diri semampunya, bergerak ke arah pintu, tetapi berhenti saat tangannya sudah memegang kenop.
Dia masih malu untuk bertatap muka langsung dengan Minghao. Namun, dia juga tahu tidak bisa selamanya bersembunyi. Akhirnya Kama membuka pintu dan menemukan sekeranjang roti hangat tepat di depan muka.
“Sarapan,” sapa Minghao ramah.
Kama membiarkan dirinya digelandang keluar kamar. Mereka duduk di ruang tengah yang langsung berhadapan dengan pemandangan indah Sungai Huangpu.
“Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan,” ucap Minghao lagi.
Kama hanya mengangguk. Benaknya masih dipenuhi bayangan ciuman panas mereka semalam.
“Pagi ini aku akan pergi menjenguk Luo Luo.”
Kama terdiam. Croissant hangat yang dipotongnya tergantung di udara, terjeda sejenak masuk mulut.
“Dia sudah diperbolehkan pulang. Kau di sini saja, Kama. Dia menolak bertemu dengan banyak orang.”
Kama meringis dalam hati. Untungnya Minghao cukup tenang untuk menyampaikan kejujuran.
“Selain itu, untuk sementara kau akan kukeluarkan dari ruang percakapan proyek drama kita. Kau hanya akan aktif di grup Penulis Naskah saja.”
Kepala gadis itu mendongak. “Kenapa begitu?”
“Ada banyak serangan padamu. Aku tak ingin membuat triggering baru bagimu.”
Kening Kama berkerut. Potongan hangat croissant tak lagi membangkitkan nafsu makannya. Punggungnya bersandar lemas di sofa. Setelah semalam dibombardir kekhawatiran Siheng, kini Kama merasakan hal serupa dari Minghao.
“Apa kau mengira, aku selemah itu, Hao?”
Di hadapannya Minghao menatap dengan ekspresi yang ganjil.
“Aku sudah sering berhadapan dengan orang-orang yang tidak menyenangkan. Komentar jahat dari kru drama tidak akan menggangguku, Hao. Aku baik-baik saja.”
Minghao masih menatap Kama dengan ekspresi yang aneh.
“Hao, aku serius. Tidak perlu sampai mengeluarkan aku dari grup percakapan. Aku tidak akan membalas komentar jahat yang datang padaku. Tapi aku akan membela diri jika memang diperlukan.”
Kama menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. “Aku akan silent di grup, Hao. Sampai situasinya membaik, aku tidak akan banyak bicara.”
Minghao meraih tangan Kama dan menggenggamnya lembut. “Kenapa aku merasa kau tak perlu kulindungi?”
“Karena aku memang tidak perlu kau lindungi. Aku akan melindungi diriku sendiri.” Kama menarik tangannya dari genggaman Minghao.
“Aku tidak ada kuliah hari ini dan tak bisa menemanimu menjenguk Nona Luo Luo. Jadi, aku akan pergi ke tempat Gendhis.”
Gadis itu tidak menunggu balasan Minghao. Dia segera beranjak ke kamar dan keluar sembari menyandang ranselnya.
“Kau tak mau tinggal di sini?” Jantung Minghao mencelus saat melihat barang bawaan Kama. Seluruh isi hatinya berteriak mengharap gadisnya tidak pergi.
“Aku punya asrama, Hao. Tak baik tinggal berdua di sini denganmu.”
Minghao menatap tajam. Dia membiarkan Kama melangkah sampai foyer. Kepala lelaki itu terasa kosong. Sampai dia disadarkan oleh sesuatu.
Dalam dua langkah panjang, Minghao berhasil menyusul Kama. Dipeluknya erat-erat gadis itu dari belakang. Dia menahan Kama yang meronta menolak dirinya.
“Aku tak akan membiarkanmu pergi,” ujar Minghao gelisah.
“Hao, lepas!”
“Tidak! Aku akan membiarkanmu pergi ke tempat sahabatmu. Tapi kau harus kembali ke sini. Kau harus ada di sisiku.”
Kama berhenti meronta. Suaranya sangat lirih dan lemah saat berucap.
“Hao, apa arti diriku bagimu?”
Minghao membisu.
“Kau tak pernah merayu. Itu kata Bing Yi. Tapi kepadaku, kau selalu merayu. Aku tersentuh, Hao. Tapi saat melihatmu bersama wanita di restoran kemarin, juga Nona Luo Luo yang datang ke apartemenmu padahal kau bilang tak pernah ada wanita yang ke sini sebelumnya, apa aku masih bisa berharap padamu?”
“Sayangku, aku ….” Minghao tak mampu meneruskan kalimatnya. Lidahnya mendadak kelu.
Kama tersenyum getir. Dia melepas pelukan Minghao dan keluar apartemen tanpa menoleh ke belakang sama sekali, meninggalkan harapannya dan membawa lukanya pergi dari hadapan Minghao.
~oOo~
“Kamu–apa?”
Kama menyuapkan sepotong jeruk ke mulut Gendhis. Gesturnya lemas, tak sepadan dengan sahabatnya yang terlihat bersemangat.
“Aku nonjok asisten sutradaraku.” Kama berkata dengan nada getir.
Di hadapannya Gendhis ternganga. Tak ingat bila sedang dirawat di rumah sakit, gadis itu mencondongkan badan ke depan, dan berakibat selang infusnya jadi tertarik.
“Aduh! Aduh!” Gendhis mengerang kesakitan.
“Hati-hati, Nona. Kalau kamu sampai luka lagi, centeng depan bakal laporan ke bosmu itu terus aku ditendang dari sini.”
Gendhis terkikik geli. Kama melirik ke arah pintu kamar inap. Saat ini memang dirinya tengah melarikan diri berkedok menjenguk Gendhis. Kama sempat kaget saat melihat ada penjaga selain Jiang Lin yang stand by di depan pintu kamar Gendhis.
“Udah, cuekin aja.” Gendhis mengibaskan tangan. “Jadi, gimana ceritanya kamu sampe nonjok atasanmu itu?”
“Dia emang udah nyasar aku sejak awal, Ndhis. Tapi dia udah melampaui batas. Aku tahu, aku seharusnya nggak kehilangan kendali. Tapi waktu itu aku nggak tahan.”
Gendhis memiringkan kepala. Dia mengenal sahabatnya. Walau sering berkelahi dengan banyak orang–tidak di Indonesia, tidak di China–Kama termasuk orang yang memiliki pengendalian diri sangat bagus. Jika sahabatnya sampai lepas kendali, berarti ada pemicu hebat yang mengganggu Kama. Dan Gendhis cukup bijaksana untuk bersabar serta menunggu apa pemicu itu.
“Waktu itu aku lagi ngobrol sama dua aktor di lokasi, cuma diskusi santai soal naskah. Nggak ada yang aneh. Lalu dia muncul, pake senyum sinis segala, terus mulai menghina aku. Dia bilang aku ini cuma seorang gold digger yang memanfaatkan ranjang sutradara buat masuk ke tim drama.”
Gendhis mengernyit. “Kam, yakin dia cuma ngomong itu doang?
“Nggak cuma itu. Dia juga bilang kalau aku cuma numpang ‘eksis’ lewat aktor-aktor itu, seolah aku nggak punya bakat atau harga diri. Aku nggak tahu kenapa, tapi waktu itu rasanya seperti ada tali yang putus di kepala aku. Tahu-tahu, tanganku udah melayang ke mukanya.”
Gendhis menghela napas panjang seraya memandang Kama dengan prihatin. “Terus si Luo Luo ini ada di UGD. Kamu sadar nggak sih, kalau hal ini bisa jadi masalah gede? Ini China, Kam. Bukan Indonesia.”
Kama menunduk, menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa cemas yang mulai menguasai dirinya.
“Aku tahu, Ndhis. Aku bodoh. Aku benar-benar bodoh. Kalau dia sampai mengajukan tuntutan hukum, aku habis. Belum lagi kalau berita ini sampai ke Dekanat. Pihak kampus pasti nggak akan mentolerir kekerasan. Aku bisa dikeluarin. Bapak sama Ibukmu bisa marah besar juga ke aku.”
“Terus sutradaramu gimana responsnya?”
“Dia lagi jenguk Luo Luo sekarang. Aku nggak diizinin ikut.”
Gendhis menatap Kama lekat-lekat. Instingnya mengatakan masih ada sesuatu yang disembunyikan oleh sahabatnya.
“Luo Luo tuh, gampang di-su’udzonin, Ndhis. Aku yakin, sekarang dia pasti lagi merencanakan sesuatu buat nyerang aku lagi. Insiden ini pasti bakal dia jadikan alasan untuk mendepak aku keluar dari proyek drama.”
“Kalau itu beneran terjadi, kamu butuh lebih dari sekadar alasan emosional. Kamu harus bisa membuktikan kalo dia emang provokasi kamu. Apa ada saksi waktu itu?”
“Ada. Tapi mana mau mereka bersaksi buat kroco kayak aku? Saksinya waktu itu Wang Heidi sama Zhang Linghe, dua aktor tenar yang populer sampai seluruh dunia. Ya kali, mereka mau tolongin aku. Kenal deket aja nggak.”
“CCTV?” tanya Gendhis lagi.
Kama termenung. “Aku belum cek.”
“Ya udah, cek dulu sana sambil nunggu manuver si Luo Luo itu. Semoga aja dia nggak sampai red flag ke kamu.”
Kama menundukkan kepala. Raut mukanya masih tetap murung. Jari-jarinya memainkan kulit jeruk bekas kupasannya.
“Kam, jangan letoy gitu, dong. Situasi sekarang mungkin bikin kacau kamu. Tapi kamu udah punya yang Luo Luo nggak pernah punya. Harga diri. Ingat itu.”
Kama tersenyum getir. “Thanks, Ndhis. Kamu membantu banget.”
“Nyindir, nih?”
“Nggak. Aku ngomongin fakta.” Kama memanjat naik tempat tidur. “Ini si bosmu nggak bakalan ngamuk kalo aku nebeng di bed-mu ini, kan?”
“Yuxi?”
Kama mengangguk.
“Mana ada dia bisa ngamuk ke aku. Yuxi orang yang baik banget, Kam.”
Kama mengerjapkan mata. Pandangannya seolah tengah melihat dua tanduk muncul di kepala Gendhis.
“Yuxi … baik?”
Gendhis mengangguk tanpa ragu.
“Tapi dia udah nge-bully kamu.” Kama protes.
“Nggak, ah. Itu juga aku yang salah, bukan Yuxi.”
Kama mengernyit. Dia tidak paham akan pembelaan Gendhis padanya, sebab di mata Kama, lelaki itu tetaplah tersangka utama dari kondisi Gendhis yang mengenaskan pasca datang ke Shanghai.
“Nggak percaya?” Gendhis tersenyum jenaka. Dia meraih ponsel dan menekan speed dial. Hanya dalam hitungan detik, panggilan gadis itu tersambung ke nomor Yuxi.
Sekali lagi Kama dibuat tercengang. Gendhis dan Yuxi bicara dengan sangat akrab. Suara lelaki itu–yang diatur dalam mode pengeras suara–juga sangat lembut pada Gendhis. Kama sampai tergoda mengorek telinga dan menggetok kepala, memastikan penglihatan dan pendengarannya tidak salah.
“Ini serius orang yang udah aku amuk kemarin?” Kama bergumam nyaris tak terdengar.
“Apa, Kam? Kamu ngomong apa?”
Kama menggeleng cepat. Cengirannya lebar. “Terusin ngobrolnya dulu. Aku mau keluar bentar.”
Tanpa menunggu balasan Gendhis, gadis itu melompat turun dari bed pasien. Bergegas dia keluar dari kamar inap Gendhis dan menyapa satu lelaki yang ditugaskan khusus untuk mengawal Gendhis. Lalu langkah Kama tertuju lurus ke arah kafetaria.
Tepat saat dia berhasil mendapatkan meja dan makanan datang, Siheng menelepon. Mentornya di proyek drama Minghao memberi tahu Kama tentang situasi yang didatanginya saat ini.
“Aku di gedung Lotus Fortune House. Ada seluruh penanggung jawab divisi di sini. Luo Luo juga ada di sini.” Siheng bicara dengan suara sangat pelan, nyaris tidak bisa didengar Kama.
“Iya, terus?” Kama menutup satu telinganya yang lain agar bisa mendengar perkataan Siheng lebih jelas.
“Berita buruk, Kama. Luo Luo berniat melaporkanmu ke polisi. Ini soal pemukulan yang kau lakukan kemarin.”
Kama mengerjapkan mata. Ada sengatan nyeri tajam di hatinya mendengar perkataan Siheng. Detik itu juga Kama menyadari bila durasi hidupnya di China sebentar lagi akan usai.
~ BERSAMBUNG ~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro